Kematian di Tengah Musim Panas | 3


Yukio Mishima

Musim gugur terus berlalu, dan kehidupan keluarga itu hari ke hari semakin tentram. Bukan berarti kesedihan mereka terbuang begitu saja. Seperti Masaru melihat istrinya yang semakin tenang, bagaimanapun, suka cita di rumah dan kasih sayang kepada Katsuo membuatnya pulang cepat lagi setelah bekerja; bahkan jika Katsuo sudah tertidur, perbincangan berubah menjadi apa yang mereka berdua tak ingin bincangkan, mereka bisa menemukan sejenis penghiburan di dalamnya.

Proses di mana peristiwa yang begitu menakutkan itu melebur ke dalam kehidupan sehari-hari membawa jenis ketakutan baru, yang tercampur dengan rasa hina, seakan mereka sudah melakukan kejahatan yang akhirnya tak diketahui siapapun. Kesadaran, yang selalu ada bersama mereka, bahwa ada tiga orang yang hilang dari keluarga, terkadang seperti memberikan kepuasan yang aneh.

Tak seorangpun menjadi gila, tak seorang pun bunuh diri. Bahkan tak seorang pun jatuh sakit. Peristiwa mengerikan itu telah berlalu dan hampir tidak meninggalkan bayangan apapun. Tomoko mulai merasa bosan, seperti sedang menunggu sesuatu.

Mereka sudah lama melarang diri mereka sendiri untuk menonton pertunjukan teater dan konser, tapi sekarang Tomoko menemukan alasan untuk itu: kesenangan seperti itu sebenarnya dimaksudkan untuk menghibur kesedihan. Seorang pemain biola terkenal dari Amerika sedang dalam mengadakan tur, dan mereka sudah punya tiketnya. Katsuo dipaksa tinggal di rumah, sebagian alasannya juga karena Tomoko ingin pergi ke konser bersama suaminya.

Ia sudah lama bersiap-siap. Butuh waktu yang lama untuk memperbaiki rambut yang berbulan-bulan ditinggal tanpa perawatan. Wajahnya dalam cermin, saat dirinya sudah siap, benar-benar membawa kembali kenangan menyenangkan yang sudah lama terlupakan. Bagaimana menjelaskan sebuah kegembiraan dari seseorang yang kehilangan dirinya di dalam cermin? Ia sudah lupa betapa menyenangkannya bercermin – pasti karena kesedihan, dengan desakan keras kepala pada dirinya sendiri, menjauhkan seseorang dari perasaan suka cita seperti itu.

Ia mencoba kimononya satu persatu, dan akhirnya memilih kimono berwarna ungu mewah dan obi kain brokat. Masaru, yang menunggu di balik kemudi mobil, takjub pada istrinya yang sangat cantik.

Orang-orang di lobi menoleh untuk memandanginya dari atas ke bawah. Masaru amat senang. Bagi Tomoko, bagaimanapun juga, betapa cantik orang-orang menganggapnya, pasti selalu ada sesuatu yang kurang. Ada waktunya nanti ketika ia pulang ke rumah, dan merasa cukup puas setelah menarik banyak sekali perhatian. Ketidakpuasan yang mengganggu ini, katanya kepada diri sendiri, pastilah hasil dari kegembiraan dan keriangan yang hanya memastikan seberapa sembuh kesedihannya. Namun sebenarnya, itu hanya keadaan kambuh dari ketidakpuasaan samar yang ia pernah rasakan karena tidak diperlakukan sebagai wanita yang menderita.

Musik mempengaruhinya, ia berjalan melewati lobi dengan wajah sedihnya. Ia bercakap dengan seorang teman. Ekspresi temannya itu tampak cukup sesuai dengan kata-kata penghibur yang digumamkannya. Temannya mengenalkannya seorang pemuda. Pemuda itu tidak tahu apa-apa perihal kesedihan Tomoko dan tidak berbicara dengan cara menghibur. Ucapannya sangat biasa, termasuk satu-dua komentar kritis ringan tentang musik.

Anak muda yang kasar, pikir Tomoko sambil melihat kepala seseorang yang berkilau saat berpindah melewati kerumunan. Pemuda itu tak berkata apa-apa. Pasti ia melihat betapa sedihnya diriku.

