Kisah Raja Dua Sungai, Saihun dan Jaihun, Putranya Kaukab, dan Pengalamannya dengan Bendahara Kerajaan Ghasb. Sebuah Kisah yang Menakjubkan


A day in the market By Henry A. Ferguson - American , 1845 - 1911 - Oil on canvas , 63.5cm X 46 cm

Dari kisah-kisah yang diceritakan di teks ini, kisah inilah yang benar-benar dipengaruhi dari sebuah kekosongan. Kisah ini memperkenalkan Pangeran Kaukab, anak dari Raja Fulk, raja dua sungai Saihun dan Jaihun, sementara ibu sang pangeran yang tak disebutkan namanya memiliki peran penting yang tidak terekam dalam menyebabkan pengasingan seorang penjahat dari Saihun. Orang ini, sang bendahara kerajaan, ditemukan sedang mengabdikan dirinya kepada Farah, yang Fulk tunjuk sebagai penguasa Jaihun dan umumnya juga dipanggil sebagai ‘raja’. Yaquta adalah anak perempuan Farah, yang sekali salah disebut sebagai saudarinya.
___

Mereka mengatakan – dan Allah Maha Tahu dan Maha Mulia – bahwa di antara kisah-kisah dari waktu lampau dan dari orang-orang terdahulu terdapat satu yang setara dengan kecerdasan manusia yang mengerti perihal meminta dan memberi. Suatu saat terdapat seorang raja yang hebat, sangat kuat, dan masyhur bernama Fulk, yang memerintahkan ketaatan rakyatnya yang diperlakukan dengan murah hati. Ia sangat kuat dan mampu mengalahkan binatang buas dengan tangan kosong. Reputasinya menyebar, dan ia membuat rendah para singa di semak-semak, juga membuat malu raja-raja yang tangguh. Ia memiliki seorang abdi bernama Farah, yang juga dibesarkan ayahnya dan yang ia pikirkan matang-matang bahwa, ketika wilayahnya meluas, ia akan memberikan setengahnya kepada Farah untuk memerintah, menjalankan otoritas atas rakyat mereka. Fulk memerintah wilayah yang disebut Saihun dan Farah memerintah wilayah Jaihun dan sekitarnya.

Hidup begitu tentram untuk penduduk dua wilayah itu; tak ada musuh yang perlu ditakuti dan tak ada pertumpahan darah, maka begitulah mereka menikmati hidup yang nyaman, minum dan makan tanpa diganggu oleh kesedihan. Fulk sendiri adalah seorang yang dermawan, sering memberikan banyak hadiah, dan sering memberikan jubah kehormatan. Suatu hari saat ia berkuda di luar kota bersama orang-orangnya, seorang pembawa pesan mendekatinya, saat melihatnya pengawal-pengawalnya berdiri dalam dua baris dan mengawasinya. Pembawa pesan itu turun dari kudanya dan berjalan mendekati raja dengan berjalan kaki.

Ketika raja mendengar pesan tersebut ia berkata: ‘Bagaimana anjing ini bisa sampai di daratan?’ Sang wasir[2] berkata: ‘Terdapat jalan ke arah kiri kota,’ tapi sang raja berkata: ‘Ia aman dan, demi Tuhan Ka’bah, tak ada yang akan menyentuhnya.’ Lalu ia merahasiakan apa yang ia pikirkan dari sang wasir, dan sang wasir juga tak kembali ke pokok pembicaraan. Mereka mempunyai merpati, dan di manapun mereka berada sang wasir akan melepas merpati-merpati itu, lalu sang raja akan mengetahui apa yang tak seorang pun tahu.

Adapun sang komandan benteng, saat mereka sampai di sana, bersujud dan mengeluarkan perlengkapan, seperti toko-toko lainnya. Kaukab memberi banyak sekali hadiah dan berkemah di bawah benteng untuk berburu, ia adalah pangeran yang hebat dan murah hati. Burung-burung merpati dibawa dalam sangkar di belakang para pemburu dan dikirim setiap pagi agar sang raja bisa merasa tenang mendengar apa yang dilakukan putranya. Sang raja dan ibu pangeran merasa lega karena waktu yang telah diramalkan oleh sang ahli nujum sudah berlalu.

Sang pangeran memberi tahu kawan-kawannya untuk menyiapkan perbekalan untuk tiga hari dan membuat kelompok untuk berburu. Setelah itu mereka bisa kembali ke perkemahan dan pulang, ini akan menjadi perjalanan yang panjang. Pangeran berbicara kepada sang wasir bahwa ia tak perlu ikut dengan mereka dan bisa tinggal sebagai orang terakhir di perkemahan. Ia sendiri berkuda dengan lincah ditemani sang komandan benteng, dan setelah dua hari mereka sampai di lembah berbentuk seperti telapak tangan yang mana terdapat banyak sekali hewan buas yang berkerumun dan berkelahi satu sama lain.

Pangeran Kaukab memanggil kuda betina yang sudah disebutkan sebelumnya, mengencangkan tali pelana di sekitar panggulnya dan menungganginya. Kemudian ia memukul taji dan menjatuhkan tali kekang, lalu kuda betina itu berlari secepat kilat ke puncak bukit dan turun ke sisi lainnya di mana kuda itu berderap kencang melintasi tanah terbuka. Sang pangeran, yang berpikir bahwa teman-temannya mengikutinya, sampai di tempat di mana terdapat air, yang ia terus pacu melewatinya. Cipratan air menusuk-nusuk telinga kuda betina itu, menutup dan membesarkan lubang hidungnya, begitu pula menunjukkan lubang di bagian belakang atas kakinya. Sang pangeran memecut bokong kuda betina itu dengan cambuknya, tapi kemudian ia melihat kudanya dihadapkan dengan seekor singa. Ia menghunus pedangnya, mengayunkannya dan menancapkannya tepat di dahi sang singa, sehingga pedang tersebut berkilau dengan lelehan darah hewan buas itu.

Ia berkuda sampai matahari terbenam, saat turun dari kudanya di atas sebuah gunung ia berkata: ‘Ayahku dan sang ahli nujum benar dalam apa yang mereka katakan tanpa ragu-ragu bahwa aku menghadapi kematian.’ Ia sangat lelah dan menyesal bahwa ramalan itu tak berguna lagi baginya. Sang pangeran melepas kuda betinanya yang mengelilinganya sesaat sebelum memakan rumput sampai hari gelap, sementara sang pangeran tidak tidur atau makan atau minum. Kuda betina itu, yang tali pelananya sudah dilonggarkan, mendekati sang pangeran dan menyentuh kedua kakinya dengan kepalanya selagi nafas dihembuskan dari hidungnya, dan sang pangeran mengusap wajah kuda itu.

Ketika Pangeran Kaukab menungganginya dan berkuda lagi, ia melewati jalur gersang yang sempit, dan sampai ke sebuah gunung yang di sana terdapat ngarai, ia melaluinya untuk sisa hari itu dan terus melanjutkan sepanjang malam sampai pagi datang. Dari kejauhan bisa terlihat sebuah danau yang gelap dan pengap, sesampainya di sana ia turun dari kudanya dengan muram dan, setelah mengambil kotoran dari sana, ia lumeri ke atas dadanya. Ia lepas kekang kudanya sebagai wujud simpati, lalu kuda betina itu mulai memakan rumput, dan apa yang kudanya makan terasa kotor untuk ia makan juga. Karena sang pangeran menderita sulit tidur, ia pejamkan matanya dan kehilangan kesadaran.

