Kematian di Tengah Musim Panas | 2
Yukio Mishima
Alun-alun di depan stasiun Itō sangat cerah di bawah matahari pertengahan musim panas. Di sebelah pangkalan taksi ada sebuah kantor kecil, tak lebih besar dari pos polisi. Sinar matahari di dalam kantor itu tak kenal ampun, dan ujung-ujung lembaran berita keberangkatan di dinding sudah menguning dan melengkung.
“Berapa ke Pantai A.?”
“Dua ribu yen.” Pria itu memakai topi supir taksi, sehelai handuk mengitari lehernya. “Kalau Anda tidak terburu-buru, simpan saja uang Anda untuk naik bus. Busnya akan berangkat lima menit lagi,” tambahnya, entah karena kebaikan hatinya atau perjalanan itu tampaknya memang sangat sulit.
“Saya terburu-buru. Salah seorang anggota keluarga saya baru saja meninggal di sana.”
“Oh? Anda punya hubungan keluarga dengan orang-orang yang tenggelam di Pantai A.? Buruk sekali. Katanya dua anak dan seorang wanita sekaligus.”
Masaru merasa pening di bawah teriknya matahari. Ia tidak mengatakan sepatah kata pun sampai taksi mencapai Pantai A.
Tidak ada pemandangan yang sangat istimewa sepanjang perjalanan. Pertama, taksi menanjak satu gunung berdebu lalu menuruninya, dan laut jarang terlihat. Saat mereka berpapasan dengan mobil lain di sepanjang jalan yang sempit, ranting-ranting pohon menepak-nepak jendela yang setengah terbuka seperti burung-burung ketakutan, dan menjatuhkan debu serta pasir ke atas celana Masaru yang disetrika secara hati-hati.
Masaru tak dapat menentukan bagaimana menghadapi istrinya. Ia tak yakin ada hal yang disebut ‘pendekatan yang wajar’ ketika tak satupun emosinya tampak cocok. Semoga yang tidak wajar sebenarnya wajar.
Taksi itu melewati gerbang tua gelap penginapan Eirakusō. Saat mobil itu masuk ke depan penginapan, manajer penginapan keluar dengan derap sandal kayunya. Secara otomatis Masaru mengeluarkan dompetnya.
“Saya Ikuta.”
“Hal buruk telah terjadi,” ucap manajer, lalu membungkuk dalam-dalam. Setelah membayar supir taksi, Masaru berterimakasih kepada manajer dan memberinya uang kertas seribu yen.
Tomoko dan Katsuo berada di kamar yang berdampingan dengan kamar di mana peti mati Yasue diletakkan. Jasadnya dikemasi dengan es kering yang dipesan dari Itō, dan akan segera dikremasi saat Masaru tiba. Masaru mendahului langkah manajer dan membuka pintu. Tomoko, yang berbaring untuk tidur siang, terbangun kaget saat mendengar suara. Ia belum benar-benar tidur.
Rambutnya berantakan dan kimono katunnya kusut. Seperti seorang narapidana, ia merapikan kimononya dan berlutut di hadapan Masaru. Gerakannya sangat cepat, seolah-olah sudah direncanakan sebelumnya. Ia memandang sekilas suaminya lalu menangis.
Masaru tak mau manajer melihatnya memberikan sentuhan nyaman di atas bahu istrinya. Hal itu akan lebih buruk daripada memiliki kamar pribadi yang dimata-matai. Masaru melepas jasnya dan mencari tempat untuk menggantungnya.
Tomoko memperhatikan. Ia mengambil gantungan dari ambang pintu, lalu menggantung jas berkeringat itu dari suaminya. Masaru duduk di sebelah Katsuo, yang terbangun karena tangisan ibunya dan berbaring menatap mereka. Anak itu, sambil berlutut, terlihat pasrah seperti boneka. Bagaimana anak-anak bisa sangat kecil? tanyanya. Seperti memegang sebuah mainan.
Tomoko berlutut sambil menangis di pojok kamar.
“Semuanya salahku,” ucapnya. Itulah kata-kata yang sangat ingin Masaru dengar.
Di belakang mereka, manajer penginapan juga menangis. “Saya tahu ini bukan urusan saya, tuan, tapi tolong jangan salahkan Nyonya Ikuta. Peristiwa ini terjadi saat ia tidur siang, jadi bukan salahnya.”