Pemuda itu tinggi dan menonjol di antara kerumunan. Saat ia menoleh ke satu sisi, Tomoko melihat alis dan mata jenakanya, serta beberapa helai rambut yang jatuh di dahinya. Hanya bagian atas kepalanya yang tak terlihat.
Tomoko merasakan sedikit kecemburuan. Apakah ia mengharapkan sesuatu selain penghiburan dari pemuda itu, lalu – apakah ia menginginkan sesuatu, seperti kata-kata istimewa? Seluruh batinnya bergoncang saat memikirkan hal itu. Ia yakin bahwa kecurigaan baru ini sangat bertentangan dengan alasan apapun. Ia adalah seseorang yang tak pernah merasa puas dengan suaminya.

“Apa kamu haus?” tanya Masaru, yang sebelumnya juga bercakap dengan seorang teman. “Ada stan air jeruk di sana.”

Orang-orang sedang menyesap cairan oranye dari botol-botol yang dimiringkan. Tomoko memandang sekitarnya dengan mata juling karena rabun jauh. Ia tak sedikitpun merasa haus. Ia ingat suatu hari saat menjaga Katsuo di air mancur dan saat memaksanya meminum air yang telah direbus. Bukan hanya Katsuo yang sedang dalam bahaya. Pasti ada semacam kuman-kuman kecil yang tercampur di dalam air jeruk itu.
___

Tomoko menjadi sedikit gila dalam mencari kesenangan. Ada dendam dalam perasaan yang mengharuskannya mendapatkan kesenangan.

Tentu saja bukan berarti ia tergoda untuk tak lagi setia dengan suaminya. Kemanapun Tomoko pergi, ia akan pergi bersama suaminya.

Hati nuraninya lebih memilih diam dalam bayang-bayang kematian. Setelah bersenang-senang, ia akan menatap wajah lelap Katsuo yang tidur lebih awal dengan seorang pembantu, lalu saat memikirkan kedua anaknya yang sudah meninggal ia akan merasakan penyesalan. Pencarian kesenangan itulah satu-satunya cara untuk menjauhkannya dari perasaan menyesal yang datang tiba-tiba.

Tomoko tiba-tiba terpikir ingin menjahit. Ini bukan kali pertama Masaru merasa sulit mengikuti rumitnya pikiran wanita.

Tomoko mulai menjahit. Pencarian kesenangannya menjadi lebih ringan. Ia jadi lebih sering memperhatikan dirinya sendiri, bermaksud menjadi wanita sempurna di dalam keluarga. Ia merasa sedang menatap langsung kehidupannya.

Ada sejumlah jejak pengabaian yang terlihat jelas di lingkungannya yang kembali hidup. Ia merasa seperti baru saja kembali dari perjalanan jauh. Ia akan menghabiskan waktu seharian hanya untuk mencuci dan hari lainnya untuk membereskan segala sesuatu. Seluruh pekerjaan pembantu paruh baya di rumah keluarga itu direnggut olehnya.

Tomoko membawa kembali sepasang sepatu Kiyoo dan sepasang sandal bulu biru muda milik Keiko. Benda-benda itu seperti pusaka peninggalan yang akan menenggelamkannya ke dalam sebuah perenungan, dan akan membuatnya meneteskan air mata bahagia; tapi itu semua ternodai oleh nasib buruk. Ia menelepon seorang teman yang berurusan dengan organisasi amal, lalu, dengan merasa sangat mulia, ia berikan segalanya kepada sebuah panti asuhan, bahkan baju-baju yang masih pas untuk Katsuo.

Ketika ia duduk di depan mesin jahit, Katsuo merapikan lemari pakaiannya. Tomoko berpikir untuk membuatkan dirinya sebuah topi modis model baru, namun ia tidak punya waktu untuk itu. Saat bersama mesin jahit, ia lupa rasa sedihnya. Ada dengung dan gerak potong mekanis yang menghasilkan melodi tak menentu, emosinya jadi naik turun.

Mengapa ia tidak mencoba pemotongan emosi mekanis seperti ini lebih awal? Namun tentu hal semacam ini datang saat hatinya tak lagi melawan seperti sedia kala. Suatu hari Tomoko menusuk jarinya sendiri, lalu setetes darah mengalir keluar. Ia takut. Rasa sakit berkaitan dengan kematian.

Namun ketakutan itu diikuti sebuah emosi yang berbeda: jika kecelakaan sepele seperti itu memang membawa kematian, itu akan menjadi jawaban bagi doanya. Ia menghabiskan banyak waktu bersama mesin jahitnya. Bagaimanapun mesin yang dipakainya adalah yang paling aman. Mesin itu bahkan tidak menyentuhnya sedikitpun.