Beberapa saat kemudian di tepi danau sebuah perahu muncul, dan dari perahu itu sepuluh pria kulit hitam sebesar kerbau muncul dan menerkam sang pangeran sebelum ia bisa melawan. Setelah mereka menangkapnya, kuda betina itu menjauh dan berlari seperti hewan buas ke atas gunung, tetapi karena kuda itu belum pernah ke sana, ia tersesat.

Betapa malangnya sang pangeran, tetapi mengenai kawan-kawannya, mereka tidak mengetahui apa yang terjadi dengannya dan berkeliling mencarinya di padang pasir tanpa hasil. Saat mereka putus asa akan kehilangan dirinya sang wasir berkata: ‘Aku sudah berbicara kepadanya, tapi ia tidak menerima saranku, dan sekarang yang berlalu biarlah berlalu.’ Ia mengirim pesan kepada sang raja dan memintanya dengan tegas untuk menetap di mana ia berada sampai Tuhan memberinya kelegaan dari kesedihannya dengan membiarkannya melihat sang pangeran.

Ia melakukannya, sementara sang raja, mendengar kabar tersebut, menjadi tak berdaya dan memotong ekor-ekor kuda dalam kesedihan atas kehilangan putranya. Ia mengisi malam-malam dengan tangisannya, sementara ibu sang anak hampir membunuh dirinya sendiri dengan duka dan memotong rambutnya seperti para pelayannya. Penduduk berada dalam duka dan orang-orang kerajaan dipenuhi dengan nestapa.

Sang raja membangun makam untuk putranya di dalam istana dan menetap di sebelahnya, berduka dan meratap seperti seorang ibu kehilangan anaknya dan gelisah seperti sebutir jagung di atas penggorengan. Ibu sang pangeran dan pelayan-pelayannya menjerit-jerit dan, dengan tersebarnya kabar tersebut, sang raja kehilangan kekuatannya.

Ia mengirim orang-orangnya ke mana pun untuk mencari informasi, dan kabar atas apa yang terjadi kepada sang pangeran sampai ke seorang abdi yang pernah diutus sebagai pembawa pesan. Sang bendahara, yang menjadi tempat ia mengabdi, telah menjadikannya penjaga pintu dan menugaskannya atas urusan-urusan yang ia miliki, membolehkannya untuk berbuat apa yang ia mau. Ketika sang bendahara mendengar apa yang terjadi dengan sang pangeran dan rahasia itu terkuak, ia menunjukkan duka citanya kepada putra sang abdi raja. Betapa sengsara sang raja.

Sang wasir dan orang-orangnya menetap di perkemahan selama delapan belas hari setelah sang pangeran menghilang. Sementara itu kuda betina pangeran tersesat di atas gunung dan perbukitan, menghadapi bahaya yang menakutkan, sampai Allah membawanya ke jalan yang benar, lalu kuda itu mengikuti jalan tersebut. Kuda betina itu menjadi sangat kurus karena kurang makan, tapi setelah sampai di perkemahan sang wasir, ia menarik perhatian kuda-kuda lain dan mendekati mereka sambil tersengal-sengal. Orang-orang mengerumuninya, tapi ia masih terus berjalan sampai ke kandangnya di mana ia terjatuh lalu mati. Hal ini bahkan lebih mencengangkan rombongan pengawal dari pada kehadiran sang pangeran, dan sang wasir meneteskan air mata getir saat menanggalkan perhiasannya dan menguburnya dengan kain kafan untuk menghormati raja dan pangeran. Kemudian sang wasir memerintahkan rombongan bergerak, lalu mereka bersama-sama berkuda pulang ke rumah. Hari kedatangan mereka adalah salah satu kekhidmatan besar karena seseorang yang hilang dari barisan rombongan mereka adalah si Kaukab muda, yang untuknya mereka membalikkan pelana kuda mereka dan menurunkan panji-panji mereka.

Betapa sedihnya mereka, tapi mengenai sang pangeran, setelah para pria kulit hitam menangkapnya ia masih tetap terikat untuk sisa hari itu sampai malam datang. Lalu para penculik itu membawanya ke teluk sempit yang memiliki air segar yang lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu. Mereka mengarungi teluk itu sampai larut malam, kemudian pergi ke darat dan mengumpulkan kayu untuk api unggun. Saat api menyala mereka membawa sang pangeran dan menjatuhkannya masih dalam keadaan terikat, lalu mereka menatap satu sama lain. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa ia harus diberi makan atau ia akan mati, tapi yang lainnya tidak menerima sarannya.

Kaukab mendekati mereka, bersikap seolah-olah ia adalah salah satu dari mereka. Ia mendengar bahwa sang bendaharawan raja adalah keturunan orang Magi[3] dan di antara mereka terdapat saudaranya. Saat mereka melihat apa yang sang pangeran lakukan, mereka bertanya apa agama yang dianutnya. ‘Agamaku adalah apa yang dianut pula oleh ayahku Ghasab, sang bendahara raja.’ Mendengar hal ini, mereka mendekatinya dan bersujud di hadapannya, lalu berseru: ‘Ia adalah saudara pemimpin kita! Kita memiliki hadiah untuknya, dan besok kita akan berada di Saihun.’

Mereka memberi Kaukab sesuatu untuk dimakan, setelah makan ia duduk sampai malam tiba sementara mereka menyediakan tempat tidur untuknya di tempat yang nyaman, membuat dirinya diterima dengan senang hati. Ia tertidur sampai pagi, lalu duduk memperhatikan air sampai siang. Yang bisa ia lihat adalah hamparan air luas dengan ombak yang berbenturan masuk ke dalam air yang berbau busuk, masuk ke teluk kami. Teluk ini mengarah ke laut lepas dan jalan pulang untuk para kulit hitam.

Setelah makan malam, mereka pergi ke tempat di mana mereka menghabiskan malam dan terus seperti ini selama sepuluh hari, setelah itu mereka mendekati beberapa kastil, ladang, dan perkebunan. Saat pemilik tempat-tempat itu didatangi untuk dipintai makanan, ia memberikan mereka persediaan yang cukup untuk sebulan penuh disertai khamar dari berbagai jenis dan menyambut Kaukab dengan hangat.

Setelah tiga hari, rombongan itu pergi dan berpindah ke sebuah pulau yang luas dan sangat indah dengan berbagai jenis pepohonan dan buah-buahan, tanahnya dihampari warna kuning jingga di mana mereka meregangkan kaki mereka setelah menambatkan perahu ke sebuah tiang. Kaukab memutuskan untuk tidak menyimpan apapun dari mereka, dan saat mereka memintanya untuk menceritakan kisahnya ia berkata: ‘Kami saat itu sedang berburu dan aku mengikuti seekor antelop, tapi ketika aku gagal menangkapnya aku menjadi pusing dan tidak tahu bagaimana untuk kembali ke kawan-kawanku.’

Orang-orang kulit hitam itu percaya kepada cerita sang pangeran, setelah makan dan minum dengan tentram, mereka meminum khamar saat angin sepoi-sepoi berhembus dan air mengalir sementara pepohonan berdesir dengan lembut di bawah sinar rembulan. Mereka seperti ini sampai fajar merekah, pada saat itu mereka tertidur pulas untuk menebus tidur malam mereka. Saat mereka tak sadar Kaukab bangun, berseru: ‘Allah Maha Besar!’, dan memotong leher mereka sebelum menyeret mereka ke sungai, di mana mereka tenggelam bagai batu.