Masaru merasa dirinya pernah mendengar atau membaca semua ini di suatu tempat.
“Saya paham, saya paham.”
Mengikuti kebiasaan, ia berdiri sambil menggendong anaknya, lalu mendekati istrinya dan meletakkan tangannya dengan lembut di atas bahunya. Ia bergerak dengan ringan.
Tomoko bahkan menangis lebih getir.
Dua tubuh lainnya ditemukan sehari kemudian. Pihak kepolisian, yang menyelam ke sana-kemari di sekitar pantai, akhirnya menemukan mereka di sekitar tanjung pulau. Sejumlah hewan laut telah menggigit mereka, dan terdapat dua sampai tiga hewan di setiap lubang hidung mereka.
Insiden semacam itu tentu saja melampaui sejumlah ketentuan adat, namun tak pernah ada orang yang benar-benar terikat untuk mengikuti adat. Tomoko dan Masaru lupa bahwa tak satupun tanggapan dan adat pemberian hadiah yang dilakukan.
Kematian selalu menjadi masalah dalam hal administrasi. Mereka menjadi sibuk mengatur banyak hal. Bisa dikatakan bahwa Masaru, khususnya, sebagai kepala keluarga, tak punya waktu untuk berkabung. Sementara menurut Katsuo, bagi Masaru hal ini adalah pesta sepanjang hari yang akan berganti ke hari yang lain, dengan semua orang dewasa yang bermain peran masing-masing.
Bagaimanapun, mereka menggunakan cara mereka sendiri untuk melewati semua perkara rumit ini. Persembahan untuk pemakaman membutuhkan biaya yang cukup besar. Persembahan pemakaman selalu lebih banyak jumlahnya ketika kepala keluarga yang masih hidup bisa menyediakan, daripada saat pemakaman itu miliknya.
Masaru dan Tomoko bagaimanapun juga harus menghadapi apa yang seharusnya diselesaikan. Tomoko tidak mengerti bagaimana kesedihan yang hampir membuatnya gila dan perhatian terhadap sejumlah hal detail bisa muncul secara berdampingan. Dan mengejutkan pula ketika dirinya bisa makan begitu banyak tanpa memperhatikan rasanya.
Apa yang paling ditakutkannya adalah saat menemui orangtua Masaru. Mereka tiba di Kanazawa tepat saat pemakaman berlangsung. “Semuanya salahku,” ia memaksa dirinya untuk mengatakan hal itu lagi, dan sebagai gantinya ia kembali ke orangtuanya.
“Tapi siapa yang seharusnya mereka kasihani? Bukankah aku baru kehilangan dua anak? Tapi mereka malah menyalahkanku. Mereka semua sepenuhnya menyalahkanku, dan aku mesti meminta maaf kepada mereka. Mereka semua melihatku seolah aku adalah pembantu bodoh yang menjatuhkan bayi ke sungai. Bukankah itu Yasue? Yasue beruntung dirinya sudah meninggal. Kenapa mereka tak bisa melihat siapa yang tersakiti? Aku adalah seorang ibu yang baru saja kehilangan kedua anaknya.”
“Kamu bersikap tidak adil. Siapa yang menyalahkanmu? Bukankah ibunya menangis saat mengatakan dirinya lebih mengasihanimu daripada siapapun?”
“Dia cuma bilang begitu.”
Tomoko sangat tidak puas. Ia merasa seperti seseorang yang direndahkan dan dikutuk ke dalam ketidakjelasan, seseorang yang memiliki kebaikan yang nyata yang pergi tanpa disadari. Baginya, kesedihan yang sangat mendalam semestinya memberikan mereka kebebasan yang istimewa, kebebasan yang luar biasa. Sejumlah ketidakpuasan ada di dalam dirinya, jadi ia meminta maaf kepada ibu mertuanya dengan kasar. Kepada ibunyalah ia pergi ketika rasa jengkelnya, yang seperti ruam gatal di sekujur tubuh, perlu diredakan.
Dirinya tidak tahu, namun sebenarnya ia sedang putus asa di dalam miskinnya emosi manusia. Bukankah tidak masuk akal bahwa tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menangis saat sepuluh orang meninggal, sama seperti seseorang menangisi satu orang?
