Raksasa yang Tenggelam

 

The Wound karya Karel Thole (1970)

J. G. Ballard

Di pagi setelah badai melanda, tubuh raksasa yang tenggelam telah terdampar di pantai yang berada lima mil di sebelah barat laut kota. Awalnya, kabar tersebut dibawakan oleh seorang petani yang tinggal dekat tempat kejadian, lalu dikonfirmasi lebih lanjut oleh beberapa wartawan surat kabar lokal dan pihak kepolisian. Kendati demikian, banyak orang termasuk diriku tetap curiga terhadap kabar tersebut. Namun, semakin banyak saksi mata yang kembali dari pantai dan meyakinkan betapa besarnya ukuran raksasa itu akhirnya membuat kami penasaran. Perpustakaan di mana aku dan beberapa rekan kerjaku melakukan penelitian sudah sangat sepi ketika kami berangkat ke pantai pukul dua lewat. Di hari yang sama, orang-orang meninggalkan kantor dan toko mereka karena kabar tentang raksasa tersebut sudah tersebar luas di sekitar kota.

Saat sampai di punggung pantai, banyak sekali orang sudah berkerumun, dan kami bisa melihat tubuh besar itu tergeletak di perairan dangkal dua ratus meter jauhnya dari posisi kami. Pada awalnya, perkiraan tubuh raksasa tersebut tampak terlalu dilebih-lebihkan. Saat itu, air laut sedang surut, hampir seluruh tubuhnya terlihat dengan jelas, tapi ia hanya tampak sedikit lebih besar dari seekor hiu raksasa. Ia berbaring telentang dengan kedua tangan di dua sisi tubuhnya; gelagatnya begitu tenang, seolah-olah sedang tertidur di atas cermin pasir yang basah, lalu pantulan kulitnya yang pucat memudar ketika air menyurut. Di bawah sinar matahari yang cerah, tubuhnya berkilau seperti bulu-bulu putih seekor burung laut.

Karena merasa bingung dengan objek yang jadi bahan tontonan itu, dan karena merasa tidak puas dengan penjelasan orang lain, aku dan teman-temanku memutuskan untuk turun dari punggung pantai menuju lahan berkerikil. Semua orang tampak enggan untuk mendekati tubuh raksasa itu; tapi, setengah jam kemudian, dua nelayan yang mengenakan sepatu bot berjalan melintasi pasir pantai. Saat sosok mungil mereka mendekati tubuh telentang tersebut, riuh tiba-tiba pecah di antara para penonton. Kedua pria itu dibuat terlihat sangat kecil dibandingkan sang raksasa. Meski sebagian tumitnya terendam pasir, kakinya yang timbul berukuran sekitar dua kali lebih besar dari tinggi kedua nelayan itu, dan kami segera menyadari bahwa raksasa yang tenggelam ini memiliki ukuran sebesar paus sperma terbesar di lautan.

Tiga buah kapal nelayan kecil tiba di dekat tempat kejadian. Dengan lunas yang timbul seperempat mil dari lepas pantai, para awak mengamati tubuh raksasa tersebut dari haluan kapal. Sikap hati-hati mereka menghalangi penonton untuk berjalan melintasi pasir pantai. Kemudian, semua orang buru-buru turun dari punggung pantai dan menunggu di lahan berkerikil yang landai, mereka ingin melihat lebih dekat. Di sekitar tubuhnya, pasir pantai telah tersapu oleh air laut, membentuk sebuah cekungan, seolah-olah raksasa tersebut baru saja jatuh dari langit. Kedua nelayan itu berdiri di antara dua alas kakinya yang sangat besar, melambaikan tangan mereka pada kami seperti dua orang turis yang berada di antara tiang-tiang kuil bertepikan air di Sungai Nil. Sejenak aku merasa takut kalau sang raksasa cuma tertidur, lalu tiba-tiba menggerakkan dan menapakkan kedua tumitnya. Namun, matanya yang berkaca-kaca membelalak ke atas langit, tidak sadar akan dua replika dirinya yang sangat kecil sedang berdiri di antara kedua kakinya.