Kemudian Kaukab memindahkan tiang ke tempat perahu ditambatkan, lalu perahu itu berangkat secepat kilat. Hanya sesaat sebelum dia melihat daratan di mana orang-orang berkerumun seperti belalang. Para pengangkut barang datang dan memindahkan muatan perahu, membawanya ke penginapan dan meninggalkan perahu itu tertambat di pantai. Kaukab sendiri mengenakan pakaian yang indah dan mulai berkeliling kota memeriksa toko-toko.

Betapa malang dirinya, tetapi mengenai tubuh orang-orang kulit hitam yang tenggelam, saat tubuh-tubuh itu terapung di permukaan, orang-orang menjerit melihat leher mereka yang terpotong, dan kabar ini sampai kepada sang bendahara. Ia dan sultan datang dengan tiga orang lainnya, ketika mereka melihat wajah-wajah terapung itu, sultan berkata: ‘Biarkan mereka pergi ke neraka.’ Bagaimanapun juga, salah satu dari mereka yang bernama ‘Umar dikenali, lalu sang bendahara mengirim abdinya ke benteng di mana sang penjaga pintu diberitahukan kabar tersebut. Sang bendahara mendatangi seorang budak kulit hitam, yang sedang mengangkut makanan ke perahu dan yang sangat takut kepadanya, lalu sang bendahara bertanya siapa saja yang ada di kapal. Budak kulit hitam itu menyebutkan mereka satu persatu dan menambahkan bahwa di antara mereka terdapat seorang pemuda dengan wajah secerah rembulan yang mengaku dirinya sebagai anak tertuanya. Mendengar hal ini, sang bendahara menyuruhnya keluar dan melarangnya untuk berbicara apapun jika siapa saja bertanya kepadanya.

Sang bendahara memikirkan secara rinci rencananya dan bertanya kepada orang-orang di sekitarnya adakah seseorang yang turun dari kapal. Seorang lelaki tua dengan telinga seperti kendi dan tali yang diikatkan di pinggangnya datang kepadanya dan berkata dengan sopan: ‘Tuan, saya melihat seseorang yang mengenakan tudung wajah, ia diikuti dua pengangkut barang yang membawa semua perlengkapan tidur dan barang-barangnya.’ Sang bendahara memanggil kepala pelayan dan berkonsultasi empat mata dengannya, setelah itu lelaki tersebut pergi sebentar sebelum kembali untuk berbicara dengannya, lalu sang bendahara, yang dikelilingi oleh banyak orang, pergi ke pintu penginapan.

Sebelum Kaukab mengetahui apa yang sedang terjadi, ia melihat sang bendahara bersama segerombolan orang di sekitarnya. Sang bendahara mengirimkan seorang mamluk[4] untuk memberitahunya agar datang ke rumahnya, lalu dengan cepat ia melakukannya, masuk ke dalam, dan duduk dengan mamluk itu seperti yang diinstruksikan. Sang bendahara turun dari kudanya dan meminta agar ia dibawa kepadanya. ‘Kaukab!’ serunya saat melihat sang pangeran, dan saat Kaukab menjawab ia bertanya apa yang ia lakukan di sana. ‘Ini adalah sesuatu yang ditakdirkan Allah,’ sang bendahara menjawab, ketika sang bendahar bertanya di mana ibunya ia menjawab ia berada di kota bersama ayahnya. ‘Siapapun yang menderita tak akan pernah lupa,’ ucap sang bendahara, ‘dan orang yang bertanggung jawab atas pengasinganku harus menanggung ketidakberuntungan karena Tuhan umat manusia telah menempatkanmu di tanganku.’

Di bawah perintah sang bendahara Kaukab diikat, dipelantingkan ke atas tanah, dan dipukuli sampai dirinya tak sadarkan diri, setelah itu sebuah batu yang berat diikatkan ke kedua kakinya dan ia ditinggalkan di sudut rumah. Ia dibiarkan seperti itu selama sepuluh hari dengan syarat atas kehendak Allah untuk memenuhi apa yang telah ditakdirkan oleh-Nya, tetapi setelah sang raja[5] kembali ke kota sang bendaharawan ketakutan akan seorang yang memiliki hubungan dengan Kaukab atau yang mengenalinya akan menangkapnya, lalu ia memindahkannya pada malam hari dan menaruhnya di penjara bawah tanah di antara para pencuri. Kemudian sang bendahara pergi pagi-pagi sekali untuk mengabdikan dirinya kepada sang raja, yang menyambutnya dan memintanya untuk duduk di dekatnya, ia berterimakasih atas posisi istimewa tersebut. Lalu sang raja memberitahunya untuk memerintahkan pembebasan besar-besaran para tahanan dengan harapan semoga Allah memulihkannya dari penyakit yang tak kunjung sembuh dan semakin buruk sejak hilangnya Kaukab – ‘dan aku berharap bisa menjadi tebusan untuknya,’ tambahnya.

Mendengar hal ini, sang bendahara berkata: ‘Kabar sudah terdengar bahwa ia telah muncul kembali dan sudah memasuki kota, meneranginya dengan cahaya rembulannya.’ ‘Wahai bendahara,’ seru sang raja saat mendengarnya, ‘untuk kabar ini kau berhak untuk mendapatkan jubah kehormatan.’ Ia membuatkan satu jubah yang sama berharganya dengan kerajaan Caesar dan secara terbuka menobatkan jubah itu kepadanya. Ketika jubah tersebut dipakaikan, mereka yang hadir menawarkan jasa mereka sambil berseru: ‘Orang ini sudah menikmati nasib baik dengan sang raja karena tidak pernah dikenal sama sekali.’

Sang bendahara berkuda pulang, diikuti oleh orang-orang yang bubar saat ia membuka pintu rumahnya dan masuk ke dalam. Kemudian ia duduk untuk memikirkan sebuah skema yang cermat, mempertanyakan dirinya sendiri bagaimana ia bisa membunuh Kaukab kalau orang-orang telah melihatnya. Ia tak dapat tidur di malam hari sampai fajar pertama datang. Ketika kumpulan orang melihatnya keluar mereka mengucapkan berkah baginya, mengerumuninya sampai ia masuk istana kerajaan dan mendekatkan dirinya untuk mengabdi kepada sang raja sebelum duduk.

Sang raja tidak tahu apa yang sedang terjadi karena pikirannya telah dipengaruhi dan juga berkat penyakitnya ia tak bisa berkuda keluar. Ia telah memberi kuasa kepada sang bendahara untuk membagikan hadiah atas namanya seakan-akan ia adalah ayahnya, sementara yang ia tahu tak lebih dari orang pada umumnya tentang apa yang sedang terjadi, dan yang ia telah dengar adalah informasi yang salah. Sang bendahara berkata: ‘O raja yang menguasai negeri yang luas, bolehkah hamba berbicara?’ ‘Katakan apa yang ingin kau katakan,’ ucap sang raja kepadanya, ‘aku akan mendengar dan mengikuti nasihat-nasihatmu.’ Lalu sang bendahara melanjutkan: ‘Segalanya berjalan lancar, dua pertiga dari rakyat mendukung baginda raja, tapi seorang penguasa yang bertindak tidak meyakinkan tak lebih dari seorang abdi. Ini adalah negeri yang luas dengan populasi besar di antara banyaknya orang-orang pembuat masalah, para pencuri dan penjahat. Jika kerusakan yang mereka lakukan tidak dicegah, tak akan ada yang tersisa dari ketentraman, dan orang-orang akan dirampok di siang bolong oleh pasukan bersenjata. Para musafir yang datang dan pergi akan menebar kabar bahwa negeri baginda rendah mutunya di mana para istri dari orang-orang terhormat bisa direbut pada sekali pertarungan pedang.’ ‘Lalu, apa yang hendak kau sarankan padaku?’ tanya sang raja, lalu sang bendahara menjawab: ‘Potong tangan orang-orang yang pantas menerimanya dan gantung orang-orang yang pantas digantung, sementara mereka yang berhutang darah tetapi tidak memiliki lawan hukum harus dibebaskan.’