Tomoko bertanya-tanya mengapa ia tidak pingsan. Aneh dirinya tidak ambruk, sedangkan ia sudah berdiri di sana sambil menangis selama satu jam di bawah teriknya pertengahan musim panas. Terkadang ia merasa sedikit pusing, dan yang menyelamatkannya setiap saat adalah permulaan baru dari ngerinya kematian. “Aku lebih kuat dari yang kukira,” ucapnya, ia memalingkan wajah tangis kepada ibunya.
Saat Masaru membicarakan Yasue dengan orangtuanya, ia meneteskan air mata karena saudarinya yang meninggal sebagai perawan tua, dan Tomoko merasakan sentuhan kebencian terhadapnya juga.
“Siapa yang lebih penting baginya, Yasue atau anak-anak?” ia ingin bertanya.
Tak diragukan bahwa ia sedang tegang, juga siap. Ia bisa tidak tidur sepanjang malam, walaupun ia tahu bahwa ia harus tidur. Lagi pula ia tidak punya alasan sakit kepala. Pikirannya jernih dan juga terkendali.
Orang-orang yang menelepon akan khawatir terhadapnya, dan terkadang ia menjawab dengan kasar: “Kau tidak perlu memikirkanku. Tak ada bedanya aku hidup atau mati.”
Pikiran tentang bunuh diri dan kegilaan sudah meninggalkannya. Katsuo akan menjadi alasan terbaik mengapa ia mesti terus hidup untuk sementara waktu. Namun, terkadang ia pikir alasan itu hanya kegagalan dari sebuah keberanian, atau mungkin kemarahan yang melemah. Apapun itu membuatnya berpikir, saat ia melihat Katsuo dan menyadari dirinya sebagai wanita yang sedang bersedih, bahwa betapa baik keadaan ketika ia belum membunuh dirinya sendiri. Di malam-malam seperti itu ia akan berbaring di pelukan suaminya dan matanya berpendar selayaknya mata kelinci di dalam lingkaran cahaya dari sebuah lampu tidur, dan mengulangnya lagi dan lagi, seperti seseorang yang mengakui kesalahannya dalam sebuah kasus: “Aku yang salah. Itu salahku. Seharusnya aku tahu sejak awal bahwa salah meninggalkan ketiga anakku bersama Yasue.”
Suaranya bergaung seperti gema di atas gunung.
Masaru tahu apa maksud rasa tanggung jawab yang berlebihan ini. Tomoko sedang menunggu sejenis hukuman. Bisa dikatakan ia berhasrat menginginkan hukuman itu.
Setelah hari keempat-belas masa berkabung, hidup kembali normal. Orang-orang menyuruh mereka untuk pergi ke suatu tempat untuk beristirahat, namun gunung dan pantai membuat Tomoko takut. Ia yakin malapetaka tidak datang dengan sendirinya.
Pada suatu sore di musim panas, Tomoko pergi ke kota bersama Katsuo. Ia ingin bertemu suaminya untuk makan malam setelah selesai bekerja.
Tidak ada yang Katsuo tidak bisa miliki. Ibu dan ayahnya hampir selalu lembut kepadanya. Mereka mengurusnya seperti mengurusi boneka kaca, dan itu adalah usaha yang gigih bahkan saat melihatnya menyebrang jalan. Ibunya akan memelototi mobil dan truk yang berhenti kebingungan, lalu lari menyebrang dengan tangan yang digenggam ibunya.
Baju renang terakhir yang ia lihat di jendela toko mengganggunya. Ia harus memalingkan penglihatannya dari baju renang berwarna hijau seperti yang Yasue punya. Setelah itu ia bertanya-tanya apakah maneken tadi memiliki kepala. Sepertinya tidak – dan sepertinya punya, lalu wajahnya seperti wajah mayat Yasue, matanya tertutup dan basah, rambutnya berantakan. Semua maneken itu menjadi mayat-mayat yang tenggelam.
Jika saja musim panas berakhir. Kata ‘musim panas’ membawa pikiran memborok perihal kematian. Di bawah matahari sore ia merasakan kehangatan yang membusuk.