Bahkan sampai saat ini, Tomoko masih belum merasa puas, ia masih menunggui sesuatu. Masaru akan berpaling dari pencarian yang samar ini, lalu mereka akan pergi seharian tanpa berbicara satu sama lain.
___

Musim dingin datang. Makam sudah siap, dan abu jenazah sudah dikuburkan.

Dalam kesunyian musim dingin, seseorang akan merindukan musim panas. Kenangan musim panas akan melemparkan bayang-bayang yang bahkan lebih tajam dalam kehidupan manusia. Namun kenangan itu tampak seperti sesuatu yang keluar dari sebuah buku cerita. Tak ada cara untuk menghindari fakta bahwa, di sekitar api musim dingin, segalanya menjadi fiksi.

Di pertengahan musim dingin, ada sejumlah tanda Tomoko hamil. Untuk pertama kalinya, melupakan hal-hal buruk menjadi sesuatu yang alami. Belum pernah mereka begitu berhati-hati – karena tampak aneh bahwa anak itu akan lahir dengan selamat, dan tampak wajar jika mereka akan kehilangannya.

Semuanya berjalan lancar. Sebuah garis telah terbentang antara mereka dan kenangan masa lalu. Dengan meminjam kekuatan dari anak yang dikandungnya, untuk pertama kalinya Tomoko memiliki keberanian untuk mengakui rasa sakitnya telah pergi. Ia hanya perlu mengakui fakta itu.

Tomoko mencoba memahami semuanya. Bagaimanapun, sulit untuk mengerti ketika peristiwa mengerikan itu terjadi tepat di depan matanya sendiri. Pemahaman akan datang di kemudian hari. Ia menelaah emosinya, menyimpulkannya, dan menjelaskannya kepada dirinya sendiri. Jika melihat dirinya lagi, Tomoko tidak bisa merasakan apapun kecuali rasa tidak puas terhadap emosinya yang tidak cukup tangguh. Pasti ketidakpuasannya akan bertahan lebih lama dari pada kesedihannya sendiri karena terhambat di dalam hatinya. Tapi tak ada jalan kembali untuk mencoba cara lain.

Ia menolak untuk mengakui satupun kesalahan dalam tanggapannya. Ia adalah seorang ibu. Di waktu yang sama ia juga tidak bisa berhenti merasa khawatir.

Saat melupakan yang sesungguhnya belum juga datang, sesuatu menutupi kesedihan Tomoko seperti lapisan tipis es yang menutupi danau. Biasanya lapisan itu akan hancur, tapi semalaman lapisan itu akan terbentuk lagi.

Melupakan itu mulai menunjukkan kekuatannya saat mereka tidak memperhatikannya. Melupakan itu akan tersaring masuk. Menemukan lubang paling kecil lalu terserap ke dalam. Kemudian menyerang sebuah organisme seperti kuman yang tak terlihat, bekerja dengan lambat tapi pasti. Tomoko akan bergerak tak sadar seperti ketika seseorang melawan mimpi. Ia sangat gelisah melawan lupa.

Ia yakin hal melupakan itu datang melalui kekuatan anak di dalam rahimnya. Namun lupanya hanya dibantu oleh anak itu. Garis besar dari kejadiaan itu perlahan menyerah, meredup, mengabur, melapuk, dan hancur.

Di langit yang jernih muncul bayangan dingin nan menakutkan, putih nan kaku. Bayangan itu larut ke dalam kumpulan awan – lengannya lepas, kepalanya hilang, pedang panjang di tangannya terjatuh. Ekspresinya yang datar sudah cukup membuat bulu kuduk berdiri, namun bayangan itu mengabur dan menghilang.
Suatu hari Tomoko mematikan radio yang menyiarkan drama tentang seorang ibu yang kehilangan anaknya. Ia sedikit takjub pada ketangkasannya, yang dengan itu ia bisa membuang beban ingatannya. Seorang ibu sedang menantikan anak keempatnya lahir, ia merasa memiliki kewajiban moral untuk melawan rasa puasnya yang hampir berlarut-larut akan kehilangan dirinya dalam kesedihan. Tomoko telah berubah beberapa bulan terakhir ini.