Ia masih lanjut berbicara omong kosong sampai sang raja menoleh padanya, mengangkat tangannya dan memegang lehernya, ia berkata: ‘Aku tak memiliki tanggungjawab untuk urusan ini; kaulah yang akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan kepada rakyat, jadi bertindaklah dengan cara yang akan memastikan keselamatan dirimu di hidup yang akan datang ketika kau berdiri di hadapan Sang Pemberi kehidupan. Aku tidak akan bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang dhimmi[6], Kristen, atau Muslim, dan kaulah yang akan bertanggungjawab atas mereka di hadapan Allah, Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi.’

Ketika sang bendahara mendengar ini, ia menunjukkan giginya sambil tersenyum lalu berkuda pulang ke rumah. Ia bilang kepada dirinya sendiri bahwa sebelum membunuh Pangeran Kaukab ia harus membunuh yang lainnya dulu, setelah itu ia tak boleh mengeksekusinya sendirian. Lalu ia bilang ke petugas-petugasnya untuk menghitung para tahanan yang ia miliki, setelah mereka melakukannya, dilaporkan bahwa jumlah para tahanan sebanyak enam ratus orang. Dari jumlah tersebut ia membebaskan seratus lima puluh orang secara terbuka sampai membuat keributan karena orang-orang mengucapkan berkah untuknya. Keesokannya ia membawa seratus orang tahanan dan memenggal kepala mereka, saat ia menyalibkan tiga puluh lainnya, ia membuat penduduk sangat takut. Di hari ketiga ia mengeksekusi seratus lainnya, di hari keempat ia masuk ke penjara bawah tanah sendiri, memukuli Kaukab muda sampai sekarat. Saat ia berhenti memukulinya Kaukab bertanya apa yang hendak ia lakukan kepadanya dan ia berkata: ‘Aku akan membuatmu malu jadi kau bisa melihat aibmu sendiri.’ ‘Apa yang telah kuperbuat padamu?’ tanya Kaukab, dan sang bendahara menjawab: ‘Apa yang akan anjing sepertimu lakukan? Aku ingin melihat ibumu menderita akan kehilanganmu, karena kau dan dirinya bertanggungjawab atas diriku yang diusir dan diasingkan dari tanahku sendiri. Ia mengambil seratus ribu dinar yang menjadi hutang kepadaku dan terus melemparkan batu padaku selama setahun.’ ‘Dengar,’ ucap Kaukab, ‘aku berjanji akan menggantinya untukmu.’ ‘Kau tak berharga,’ kata sang bendahara, ‘siapa yang bisa selamat dari rencanamu? Tapi sekarang sudah jelas bahwa kau tak bisa selamat.’

Saat Kaukab mendengar ucapannya ia merasa terhina dan tergerak oleh rasa takut untuk menjelaskan hutang yang dimiliki bendahara itu berkat bantuan yang dilakukan oleh raja, ayahnya. ‘Jika ayahmu masih berusaha sampai kehilangan akal sehatnya sekalipun, itu tak akan mengganti apa yang sudah kulakukan untuknya dan untuk kerajaan yang sudah kuberikan padanya,’ jawab sang bendahara. Kaukab berbicara kepadanya: ‘Apa yang kaulakukan kepadaku, Allah Yang Maha Kuasa akan membalasnya di dunia yang akan datang, sementara dunia ini fana, dunia setelahnya kekal.’ ‘Apa kau duduk di sana mengancamku?’ seru sang bendahara. ‘Bawa dia pergi.’

Ia dibawa keluar dengan tangan yang terikat dan tali di sekitar lehernya, tapi kerumunan yang menonton tersentak dengan keindahan wajahnya sehingga mereka sangat ingin untuk membebaskannya dari sang bendahara, dan salah satu dari mereka berseru agar sang bendahara harus dilempari batu. Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa kerumunan akan menyerangnya, bahkan kalau sultan dan pasukannya melindungi orang yang mereka serang, itu tak akan menyelamatkannya. Jadi ia memberi isyarat dengan tangannya kepada mereka untuk diam dan melepas ikatan di leher Kaukab. Ia meminta agar Kaukab diberikan tempat duduk, saat ia duduk pelayan-pelayan sang bendahara mengelilingi Kaukab, menjaganya dari kerumunan. Sang bendahara menyuruh salah satu pelayannya untuk memotong kedua tangan dan kaki Kaukab tanpa membakar lukanya, jadi ia bisa mati secepat mungkin dan kerumunan itu tak akan bisa meonolongnya.

Si pelayan melakukan apa yang diperintahkan, dan kerumunan berteriak menentang sang bendahara, seandainya mereka bisa menjangkaunya mereka pasti akan menjatuhkannya dengan batu-batu yang mereka lemparkan. Mereka dapat menjangkau Kaukab muda, dengan beberapa sapu tangan, mereka membakar tangan dan kakinya, lalu merobek pakaian mereka untuk membalut lukanya. Mereka membawakan serbet dan air mawar untuk diminumnya, memercikkan air itu ke wajahnya dan menyekanya sebelum memakaikan jubah dan membawanya ke istana kerajaan. Saudari sang raja, yang telah disebutkan sebelumnya, sedang duduk memandang keluar dari balkon istana bersama istri raja, saat sang putri melihat kerumunan sedang berbondong-bondong di bawah ia meminta Sawab, pelayan yang telah membesarkannya, untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi dan mengapa mereka berkerumun. Si pelayan turun ke bawah dan memperhatikan sampai ia melihat Kaukab muda digotong, ia tak bisa dikenal karena kehilangan banyak darah dan warna kulitnya yang telah berubah. Pada saat itu juga, si pelayan meminta mereka untuk menurunkannya dan memberitahu bahwa majikannya yang akan mengurusnya. Kaukab sendiri telah hilang kesadaran dan tak lagi terlihat seperti dirinya.

Sawab menghadap ke sang putri, Yaquta, dan memberitahunya apa yang terjadi, lalu ia turun untuk melihat dengan matanya sendiri, saat ia melihat bentuk rupawan dari pria yang mereka bawa dan lentik keindahannya, ia merasa iba kepadanya dalam lubuk hatinya, seakan Allah Yang Maha Kuasa sudah merencanakan hal ini. Ia kembali masuk ke istana, setelah duduk di tempat biasanya, ia meminta Sawab untuk menempatkan Kaukab di masjid di seberang istana lalu menguncinya agar orang-orang menjauh darinya. Setelah selesai melakukannya sang putri memanggil namanya, saat ia sampai sang putri berkata: ‘Kau tahu bahwa kau sudah membesarkanku, saat kau memandikanku aku membuka seluruh tubuhku untukmu, dan kau membiarkanku bersender di bahumu. Sekarang ada sesuatu yang kubutuhkan darimu.’ ‘Jika kau memberitahu apa yang kau butuhkan, aku akan melakukannya untukmu,’ ucapnya, lalu sang putri memberitahunya: ‘Di lubuk hatiku aku merasa iba dengan laki-laki ini dan aku mau kau membawanya kepadaku.’