Karena masih tersisa banyak waktu, Tomoko membawa Katsuo ke sebuah mal. Saat itu, kurang lebih setengah jam lagi mal akan ditutup. Katsuo ingin lihat-lihat mainan, lalu mereka pergi ke lantai tiga. Mereka mempercepat langkah melewati sudut mainan-mainan pantai. Ibu-ibu ricuh melihat-lihat tumpukan baju renang anak yang sedang diskon. Seorang wanita mengangkat sebuah celana pendek berwarna biru tua ke jendela, dan cahaya matahari sore memantul dari kancing logamnya. Semangat sekali dia mencari kain kafan, pikir Tomoko.
Setelah Katsuo membeli mainan baloknya, ia meminta pergi ke atap. Tempat bermain di atap sejuk. Angin yang cukup kuat berhembus dari pelabuhan di tirainya.
Tomoko menatap Jembatan Kachidoki yang jauh dari kota lewat jaring kawat, lalu ke dermada dan kapal-kapal kargo yang berlabuh di teluk.
Katsuo melepas tangannya dari genggaman sang ibu, lalu mendekati sebuah kandang monyet. Tomoko berdiri di dekatnya. Mungkin karena angin, bau monyet itu menajam. Monyet itu menatap mereka dengan dahi yang mengkerut. Saat monyet itu bergelantungan dari satu cabang ke cabang lainnya, satu tangannya dengan hati-hati menekan pinggul, Tomoko dapat melihat di satu sisi wajah kecilnya yang agak tua terdapat lubang telinga yang kotor dengan pembuluh darah merah mencuat keluar. Ia belum pernah memperhatikan hewan secara teliti sebelumnya.
Di samping kandang terdapat sebuah kolam. Air mancur di tengahnya dimatikan. Ada petak-petak bunga krokot di sekitar bibir kolam yang berbahan batu bata, di mana seorang anak seumuran Katsuo sedang tertatih-tatih di atasnya. Kedua orang tuanya tidak terlihat.
Aku harap ia terjatuh. Aku berharap ia jatuh dan tenggelam.
Tomoko melihat kaki anak itu gemetar. Anak itu tidak jatuh. Setelah mengelilingi bibir kolam itu sekali, ia memperhatikan tatapan Tomoko lalu tertawa dengan bangga. Tomoko tidak tertawa. Seakan anak tersebut sedang mengolok-oloknya.
Ia menarik Katsuo dengan tangannya dan segera turun dari atap.
Sewaktu makan malam, Tomoko baru berbicara setelah diam agak lama: “Kamu diam saja?! Dan kamu tidak terlihat sedih.”
Terkejut, Masaru menatap sekitar untuk mengetahui apakah ada yang mendengarnya. “Kamu tidak paham? Aku hanya mencoba menghiburmu.”
“Kamu tidak perlu melakukan itu.”
“Ya sudah. Tapi apa nanti pengaruhnya terhadap Katsuo?”
“Toh aku tak layak menjadi seorang ibu.”
Makan malam menjadi kacau.
Masaru makin sering menarik diri dari penyesalan istrinya. Seorang pria memiliki pekerjaan yang harus dilakukan. Ia bisa mengalihkan diri dengan pekerjaannya. Sementara itu Tomoko merawat kesedihannya. Masaru mesti menghadapi penyelasan yang membosankan ini saat pulang kerja, jadi ia mulai pulang larut malam.
Tomoko menelepon seorang pembantu yang telah bekerja untuknya jauh sebelum Yasue dan memberikannya seluruh pakaian dan mainan milik Kiyoo dan Keiko. Pembantu itu punya anak-anak yang seumuran dengan anak-anaknya.
Di suatu pagi Tomoko bangun lebih lambat dari biasanya. Masaru, yang sudah mulai minum-minum lagi sejak tadi malam, terbaring meringkuk di sisi lain tempat tidur berukuran ganda. Bau minuman keras masih menyengat. Pegas-pegas ranjang berdecit saat ia membalikkan badan dalam tidurnya. Saat ini Katsuo sendirian, Tomoko membiarkannya tidur di dalam kamar tidur lantai dua, meski tentu ia tahu sebaiknya tidak membiarkannya sendiri. Lewat kelambu putih milik mereka dan milik Katsuo ia memperhatikan wajah anaknya yang sedang tertidur. Katsuo selalu memperlihatkan wajah masam saat tidur.