Demi anaknya, ia harus menahan gelombang emosinya yang kelam. Ia harus menjaga batinnya tetap seimbang. Ia jauh lebih senang dengan disiplin kebersihan mentalnya dari pada dengan hal melupakannya yang berbahaya. Di atas semua itu, ia merasa bebas. Dengan semua perintah dan keputusan, ia merasa bebas. Tentu saja melupakan itu menunjukkan kekuatannya. Tomoko takjub betapa mudah mengatur hatinya.
Ia sudah kehilangan kebiasaannya dalam mengingat, dan sudah tak aneh lagi jika air mata gagal menetes saat upacara peringatan atau saat berziarah. Ia percaya bahwa dirinya telah menjadi murah hati, bahwa dirinya bisa memafkan apa pun. Misalnya, sewaktu musim semi datang ia mengajak Katsuo berjalan-jalan di dekat taman, ia tak lagi bisa merasakan, meski mencoba, dendam yang akan menghanyutkannya setelah tragedi yang dialaminya ketika melihat anak-anak bermain di kotak pasir. Itu karena dirinya telah memaafkan mereka, anak-anak yang hidup dalam damai. Begitulah baginya.

Meskipun Masaru bisa melupakan lebih cepat dari pada istrinya, bukan berarti dirinya tak acuh. Justru Masarulah yang tenggelam dalam nestapa. Bahkan seorang pria yang sedang plin-plan pun biasanya lebih terbawa perasaan dari pada seorang wanita. Karena tidak bisa mengatur emosinya, dan sadar bahwa kesedihannya tidak mudah dihilangkan, Masaru tiba-tiba merasa sendiri, dan membolehkan dirinya untuk selingkuh. Ia cepat lelah dengan perselingkuhan. Lalu Tomoko hamil. Ia segera kembali padanya seperti seorang anak yang tergesa-gesa kembali pada ibunya.

Tragedi itu meninggalkan mereka seperti seseorang meninggalkan kapal yang karam. Mereka bisa segera melihat tragedi itu seperti yang tampak bagi orang-orang yang melihatnya di pojok koran hari itu. Tomoko dan Masaru bahkan bertanya-tanya apakah mereka ada di koran itu. Bukankah mereka hanya penonton yang kebetulan punya hubungan paling dekat dengan korban? Siapapun yang benar-benar ikut serta dalam kejadian itu sudah meninggal, dan akan selamanya ikut serta. Bagi kita yang punya bagian dalam peristiwa bersejarah, keberadaan kita harus dipertaruhkan. Dan apa yang Masaru serta istrinya sudah pertaruhkan? Sebelum itu, apakah mereka punya waktu untuk mempertaruhkan sesuatu?

Kejadian itu bersinar di kejauhan, seperti mercusuar di atas sebuah tanjung yang amat jauh. Menyala lalu mati, seperti cahaya yang berputar di Tanjung Tsumeki, selatan Pantai A. Alih-alih menjadi luka, tragedi itu sebaliknya menjadi pelajaran moral, dan berubah dari fakta yang konkret menjadi sebuah metafora. Peristiwa itu bukan lagi milik keluarga Ikuta, tapi milik publik. Seperti mercusuar yang bersinar pada puing-puing di pantai, pada ombak yang memperlihatkan taring putihnya kepada bebatuan sunyi sepanjang malam, dan pada belukar di sekitarnya, kejadian itu juga menyinari kehidupan sehari-hari yang rumit di sekitar mereka. Orang-orang harus memahami pelajaran itu. Sebuah pelajaran tua dan sederhana yang mungkin terukir di benak para orang tua: Kau harus selalu memperhatikan anak-anak ketika mengajak mereka pergi ke pantai. Orang-orang tenggelam di tempat yang kau tak pernah pikir mereka akan tenggelam.

Masaru dan istrinya bukan bermaksud mengorbankan dua anak dan seorang adik perempuan untuk mengajarkan sebuah pelajaran. Pun kehilangan ketiganya tidak bertujuan apa-apa; dan tak banyak kematian heroik yang memiliki tujuan.

Anak keempat Tomoko perempuan, lahir di akhir musim panas. Kebahagiaan mereka tak terbendung jumlahnya. Orang tua Masaru datang dari Kanazawa untuk melihat cucu mereka, saat berada di Tokyo Masaru mengajak mereka ziarah ke makam.

Mereka menamakan anak itu Momoko. Ibu dan anak dalam keadaan sangat baik – karena Tomoko tahu cara mengurus bayi. Dan Katsuo sangat senang mempunyai saudari perempuan lagi.
___

Musim panas berikutnya – dua tahun setelah tragedi tenggelam, dan setahun setelah kelahiran Momoko, Tomoko mengejutkan Masaru karena berkata dirinya ingin pergi ke Pantai A.