Sawab menunggu malam datang saat orang-orang telah terlelap, lalu ia membuka pintu belakang dan menurunkan gorden di atasnya. Ia menemui Kaukab dan menggotongnya ke istana, ia berhenti sejenak dan mengunci pintu sebelum membawanya ke hadapan Putri Yaquta. Putri membawanya ke kamar yang di dalamnya terdapat sebuah jendela kisi besi indah menghadap tanah Jaihun, dari situ ia bisa melihat pangeran-pangeran Arab dan bala tentara yang lewat. Lantai kamar dilapisi karpet, ia juga diberikan tempat duduk yang tinggi. Sang putri bilang kepadanya agar beristirahat dengan baik karena ia berarti segala-galanya untuk sang putri; karena sebuah kesalahan yang telah diperbuat, dari lubuk hatinya ia merasa iba kepada Kaukab, dan ia tak perlu lagi merasa takut. Sang putri memperkenalkan pelayannya kepada Kaukab dan menanggungjawabkan istana kepada Sawab agar Kaukab sebaiknya tak bersama sang putri. Ia terus memberi Kaukab serbet dan mengoleskan ramuan sultani di atas lukanya untuk mengurangi rasa sakit, karena Allah dengan keagungan-Nya telah mentakdirkan dirinya untuk menang dari musuh-musuhnya.

Betapa malangnya Kaukab, tapi mengenai sang bendahara, ia pergi malam itu dengan dua puluh pelayannya ke tempat di mana Kaukab sebelumnya dibawa, tapi tak menemukan jejak darinya, mereka dilanda kebingungan. Sejumlah orang melihat sang bendahara dalam perjalanannya, mereka mengikutinya dan memberitahunya bahwa Kaukab beruntung, setelah dibawa ke sana, ia telah dibawa pergi. Sang bendahara pulang bersama orang-orangnya dalam kesuraman yang tak kunjung padam sampai-sampai tak mengizinkannya untuk tidur.

Mengenai orangtua Kaukab, ayahnya mengutus beberapa kurir dengan surat-surat ke kota di mana sang bendahara berada dan di mana mereka menanyakan tanda-tanda perkabungan umum yang mereka lihat. Sang bendahara menunjukkan kesedihannya dan mempersembahkan kepada mereka beberapa hadiah dan jubah kehormatan. Lalu mereka kembali kepada raja tapi tak bisa memberitahunya apa yang telah terjadi kepada Kaukab. Kesedihannya terus berlanjut dengan tak sedikit ungkapan nestapa serta perasaan suram, dan kedua orang tuanya mengangkat ratapan tangis mereka kepada Allah Yang Mahakuasa.

Kaukab tetap bersembunyi bersama Yaquta yang mengurusnya. Sang putri tak memberitahu ibunya, dan yang mengetahuinya hanyalah si pelayan, sementara sepuluh kali sehari sang putri mengambilkan Kaukab semua jenis makanan yang lezat. Mengenai sang bendahara, ia mengaku bingung tentang perkara itu tapi tidak berpikir bahwa Kaukab menetap di istana. Ia memerintahkan seorang gadis cantik berusia sepuluh tahun untuk dibawa kepadanya ketika para pengawalnya berjaga, lalu ia berkata kepada gadis itu: ‘Aku bermaksud untuk memberikanmu kepada tuan putri, jadi kau bisa mencari tahu apa yang ia lakukan, lalu kau laporkan kepada pelayan ini.’

Sang bendahara mengirim gadis itu beserta seorang pelayan dan hadiah sebuah pakaian, lalu sang putri mengaguminya saat ia sampai, ia memberitahu sang putri bahwa dirinya bisa dipercaya dengan rahasia-rahasia hatinya ketika pelayan itu berada di luar ruangan. Sang putri menyampaikan terimakasihnya kepada sang bendahara. Lima tahun berlalu, sang putri terkesan dengan perkembangan kecerdasan gadis itu, juga keterampilannya, penguasaan sajak Arabnya, dan kegemarannya pada hal yang tak biasa. Menganggapnya sebagai teman dekat, sang putri memberitahunya mengenai Kaukab, sebulan kemudian ketika gadis itu sendirian dengan pelayan sang bendahara, ia memberitahunya kabar tersebut dan ia lanjutkan kepada majikannya.

Sang bendahara mendapati sang raja bahagia karena penyakitnya sudah disembuhkan dan memberitahunya ada hal yang mesti dikabarkan, ia akan mengatakannya secara empat mata karena tak bisa berbicara di depan para hadirin di pengadilan. Ketika mendengar hal ini sang raja memerintahkan para hadirin untuk mengosongkan pengadilan dan berbicara kepadanya untuk mengatakan apa yang hendak ia sampaikan, lalu ia mulai bicara: ‘Ketahuilah, wahai raja yang agung, bahwa terdapat banyak orang asing yang sedang berkumpul di kota, dan seorang yang terpelajar telah berbicara. Apakah baginda sudah mendengar bahwa saudarimu Yaquta telah jatuh cinta kepada seorang pria yang ia simpan dalam istananya, apa pendapat baginda?’ ‘Apa katamu?’ seru sang raja, dan sang bendahara melanjutkan: ‘Baginda mendengar apa yang hamba katakan, tapi jangan terburu-buru agar baginda bisa mendapat apa yang baginda inginkan, meskipun mungkin menakutkan.’

Seorang pelayan sedang berdiri di dekat sang raja, ketika pelayan itu mendengar apa yang diberitahukan ia beranjak ke seorang pelayan wanita dan memberitahunya apa yang terjadi. Mereka mengusulkan agar Kaukab dipindahkan ke tempat yang lebih aman tatkala mereka dihadapkan oleh sang raja dengan sang bendahara yang mengawasi, dan para pelayan berdiri di belakang mereka. Melihat pelayan itu, sang bendahara berseru: ‘Anjing hitam, apakah kau yang bilang sendiri kepada mereka supaya mereka bisa menyembunyikannya di suatu tempat?’ Ia menghunus pedangnya dan maju ke arah si pelayan sebelum memberikan serangan yang mengenai kepalanya. Hal ini menakuti si pelayan wanita dan teman-temannya, lalu sang raja berkata kepada sang bendahara bahwa ia bisa melakukan apa yang ia ingin lakukan kepada mereka. Sang bendahara membawa para pelayan ke rumahnya dan memukuli mereka dengan kejam sehingga merobek daging mereka. Ia kembali lagi kepada sang raja yang menanyakannya apa yang telah ia lakukan. ‘Aku menanyakan mereka,’ katanya, ‘dan mereka memberitahuku bahwa Yaquta telah dihamili oleh kekasihnya.’

Sang raja memukul satu tangan ke tangan lainnya dan berseru: ‘Tidak ada kekuatan dan kuasa kecuali milik Allah Yang Maha Kuasa! Demi Allah, saat tuanku mendengar kabar ini ia akan menyerang dan mengambil negeriku, dan apa yang akan kukatakan padanya?’ Ia mengulangi ucapan itu dengan murka, mengatakan bahwa tuannya akan sangat marah kepadanya, lalu ia meminta sang bendahara agar memenggal kepala Yaquta. Namun sang bendahara mengatakan bahwa ia akan menunggu sampai Sabtu tengah hari, ia sendiri yang akan menenggelamkan Yaquta dan kekasihnya agar semua pelaut bisa melihat, ‘sehingga mereka dapat mengatakan apa yang baginda lakukan dan semua orang yang mendengar akan mendoakan berkah untuk baginda.’ ‘Lakukan apa yang kau mau,’ ucap sang raja.