Tomoko menyibak kain kelambu untuk memegang tali gorden. Kesatnya tali gorden yang kaku di dalam penutupnya terasa menyenangkan di tangannya yang berkeringat. Gorden itu tersibak sedikit. Sinar matahari merambat ke sebuah pohon cendana dari bawah, bayangan bertumpuk satu sama lain, dan bahkan sebagian besar rumpun dedaunan jauh lebih lembut dari biasanya. Burung-burung pipit berkicau dengan gaduh. Setiap pagi mereka akan bangun dan langsung berkicau satu sama lain, kemudian akan membentuk barisan, lalu terbang dan hinggap di selokan atap. Suara derap acak dari kaki-kaki kecil mereka akan terdengar dari ujung ke ujung lainnya lalu kembali lagi. Tomoko tersenyum saat mendengarnya.
Itu adalah pagi yang menyenangkan. Ia harus merasakan bahwa pagi itu menyenangkan, tanpa alasan apapun. Kepalanya masih berbaring di atas bantal dengan tenang. Perasaan bahagia menyebar ke seluruh tubuhnya.
Tiba-tiba ia terkesiap. Ia tahu mengapa ia sangat senang. Tadi malam untuk pertama kalinya ia tak lagi memimpikan anak-anaknya. Setiap malam ia memimpikan mereka, tapi tadi malam tidak. Ia malah bermimpi hal yang menyenangkan, mimpi yang sedikit bodoh.
Lalu ia lupa begitu saja – dirinya yang tidak berperasaan membuatnya takut. Ia menangis meminta maaf kepada roh anak-anaknya. Masaru membuka mata dan melihatnya. Namun ia melihat semacam kedamaian di dalam tangis itu, bukan penderitaan yang biasanya.
“Kamu memikirkan mereka lagi?”
“Ya.” Sepertinya sangat sulit untuk mengatakan yang sebenarnya.
Tetapi kini ia berbohong, ia kesal suaminya tidak menangis bersamanya. Jika saja ia melihat air mata di mata suaminya, mungkin ia bisa mempercayai kebohongannya.
___
Hari berkabung ke empat puluh sembilan berakhir. Masaru belanja banyak hal di Pemakaman Tama. Ini adalah kematian pertama di cabang pohon keluarganya, juga penguburan pertama. Yasue juga didakwa di tempat yang jauh dari lautan atas kesalahannya dalam menjaga anak-anak: atas persetujuan dengan keluarga besar, abunya akan dikuburkan di tempat yang sama.
Ketakutan Tomoko tampaknya menjadi tak beralasan seperti kesedihannya yang bertambah dalam. Ia pergi bersama Masaru dan Katsuo untuk melihat tanah pemakaman yang baru. Saat itu sudah awal musim gugur.
Hari itu sangat indah. Cuaca panas sudah menurun, dan langit begitu cerah.
Terkadang memori berjalan berdampingan dengan waktu untuk kita, atau bertumpukan satu sama lain. Memori memainkan trik aneh pada Tomoko dua kali hari itu. Mungkin, dengan langit dan sinar mentari yang hampir terlalu jernih, batas alam bawah sadarnya juga entah bagaimana dibuat setengah nyata.
Dua bulan sebelum tragedi tenggelam itu, terjadi kecelakaan mobil. Masaru tidak terluka, tapi setelah peristiwa di pantai, Tomoko tidak pernah pergi bersamanya dengan mobil ketika membawa Katsuo. Hari ini Masaru juga mesti naik kereta.
Mereka pindah kereta di M. ke jalur persimpangan kecil menuju pemakaman. Masaru keluar kereta terlebih dahulu dengan Katsuo. Karena tertinggal di kerumunan, Tomoko baru bisa keluar beberapa detik sebelum pintu kereta tertutup. Ia mendengar suara peluit yang melengking saat pintu kereta tertutup di belakangnya, lalu, ia hampir berteriak, kemudian berbalik dan memaksa pintu itu agar terbuka lagi. Ia pikir ia telah meninggalkan Kiyoo dan Keiko di dalam kereta.