“Bukannya kamu bilang enggak akan pernah ke sana lagi?”

“Tapi aku mau ke sana.”

“Kamu aneh yah? Aku sama sekali enggak mau pergi ke sana.”

“Oh? Lupakan saja kalau begitu.”

Tomoko diam selama dua sampai tiga hari. Lalu ia berkata lagi: “Aku mau pergi ke sana.”

“Pergi saja sendiri.”

“Enggak bisa.”

“Kenapa?”

“Aku takut.”

“Kenapa kau mau pergi ke tempat yang kamu takuti?”

“Aku mau kita semua pergi. Kita akan baik-baik saja kalau ada kamu. Aku mau kamu ikut juga.”

“Kamu enggak bakal tahu apa yang mungkin terjadi kalau kamu tinggal di sana terlalu lama. Aku juga enggak bisa ambil banyak cuti.”

“Satu malam saja cukup kok.”

“Tapi tempat itu kan terpencil.”

Masaru bertanya kepada Tomoko lagi apa yang membuatnya ingin pergi ke sana. Ia hanya menjawab tidak tahu. Kemudian Masaru ingat salah satu kebiasaan di dalam cerita detektif yang ia sukai: seorang pembunuh selalu ingin kembali ke tempat kejadian perkara, apa pun resikonya. Tomoko terbawa oleh dorongan aneh untuk mengunjungi kembali tempat di mana anak-anaknya meninggal.

Tomoko meminta untuk yang ketiga kalinya – tanpa desakan khusus, dengan cara yang sama seperti sebelumnya – dan Masaru memutuskan untuk mengambil cuti selama dua hari, untuk menghindari keramaian di akhir pekan. Eirakusō adalah satu-satunya penginapan di Pantai A. Mereka memesan kamar yang berada sejauh mungkin dari kamar sial sebelumnya. Seperti biasa, Tomoko menolak suaminya mengemudikan mobil saat bepergian bersama anak-anak. Mereka berempat: suami, istri, Katsuo, dan Momoko, naik taksi dari Itō.

Saat itu adalah puncak musim panas. Di belakang rumah di sepanjang jalan terdapat sekumpulan bunga matahari yang berbulu seperti surai singa. Taksi itu menghamburkan debu tepat di kelopak bunga-bunga matahari itu, tapi mereka tampak tak terganggu.

Saat laut tampak di sebelah kiri jalan, Katsuo menjerit girang. Sekarang ia berumur lima tahun, dan sudah dua tahun sejak dirinya berkunjung ke pantai.

Mereka tak banyak bicara di dalam taksi. Taksi itu bergoncang terlalu keras untuk menjadi tempat yang nyaman untuk bercakap-cakap. Momoko sesekali berkata sesuatu yang mereka tak pahami. Katsuo mengajarkannya kata ‘laut’, tapi Momoko malah menunjuk ke jendela taksi lainnya yang menghadap ke gunung merah gundul lalu berkata: ‘Laut.’ Bagi Masaru, Katsuo tampak sedang mengajarkan bayi itu sebuah kata sial.

Akhirnya mereka sampai di Eirakusō, dan majaner penginapan yang sama menyambut mereka. Masaru memberinya tip. Ia ingat betul saat tangannya gemetar dengan uang kertas seribu yen yang pernah ia berikan kepadanya.

Penginapan itu sepi. Tahun yang buruk. Masaru mulai ingat beberapa hal lalu merasa jengkel. Kemudian ia mengomeli istrinya di depan anak-anak.

“Kenapa kita datang ke sini? Kita hanya mengingat lagi hal-hal yang tak ingin kita ingat. Hal-hal yang akhirnya sudah kita lupakan. Ada banyak tempat yang lebih layak yang bisa kita kunjungi di perjalanan pertama bersama Momoko. Dan aku terlalu sibuk untuk ikut perjalanan bodoh ini.”

“Tapi kamu kan setuju, ya kan?”

“Karena kamu terus-terusan minta.”