Pengumuman telah dibuat, dan kabar tentang apa yang terjadi sudah tersebar di antara penduduk negeri, di antara mereka yang tidak membicarakan hal lain. Sawab mendengar kabar tersebut, di hari Sabtu ia mendatangi ibunya dalam keadaan bingung dan bertanya kepadanya: ‘Siapa yang memberitahu sang bendahara perkara ini dan bagaimana ini bisa terjadi?’ ‘Mari kita lihat rencana cerdik apa yang bisa kau buat,’ ucapnya, ‘malam ini kabarkan para pemilik perahu untuk tidak meninggalkan satu perahu pun di sungai.’ Sawab melakukannya, dan hanya satu perahu kecil yang ditinggalkan di sana, di dalamnya terdapat dua karung hitam dan dua tiang batu pipih yang membutuhkan tiga orang untuk mengangkatnya.

Ia beranjak menghadap sang raja yang ia lihat sedang patah hati karena saudarinya Yaquta dan ia tak dapat bicara. Sejenak kemudian datang sang bendahara yang menyeret Yaquta dengan tangannya. Saat Sawab melihat sang putri, menatapnya seperti bulan purnama, ia berseru kepada sang bendahara di depan sang raja, setelah mengambil sang putri dari sang bendahara, Sawab memukul kepala sang putri dengan telapak tangannya dan memukul wajah Kaukab sangat keras sampai hampir membuatnya buta. Ketika sang bendahara melihat apa yang Sawab lakukan kepada mereka, ia memintanya untuk mengambil alih. ‘Aku akan melakukan yang engkau inginkan,’ ucap Sawab, lalu ia mengikat dan membawa mereka keluar istana ketika orang-orang berkerumun menontoni mereka sebelum ditempatkan di dalam perahu kecil itu. Terdapat kegelisahan di antara para penonton, dan sang raja beranjak dari singgasananya sebelum pergi ke balkon untuk melihat sungai yang merentang sejauh mata memandang.

Sawab dan abdi lainnya membawa mereka, mengencangkan ikatan, dan melempar mereka ke dalam perahu dengan dua karung hitam di depan kedua orang itu. Goncangan di perahu bertambah saat sang putri berteriak, dan sang raja yang meneteskan air mata beranjak kembali ke kota. Sawab mengambil perahu itu ke bawah kota dan menambatkannya sampai malam tiba, pada tengah malam ia mengeluarkan perahu itu dan berlayar kembali ke bawah istana kerajaan. Pada saat itulah Sawab memindahkan Yaquta dan Kaukab dan memberi mereka tempat aman untuk menetap.

Kabar perihal apa yang telah terjadi kepada saudarinya sampai ke pendengaran ayah pangeran, ia berkata kepada istrinya: ‘Ia adalah penguasa yang baik, jadi ikutlah denganku dan nikmati kunjungan menemuinya, karena kudengar dirinya dipuji sebagai pria yang baik dan pemimpin yang mengesankan.’ Saat mendengarnya sang ibu berkata: ‘Yang Mulia, bagaimana aku bisa menikmatinya? Kesedihan telah merasuki batinku karena anakku menjadi bagian perkara ini.’ ‘Apa yang kau katakan memang benar,’ jawab sang raja, ‘tapi kita harus memiliki jeda singkat dari kesedihan atau kita akan mati, dan setelah itu terjadi negeri ini akan menghadapi kehancuran.’ Ia tak setuju, lalu sang raja meninggalkan sang wasir untuk mengurusi urusan kerajaan sementara dirinya bergerak dengan tenda dan pasukannya. Tak ada panji yang dibentangkan dan tak ada genderang yang dipukul, hanya terompet kecil yang berbunyi, karena hanya pasukan kecil yang bergerak bersama sang raja.

Betapa sengsaranya sang raja, mengenai ibu Yaquta, ia memanggil Sawab untuk berkonsultasi. ‘Ini adalah kejadian yang aneh,’ ucapnya pada Sawab, ‘dan pelajaran bagi mereka yang bisa belajar. Apakah kau tahu siapa yang memotong tangan dan kaki anak ini?’ ‘Tidak, demi Allah,’ jawab Sawab, lalu ia memberitahunya bahwa laki-laki itu adalah Kaukab, putra Raja Fulk. Ia telah menceritakannya kisah Kaukab dari awal hingga akhir, termasuk apa yang sang bendahara telah lakukan karena kebenciannya pada ibu sang pangeran. ‘Ia mengusulkan kau untuk pergi ke ayahnya Fulk lalu memberitahunya apa yang terjadi padanya dan Yaquta, sebaliknya orang terkutuk itu akan berencana menghancurkan kita meski bersembunyi di ujung dunia sekalipun. Karena ia tak punya tangan dan kaki, tempatkan dirinya di sebuah gerobak seperti sejumlah tiram dan tinggalkan dia bersama teman-temanmu. Aku sendiri tak akan menetap dan akan mengikutimu. Bergeraklah dengan pasukan seadanya melintasi negeri yang berbahaya dan melewati tanah suamiku. Lalu kirimkan seorang Badui kepada Fulk untuk memberitahunya apa yang telah terjadi dan jangan menetap di sini kecuali kau ingin menderita pembalasan dendam makhluk yang bukan lagi manusia dan tak akan bertemu Allah Yang Maha Pemurah di kehidupan yang akan datang.’

Saat Sawab mendengar perkataannya ia segera pergi keluar dan memberitahukan teman-temannya apa barusan terjadi. Mereka menunggangi kuda, membawa beberapa unta dan bagal, lalu meninggalkan kota, ketika mereka sudah menjauh dari kota mereka sampai di salah satu kastil garnisun kerajaan, tempat yang kokoh dan tinggi sampai puncaknya hampir tak terlihat. Sawab berkata kepada rombongannya untuk menanjak, karena mereka dapat tinggal di sana bahkan jika mereka dikepung sampai Hari Kiamat. Namun Kaukab berkata: ‘Bawalah aku ke ayahku agar ia bisa melihatku dan memuaskan kerinduannya serta, jika ia berkehendak, juga membalaskan dendam untukku atas apa yang telah dilakukan kepadaku.’ ‘Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan, tuan,’ ucap Sawab, ‘karena kami adalah hambamu.’ Kemudian mereka mengemasi semua barang mereka dan petang itu rombongan Sawab berangkat meninggalkan kastil garnisun menuju gerbang Saihun tanpa takut karena dinding-dinding kastil setinggi gemintang di langit.

Tatkala sang bendahara tak dapat menemukan Sawab dan teman-temannya, ia memberikan seratus dinar kepada seorang Badui, memintanya untuk mencari tahu ke mana mereka pergi dan menjanjikannya jubah kehormatan beserta seekor kuda. Orang Badui itu setuju, ia menunggangi unta berpunuk satunya dan melaju mengejar rombongan Sawab, lalu bergabung dan menemani mereka pergi ke kastil. Tak lama ia kembali ke kota sementara orang-orang di sana menatap unta putih berpunuk satunya yang melaju seperti angin dan meninggalkan jejak kerikil yang berserakan di telapak kakinya. Penunggangnya tak perlu mencambuk panggul sang unta karena ia seperti hembusan angin atau seekor merpati yang terbang.