Masaru menuntun Tomoko dengan tangannya. Ia menatap suaminya dengan tatapan menantang, seolah-olah Masaru adalah seorang detektif yang menangkapnya. Ia sadar sesaat kemudian, lalu coba menjelaskan apa yang terjadi – bagaimanapun juga ia harus menjelaskannya. Namun penjelasannya hanya membuat Masaru tidak nyaman. Ia pikir Tomoko hanya berpura-pura.
Katsuo muda sangat senang kepada lokomotif kuno yang membawa mereka ke pemakaman. Lokomotif itu memiliki corong yang tinggi, dan corong itu benar-benar tinggi, seolah berada di atas panggung. Bendul kayu tempat si insinyur menyandarkan sikunya terbuat dari batu bara. Lokomotif itu mengerang, mendesah, menggertakan geriginya, dan akhirnya berjalan melewati lahan-lahan pasar pinggiran kota yang tak bergairah.
Tomoko, yang belum pernah berada di Pemakaman Tama sebelumnya, merasa takjub akan keindahannya. Tempat yang sangat luas ini diberikan begitu saja kepada orang-orang mati? Halaman rumput yang luas, jalan besar yang ditumbuhi pepohonan, langit biru yang terbuka di atasnya, dan pemandangan bersih sampai di kejauhan. Kota orang mati tertata lebih bersih dan lebih baik dari pada kota orang hidup. Tomoko dan suaminya tidak punya alasan untuk mempelajari pemakaman, tapi sepertinya tidak disayangkan bahwa saat ini mereka menjadi tamu yang memenuhi syarat. Saat tak satupun dari mereka memikirkan hal itu, tampaknya masa berkabung dan prosesi yang kelam dan menakutkan telah membawakan mereka semacam perlindungan, sesuatu yang stabil, ringan, dan bahkan menyenangkan. Mereka telah dipersiapkan untuk mati, dan saat orang-orang dipersiapkan untuk hidup dalam kerusakan moral, mereka jadi merasa bahwa tak ada yang perlu ditakuti dalam kehidupan.
Kapling makam yang dipesan berada di sudut terjauh di pemakaman. Mereka berkeringat saat berjalan dari gerbang masuk, menatap dengan ganjil makam Laksamana T, lalu tertawa lebar karena batu nisan tak elegan yang dihiasi cermin.
Tomoko mendengarkan senandung lembut dari jangkrik-jangkrik musim gugur, dan mencium bau dupa serta rerumputan yang sejuk dan teduh. “Bagus sekali tempat ini. Jika saja mereka punya tempat untuk bermain, tak akan bosan begini. Mau tak mau aku berpikir hal itu baik untuk mereka. Aneh bukan?”
Katsuo haus. Di persimpangan jalan terdapat menara tinggi berwarna coklat. Anak tangga yang melingkar di dasar menara itu basah karena kran bocor di tengahnya. Beberapa anak, karena lelah mengejar capung, diam-diam meminum dan menyemburkan air ke satu sama lain. Sesekali semburan air dari kran bocor itu membentuk pelangi tipis di udara.
Katsuo adalah anak yang suka bergerak. Ia ingin minum, dan saat itu tak ada yang bisa membantunya. Mengambil kesempatan saat ibunya tidak memegang tangannya, ia berlari ke anak tangga itu. Ke mana ia mau pergi? teriak ibunya tajam. Mau minum, jawab Katsuo dari bahunya. Tomoko mengejarnya dan memegang kedua lengannya dengan kuat dari belakang. “Sakit,” protesnya. Katsuo ketakutan. Makhluk mengerikan telah menerkamnya dari belakang.
Tomoko berlutut di atas batu-batu kerikil dan membalikkan anak itu ke hadapannya. Katsuo melihat ayahnya yang menatapnya balik dengan heran dari sebelah pagar taman yang agak jauh.
“Kamu tidak boleh minum air itu. Kita bawa air minum kok.”
Tomoko mulai membuka tutup termos di atas lututnya.