Rerumputan terpanggang di bawah matahari sore. Segalanya masih persis seperti dua tahun yang lalu. Baju renang hijau-biru dan merah sedang dijemur di ayunan bercat putih. Dua sampai tiga gelang lempar tergeletak di sekitar pasak, setengah tertutupi rerumputan. Halamannya rindang, di sana tubuh Yasue pernah berbaring. Cahaya matahari, yang menerobos melalui pepohonan ke rerumputan terbuka, tiba-tiba muncul untuk memerciki gerak gelombang dari baju renang hijau Yasue – inilah cara butiran cahaya bergerak dengan angin. Masaru tidak tahu tubuh itu pernah terbaring di sana. Hanya Tomoko yang memiliki ilusi itu. Seperti bagi Masaru, kejadian itu sendiri belum terjadi saat ia belum mengetahuinya, demikianlah sebidang tanah itu hanya akan menjadi sudut yang sunyi dan rindang selamanya. Bagi Masaru, dan bagi tamu-tamu lain, pikir Tomoko.

Istrinya masih tetap diam, Masaru lelah mengomelinya. Katsuo turun ke taman dan menggelindingkan gelang lempar di atas rumput. Ia jongkok dan memperhatikan dengan serius ke mana gelang itu menggelinding. Gelang lempar itu terpental melewati bayangan, melompat tiba-tiba, dan terjatuh. Katsuo memperhatikan tanpa bergerak sedikitpun. Ia berpikir gelang lempar itu seharusnya bangun lagi.

Para jangkrik bersenandung. Masaru, yang saat ini diam, merasakan keringat yang keluar mengelilingi kerah bajunya. Ia ingat tugasnya sebagai seorang ayah. “Ayo ke pantai, Katsuo.”

Tomoko menggendong Momoko. Mereka berempat melewati pagar dalam rimbun pohon dan keluar dari bawah pepohonan cemara. Ombak datang dengan cepat dan menyebarkan kemilau ke atas pantai.

Laut masih surut, mereka masih bisa berjalan di sekitar batu menuju ke pantai. Dengan memegang tangan Katsuo, Masaru berjalan melewati pasir panas dengan sandal kayu yang dipinjam dari penginapan.

Tak ada satu pun payung pantai. Mereka bisa melihat tak lebih dari dua puluh orang yang berada di sepanjang pantai pemandian, yang batasnya dimulai tepat dari seberang batu.

Mereka berdiri dalam diam di tepi laut.

Ada sekumpulan besar awan lagi hari ini, bertumpukan satu sama lain. Rasanya aneh bahwa massa yang begitu berat dengan gelimangan cahaya bisa tergantung di udara. Di atas awan yang penuh sesak di cakrawala, awan-awan tipis membekas bagai tertinggal di langit biru setelah tersapu. Awan-awan di bawahnya tampak sedang memikul sesuatu, bertahan melawan sesuatu. Hamburan cahaya dan corak terselubung di dalam gairah suram dan rapuh yang terbentuk oleh kehendak yang berseri dan berarsitektur, seperti di dalam musik.

Dari bawah kumpulan awan, lautan mendatangi mereka, jauh lebih luas dan lebih konstan dari pada daratan. Daratan sepertinya tak akan pernah mengambil alih lautan, bahkan teluk kecilnya. Terutama di sepanjang busur pantainya yang luas, laut menyapu masuk dari arah mana pun.

Ombak mendekat, pecah, lalu mundur kembali ke lautan. Gemuruhnya seperti keheningan tajam dari matahari musim panas, sama sekali tidak bising. Lebih seperti sunyi yang memekakkan telinga. Perubahan ombak yang liris, bukan ombak, melainkan riak yang bisa disebut tawa ringan ombak yang mengejek diri mereka sendiri – riak naik ke kaki ombak, lalu mundur lagi.

Masaru melirik istrinya.

Ia memandangi lautan. Rambutnya tertiup semilir angin laut, dan tampak tak terganggu oleh sinar matahari. Kedua matanya lembab, dan hampir terlihat anggun. Mulutnya tertutup rapat. Di lengannya ia menggendong Momoko yang baru berusia satu tahun, yang mengenakan topi jerami kecil.

Masaru sudah pernah melihat wajah seperti itu sebelumnya. Semenjak tragedi dua tahun lalu, wajah Tomoko sering memakai ekspresi itu, seperti melupakan dirinya sendiri, dan seperti sedang menunggu sesuatu.

“Apa yang kamu tunggu?” ia ingin bertanya terus terang.

Tapi kata-kata itu tidak keluar. Sepertinya ia tahu jawabannya tanpa bertanya.

Ia mencengkram tangan Katsuo lebih erat lagi.

--Cerita ini diterjemahkan untuk Naufal Ilyasa


[1] Obi (, おび) adalah selempang atau ikat pinggang untuk pakaian tradisional Jepang, keikogi (seragam seni bela diri Jepang), dan bagian dari pakaian kimono.

Comments