Betapa tak acuhnya Badui itu, tetapi di kota terdapat seorang pelaut yang sudah diberikan seribu dinar oleh orang-orang Sawab yang memberitahunya bahwa ia bisa hidup dengan uang ini untuk sisa hidupnya selama tak ada yang tahu perihal Sawab. Hasratnya kepada uang menjadikannya hilang akal, karena ia tak tahu uang itu layak digunakan untuk apa. Ia membelikan pakaian untuk anak perempuannya, anak-anaknya, dan istrinya, serta perahu baru untuk dirinya sendiri, lalu ia muncul dengan pakaian yang hanya biasa ia pakai di hari raya ‘Id. Tetangganya, yang pelaut juga, pergi di malam hari ke sang bendahara dan menceritakannya perihal hal tersebut, kemudian sang bendahara memanggil pelaut itu dan menanyakannya. Karena ketakutan ia membeberkan rahasianya lalu dipenjarakan. Pagi harinya ia dihadapkan kepada sang raja yang menanyakan kisahnya, setelah sang raja mendengarnya ia berkata kepada sang bendahara: ‘Ia adalah orang miskin. Jangan lagi berbicara kepadanya dan biarkan ia pergi.’

Orang itu dibebaskan, dan raja memerintahkan orang-orangnya untuk mengejar Sawab ke kastilnya lalu mengepungnya. Saat orang Badui itu tahu bahwa sang raja telah datang, ia menambatkan untanya dengan tali kekang, datang ke hadapannya, menyambutnya, mencium tangannya, dan memberitahunya apa yang telah terjadi, kemudian sang raja memerintahkan pasukannya untuk berangkat mengejar Sawab. Mereka mengikuti Badui itu selama sebulan penuh sebelum menemukan rombongan Sawab di kaki gunung yang membumbung tinggi ke udara. Saat Sawab melihat jumlah pasukan yang datang, ia dan rombongannya mengungsi di lereng gunung yang lebih rendah. Ia bertarung sampai malam, tapi tetap digulingkan oleh jumlah lawan dan memutuskan untuk berpindah lagi ke puncak gunung, meski persediaan air berada di kaki gunung.

Kaukab muda, yang sudah putus asa untuk hidup, merangkak untuk berdoa, sementara Sawab memberitahu majikannya bahwa mereka tersesat. ‘Semuanya ada di tangan Allah,’ kata ibu Yaquta kepada Sawab, ‘saat musuh memiliki persediaan air, tak satu pun dari kita yang punya lebih selain hanya bisa membasahi bibir, sementara binatang buas dalam diri kita binasa.’ Mendengar itu, Yaquta berkata: ‘Semoga Allah memberikan kita pertolongan dengan cepat, menjawab doa-doa kita, dan menghindarkan kita dari kehancuran sambil mengasihani pengasingan kita.’

Pagi harinya, teriakan demi terakan terdengar dari berbagai sudut, sang bendahara memberitahu pasukannya untuk tidak berhenti sampai mereka mengalahkan musuh dengan pedang mereka. Persediaan air berada di bawah kendali mereka, sementara orang-orang Sawab minum dari apa yang tersisa dan saling berbagi, sedangkan Kaukab tak minum sama sekali dan menawarkan pengorbanannya kepada Allah Yang Maha Kuasa. Petangnya musuh berpatroli di sekitar mereka dan menyalakan api unggun di depan mereka. Kaukab merangkak menjauhi teman-temannya, tapi Yaquta melihatnya dan bertanya apa yang ia lakukan. ‘Ada sesuatu yang harus kulakukan,’ katanya kepada Yaquta, ‘aku akan mengajukan keluhan kepada Allah. Tidurlah, berlindunglah di bawah naungan-Nya.’ Sang putri takut ia akan mencoba bunuh diri, jadi ia dan ibunya memperhatikannya dari jauh, dengan air mata yang membasahi pipi mereka.

Mengenai Kaukab, ia menatap langit, menundukkan kepalanya dan menangis, lalu merentangkan kedua lengannya sambil berkata: ‘Tuhanku, apakah ibuku tak lagi mempercayakanku kepada-Mu? Apakah ia tak menangis dan menundukkan kepalanya di hadapan-Mu, lalu berkata untuk menyerahkanku kepada-Mu? Jika ini adalah sesuatu yang sudah Kau tentukan dan tuliskan sebagai takdirku, maka lihatlah hamba. Tuhanku, kepada siapa lagi aku meminta pertolongan ketika Dirimulah yang membimbingku dengan selamat selama perjalananku? Bagaimana caraku untuk menyampaikan ini kepada-Mu, kepada Siapa aku bergantung untuk penghidupanku? Berikanlah hamba kasih sayang dan ampunan-Mu, dan jangan biarkan orang kafir ini memuaskan kebenciannya kepadaku. Tuhanku, jika Iblis membantunya, maka tolonglah hamba, karena Engkau Maha Penolong. Tuhanku, Engkau tahu tak ada yang membantuku, maka tolonglah hamba dan ambillah bagian hamba. Tuhanku, aku terjatuh di depan pintu-Mu, tak sanggup berdiri, jadi janganlah Kau usir diriku. Tuhanku, aku tak lagi sanggup memikul beban umat manusia, ambillah jiwaku dan bebaskan diriku, karena Engkaulah satu-satunya Penguasa yang aku serahkan kepada-Mu seluruh kerendahan hatiku, maka janganlah melupakan hamba. Lihatlah hamba dengan mata-Mu yang tak pernah tidur, karena aku berada di hadapan-Mu, dan Kau bisa mendengarku. Sudah kutaruh harapanku pada-Mu, maka tolong jangan kecewakan hamba. Ya Allah, Engkaulah Maha Tahu sesuatu yang dirahasiakan.’ Ia menangis lalu membenturkan kepalanya ke atas batu, yang membuat tangis dan erangannya menjadi-jadi. Air mata diikuti cucuran darah, sementara tubuhnya terjatuh ke atas tanah yang digenangi darah dari wajahnya.

Yaquta dan ibunya menundukkan kepala dan ikut memohon. Yaquta berkata: ‘Tuhanku, Engkau tahu keadaan kami, maka berikanlah kami rahmat-Mu, Tuhan Yang Maha Penyayang.’ Lalu ia membacakan baris-baris ini:

Ya Allah, Engkaulah Yang melihat dan tak terlihat,
Engkau melihat pipi kami yang terbaring di atas debu,
Kepala kami terbuka sebelumnya,
Dan begitu banyak air mata yang jatuh dari mata kami,
Engkau melihat tempat tinggal kami yang tandus,
Maka lihatlah kami, Engkau Yang menentukan nasib kami.
Berlemah lembutlah, Engkau Yang melihat dan tak terlihat.

Ia memotong rambutnya yang terhempas oleh angin, tapi pada saat itu juga sebuah suara surgawi memanggil: ‘Tutupilah kepalamu sehingga para malaikat bisa mendatangimu.’ Yaquta dan ibunya melakukan yang diperintahkan, dan tiba-tiba ada kobaran cahaya seperti kilat, dan suara itu berkata: ‘Wahai pemuda, berbaliklah dan rentangkan tangan serta kakimu, karena mereka sudah dikaruniakan kepadamu oleh Tuhan Yang menyediakan makanan di dalam gelapnya isi perutmu.’ Pada saat itu sebuah tangan terhubung dengan salah satu pergelangan tangan Kaukab dan begitu pun tangan lainnya. Kaukab berseru: ‘Demi Allah, aku merasakan urat nadi terhubung dengan darah yang mengalir dan daging yang merapat di bawah selubung kulit! Melihat pemberian yang Tuhan berikan kepadaku, aku akan bersujud untuk berterimakasih kepada-Nya.’