Kemudian, dua nelayan itu mulai mengitari mayatnya, berjalan di sekitar sisi-sisi kakinya yang putih dan sangat panjang. Setelah berhenti sebentar untuk memeriksa jari-jari tangannya yang telentang tak acuh, mereka menghilang dari pandangan kami, dari posisi terakhir mereka di antara lengan dan dada mayat besar tersebut; lalu mereka muncul lagi untuk melihat-lihat kepalanya. Kedua nelayan itu melindungi mata mereka masing-masing saat menatap raut wajah Yunani miliknya. Dahinya yang datar, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang melengkung mengingatkanku pada salinan patung Romawi Praxiteles, dan lubang hidungnya yang berbentuk lonjong nan elegan menekankan kemiripan dirinya dengan patung tersebut.

Tiba-tiba, terdengar sorak dari kerumunan penonton, lalu ratusan tangan mereka menunjuk ke arah laut. Aku terkejut ketika melihat seorang nelayan menaiki dada sang raksasa dan sekarang sedang berjalan-jalan di atasnya, ia juga memberikan isyarat kepada orang-orang untuk beranjak menuju pantai. Gemuruh takjub dan penuh kemenangan terdengar dari kerumunan, lalu hilang dalam riuh kerikil ketika semua orang berjalan menggelora ke arah pasir pantai.

Saat kami mendekati sosok yang berbaring di atas genangan air seluas lapangan tersebut, percakapan kami yang tadinya penuh semangat kembali meredup, takluk oleh ukuran fisik yang sangat besar dari raksasa yang telah kehilangan nyawanya ini. Ternyata, tubuhnya merentang agak miring ke arah tepi laut, sedangkan kakinya berada lebih dekat ke pantai, dan posisi ini telah menyamarkan panjang asli tubuhnya. Sekalipun dua nelayan itu sudah berdiri di atas sosok besar ini, kerumunan orang baru berani membentuk lingkaran besar di sekitarnya, sekelompok lainnya sudah mulai melangkah ke arah tangan dan kakinya dengan ragu-ragu.

Aku dan beberapa rekan kerjaku berjalan mengitari sisi tubuhnya yang menghadap ke arah lautan, pinggul dan dadanya menjulang tinggi seperti lambung kapal terdampar. Kulitnya yang berwarna mutiara, yang membengkak karena terendam dalam air asin, menutupi kontur otot dan tendon yang sangat besar. Kami berjalan melewati bagian bawah lutut kirinya yang sedikit tertekuk, untaian rumput laut yang basah menempel di sisi-sisinya. Sebuah selendang dari bahan tenun berlubang yang tampak berat dan sudah menguning pucat karena air tersampir longgar di badannya menjaga kesopan-santunannya yang tak lagi kukuh. Bau air asin yang menyengat datang dari pakaian yang terpanggang di bawah sinar matahari dan bercampur dengan aroma manis yang pekat dari kulit raksasa tersebut.

Kami menghentikan langkah di sekitar bahunya, lalu menatap raut wajahnya yang tidak berubah. Dua belah bibirnya sedikit terbuka, matanya yang tersingkap tampak berkabut dan tersumbat seakan baru saja disuntikkan cairan berwarna biru susu, tapi lengkung yang lembut dari lubang hidung dan alisnya memberikan wajahnya daya tarik yang mempesona, bertentangan dengan keperkasaan dada dan bahunya yang tampak kasar.

Daun telinganya tergantung di udara, di atas kepala kami, seperti sebuah pintu ukiran. Saat mengangkat tangan untuk menyentuh cuping telinganya yang terjumbai, seseorang muncul dari tepi dahinya lalu berseru kepadaku. Terkejut dengan kehadiran orang itu, aku melangkah mundur, kemudian bisa melihat sekelompok anak muda tengah naik ke atas wajah raksasa ini dan saling berdesakan di sekitar rongga matanya.