Mereka sampai di kapling mereka yang kecil. Tanah itu berada di bagian pemakaman yang baru dibuka di belakang deretan batu nisan. Sejumlah pohon buxus muda dan rapuh ditanam di mana-mana, setelah memperhatikan pola potongan tanaman-tanaman itu, bisa dilihat jika seseorang merawat mereka dengan teliti. Abu jasad tiga orang yang meninggal belum dipindahkan dari kuil keluarga, dan di sana belum ada penanda makam. Hanya terdapat sedikit gundukan tanah.
“Mereka bertiga akan bersama di sini,” ucap Masaru.
Ucapan itu tidak berpengaruh banyak kepada Tomoko. Ia bertanya-tanya bagaimana fakta bisa menjadi sangat mustahil terjadi? Jika seorang anak tenggelam di laut – itu bisa terjadi, dan siapa saja pasti akan menerima hal itu sebagai fakta. Tapi tiga orang yang tenggelam; itu tidak masuk akal. Dan akan berbeda lagi jika sepuluh ribu orang yang tenggelam. Ada yang konyol terhadap sesuatu yang berlebihan, namun tak ada yang konyol terhadap bencana alam besar atau perang. Entah mengapa satu kematian adalah sesuatu yang serius, begitu juga jutaan kematian. Tapi sesuatu yang agak berlebihan itu berbeda.
“Mereka bertiga yah. Omong kosong!” kata Tomoko.
Itu jumlah yang terlalu banyak untuk satu keluarga, tapi terlalu sedikit untuk masyarakat. Dan tidak ada keterlibatan masyarakat dari kematian dalam perang atau kematian seseorang. Egois dengan cara kewanitaannya, Tomoko membolak-balik lagi teka-teki penjumlahan itu. Masaru, sebagai makhluk sosial, cepat atau lambat akan mengetahui bahwa tidak sulit melihat masalah ini sebagaimana masyarakat melihatnya; sebenarnya mereka beruntung tidak ada keterlibatan masyarakat dalam peristiwa ini.
Setelah kembali ke stasiun, Tomoko menjadi korban lagi karena penggandaan waktu. Mereka harus menunggu kereta selama dua puluh menit. Katsuo minta dibelikan mainan musang yang dijual di depan stasiun. Musang-musang mainan itu, yang teruntai di batang-batang kayu, terbuat dari gumpalan benang kapas yang berwarna bulu musang, lalu ditambahkan mata, hidung, dan buntut.
“Kamu boleh kok beli musang-musang ini!” seru Tomoko.
“Anak-anak kelihatannya akan sangat suka.”
“Aku pernah punya musang mainan seperti ini saat kecil.”
Tomoko membeli satu musang mainan dari wanita tua di kios dan memberikannya kepada Katsuo. Sesaat kemudian, ia mendapati dirinya melihat kios-kios lain. Ia harus membelikan sesuatu untuk Kiyoo dan Keiko yang tertinggal di rumah.
“Ada apa?” tanya Masaru.
“Aku juga bertanya-tanya ada apa denganku. Aku berpikir untuk membelikan sesuatu untuk anak-anak.” Tomoko mengangkat lengannya yang sintal dan putih, lalu dengan kepalan tangannya ia memijat mata dan pelipisnya dengan kasar. Hidungnya bergetar seolah dirinya akan menangis.
“Belilah sesuatu. Belikan sesuatu untuk mereka.” Suara Masaru terdengar berat dan hampir seperti memohon. “Kita bisa menaruhnya di atas altar.”
“Tidak. Mereka seharusnya masih hidup.” Tomoko menempelkan sapu tangan ke hidungnya. Ia masih hidup, sedangkan yang lainnya sudah mati. Itulah kejahatan terbesar. Betapa kejamnya harus melanjutkan hidup.
Tomoko memandangi sekitarnya lagi: memandangi bendera-bendera merah yang tergantung di sejumlah bar dan restoran di depan stasiun, memandangi bagian-bagian granit putih berkilau yang menumpuk tinggi di depan toko-toko batu nisan, memandangi pintu-pintu panel kertas yang menguning di lantai dua bangunan, memandangi genting-genting rumah, memandangi langit biru yang semakin gelap menjelang malam yang jernih seperti porselen. Semuanya terlihat sangat jelas, terdefiniskan dengan sangat baik. Dalam kejamnya hidup ada kedamaian yang mendalam. Kemudian ia jatuh pingsan.
___
Comments
Post a Comment