Lalu ia bangkit seperti bulan yang muncul dari balik awan, memuji-muji Allah Yang Maha Tahu karena mengakhiri penderitannya. Ia berdiri dan berjalan seperti terlahir kembali, hatinya terisi kebahagiaan atas pemberian Allah. Pagi berikutnya ia memasang pelindung dada, mengikat pedang India-nya, dan mengikat sabuk pinggang berhiaskan permata. Kemudian ia turun dari puncak gunung dan berkuda sendirian. Sang raja melarang seorang pun untuk menyerangnya karena mungkin ia adalah pembawa pesan yang memiliki hak untuk dihormati. ‘Kenapa tidak kita bunuh saja dia dan membakar tubuhnya agar ia tak berusaha mendapat sesuatu dari kita?’ tanya sang bendahara, tetapi mendengarnya sang raja berkata padanya: ‘Tunggu! Jangan kau bilang begitu atau terburu-buru mencelakakannya sebelum kita mengetahui alasan ia kemari. Jika nanti ia pantas untuk digantung, maka kita bisa menggantungnya.’

Ketika Kaukab sudah mendekat ia turun dari kudanya dan mulai berjalan melewati barisan pasukan sang raja yang memberinya jalan dan menyarungkan pedang mereka. Saat melihat sang raja, ia serahkan dirinya dan memeluknya, mengalami perasaan cinta yang penuh gairah untuknya di dalam hati yang tak bisa ia perhitungkan. Lalu ia berbicara: ‘Raja Jaihun, takutkah engkau dengan Allah yang mempunyai takdir, Dia Yang berkata pada sesuatu: “Jadilah”, maka terjadilah ia. Memiliki kehidupan dunia ini menipumu, dan korbannya ditipu dalam proses tawar-menawar. Mengapa kau tidak mempertanyakan keadaan rakyat? Kau sudah dipercaya oleh mereka tapi kau belum bertindak seperti pemimpin yang seharusnya; derajatmu sudah besar di atas mereka, tapi kau belum menunjukkan keadilan. Kupikir kau tak mengenal siapa dirimu ketika mengusir orang sepertiku dan bekerjasama dengan bendahara ini. Seluruh dunia memperhatikannya dalam diam karena kekuatan yang ia miliki dalam genggamannya, ia dan kedua tangannya bagaikan dua rembulan – segala puji bagi Allah, Sang Maha Pencipta!’

Saat itu juga sang bendahara mendekatinya dan berkata: ‘Kau yang memiliki mata api, anjing macam apa dirimu berani berdiri di hadapan raja dan memberinya pidato?’ ‘Kau tak mengenaliku?’ tanya Kaukab mendengar tegurannya; ‘Bukalah matamu dan lihat diriku. Aku adalah orang yang memiliki kedua tangan pemberian Allah, dan Allah lah yang mengembalikan mereka ke pergelangannya, begitu juga Dia mengembalikan kedua kakiku. Itu semua berasal dari kekuatan Sang Pencipta langit dan bumi, aku adalah pahlawan terhormat yang berhutang budi kepada raja dan aku sama sekali tak menyalahkannya atas perkara ini. Dan untukmu, aku akan memotong kepalamu di hadapannya dan memakai darahmu untuk mendapatkan kebaikan hatinya, karena aku adalah Kaukab putra Fulk, raja dua sungai, Saihun dan Jaihun.’

Kemudian Kaukab menceritakan kisahnya kepada sang raja, menjelaskan apa yang sang bendahara telah lakukan kepadanya, lalu sang raja berseru: ‘Demi Tuhan Ka’bah, air Zamzam, dan Maqam yang suci, Fulk adalah rajaku!’ ia melanjutkan: ‘Serang germo ini, sang bendahara, dengan tombak-tombakmu,’ lalu pasukan sang raja menyerangnya dengan tombak mereka, menghunus pedang mereka kepadanya. Yang pertama menyerang kepalanya dan membelahnya menjadi dua dengan pedang adalah Pangeran Kaukab. Jiwa sang bendahara meninggalkan tubuhnya – semoga Allah tidak menunjukkan belas kasih dan memalingkannya! Semoga Allah tak membasahi bumi untuknya dan mengutuknya. Sejumlah prajurit menyerangnya dengan pedang dan menusuknya dengan tombak sampai ia terpotong-potong menjadi beberapa bagian, dan Allah lah yang mengirim kepadanya orang-orang tersebut.

Beberapa saat kemudian Sawab turun dari gunung dengan saudari sang raja, ibunya, dan rombongannya, tak lama Fulk sampai dengan pasukan kudanya yang meringkik dan bumi tergoncang oleh jumlah dan injakkan tapak kaki mereka. Ia dan Pangeran Kaukab turun dari kuda lalu bersujud di hadapan Fulk, yang ketika melihat putranya Kaukab, terjatuh pingsan. Kemudian Kaukab memeluknya, Fulk berterimakasih kepada Allah karena telah mengembalikan putranya.

Ketika ibu sang pangeran mendengar, ia mendekatinya dan memeluknya, lalu berkata: ‘Putraku, ceritakan kisahmu.’ Kaukab menceritakan keseluruhan kisah dari awal sampai akhir dan, mendengarnya, kebahagiaan Fulk atas keselamatan anaknya yang tertandingi oleh amarahnya pada sang bendahara, semoga Allah mengutuknya, telah usai. ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberikanku hadiah berupa dua tangan dan kaki!’ serunya. Fulk memakaikan Kaukab jubah kehormatan yang sangat indah lalu memasuki kota di mana anak abdinya tinggal. Di sana ia memberi perintah kepada seorang qadi[7] dan sejumlah saksi untuk menyusun akad pernikahan putranya Kaukab dan Yaquta, putri dari abdinya. Ia menyajikan jamuan makan yang megah kepada hadirin dari golongan tinggi maupun rendah dan membagi-bagikan kekayaannya yang melimpah seperti hadiah dan uang. Kaukab meniduri Yaquta dan merasa bahagia menemukan dirinya yang masih suci.

Ia menetap selama tiga hari bersama saudaranya lalu pulang ke ayahnya di kerajaan Saihun, yang tak lama dipindah-tangankan kepadanya, lalu ia tinggal di sana bersama ayahnya sampai ia wafat.

Ini adalah kisah lengkapnya – Maha Suci Allah Yang Maha Esa dan berkah kepada ciptaan terbaik-Nya, Muhammad, keluarganya, dan sahabat-sahabatnya. 



[1] Diterjemahkan dari ‘The Story of the King of the Two Rivers, Saihun and Jaihun, His Son Kaukab and His Experience with the Chamberlain Ghasb. An Astonishing Tale.’ 2015. Tales of the Marvellous and News of the Strange. Diterjemahkan oleh: Malcolm C. Lyons. United Kingdom: Penguin Random House.
[2] Wasir: Penasihat politik atau menteri.
[3] Orang Magi: Kasta imam Iran yang mengabdi dalam ajaran Zoroaster. Tetapi istilah ini seringkali memiliki pengertian lebih longgar tentang orang pagan atau orang Persia. Orang-orang Magi biasanya berperan jahat.
[4] Mamluk: biasanya seorang prajurit budak berkulit putih, seringkali berasal dari Turki.
[5] Raja Farah, yang kepadanya sang bendahara mengabdi. Dalam cerita, memang kita akan dibuat sedikit bingung karena ada dua raja dan nama Raja Farah tidak disebut. Tapi untuk memudahkan, setiap sang bendahara mengabdikan dirinya, itu berarti kepada Raja Farah.
[6] Dhimmi: orang Kristiani atau Yahudi yang tinggal di bawah pemerintahan Muslim.
[7] Qadi: Hakim.

Comments

Popular Posts