Sekarang, orang-orang mulai merangkak menaiki tubuh raksasa ini, kedua lengannya yang rebah dijadikan sebagai tangga ganda. Dari telapak tangannya, mereka berjalan di atas lengan bagian bawah sampai ke siku, kemudian merangkak di atas otot bisepsnya yang menggelembung sampai ke bagian datar otot-otot yang mencakup setengah dari bagian atas dada halusnya yang tak berbulu. Dari sini, mereka naik ke wajahnya, bergandengan tangan di sekitar bibir dan hidungnya, atau turun ke bagian perut untuk bertemu orang lain yang sebelumnya telah mengangkangi pergelangan kaki sang raksasa dan sekarang sedang berjalan di sekitar kedua pahanya.

Kami lanjut berkeliling, lalu berpapasan dengan kerumunan, dan berhenti untuk memeriksa tangan kanannya yang sangat panjang. Ada genangan air kecil di atas telapak tangannya, menyerupai sisa-sisa dari dunia lain yang tertinggal, dan sekarang telah tersepak oleh orang-orang yang menaiki lengannya. Kucoba untuk membaca garis telapak tangan yang berlekuk-lekuk di permukaan kulitnya, mencari beberapa petunjuk ihwal perangainya, tetapi pembengkakan jaringan tubuh hampir melenyapkan garis-garis tersebut, menghapuskan semua jejak identitas sang raksasa dan akhir hayatnya yang tragis. Otot-otot dan tulang pergelangan tangan yang besar tampak menyangkal kepekaan makhluk besar ini, tapi kelenturan jarinya yang lembut dan kukunya yang terawat baik—masing-masing dipotong secara simetris dalam jarak enam inci dari daging di bawah kukunya—memperlihatkan perangai yang santun; hal itu tergambarkan pula oleh wajah Yunani miliknya, di mana penduduk kota sedang duduk-duduk seperti kerumunan lalat yang hinggap di atasnya.

Seorang anak muda bahkan berdiri di ujung hidungnya yang besar dengan gugup sambil berteriak kepada teman-temannya, tapi wajah raksasa ini masih mempertahankan ketenangannya yang kokoh.

Saat kembali ke pantai, kami duduk di lahan berkerikil sambil menyaksikan orang-orang yang terus berdatangan dari kota. Sekitar enam atau tujuh kapal nelayan telah berkumpul di lepas pantai, lalu awak kapal mulai berjalan di perairan dangkal untuk melihat lebih dekat hasil tangkapan badai yang sangat besar tersebut. Kemudian, sekelompok polisi muncul dan berusaha dengan setengah hati untuk mengepung pantai. Namun, setelah berjalan ke arah sosok yang sedang telentang itu, rencana barusan menghilang begitu saja dari benak mereka. Akhirnya, mereka berjalan bersama-sama di sekitar sosok itu sambil menatapnya penuh kebingungan.

Satu jam kemudian, kurang lebih ada seribu orang yang hadir di pantai ini, sekitar dua ratus dari mereka berdiri atau duduk di atas tubuh raksasa itu, berdesak-desakkan di sepanjang lengan dan kakinya atau berkerumun penuh gaduh tanpa henti di atas dada dan perutnya. Sekelompok anak muda menempati kepalanya, ada yang saling dorong satu sama lain dari pinggir pipinya, ada juga yang meluncur ke permukaan rahangnya yang licin. Dua atau tiga dari mereka menduduki batang hidungnya, sedangkan seorang yang lain merangkak masuk ke salah satu lubang hidungnya, dan dari sana ia menggonggong seperti seekor anjing gila.

Sore itu, polisi datang lagi dan membuka jalan di antara kerumunan orang untuk rombongan pakar ilmiah yang ahli dalam bidang anatomi dan biologi kelautan dari sebuah universitas. Anak-anak muda dan sebagian besar orang di atas raksasa itu turun, meninggalkan gairah mereka yang kuat, yang hinggap dari ujung jari kaki hingga dahi sang raksasa. Para ahli berjalan di sekitarnya sambil mengangguk-angguk dalam diskusi yang penuh semangat, sedangkan beberapa polisi yang mendahului mereka menahan para wartawan yang berada di dalam kerumunan penonton. Saat sampai di salah satu tangannya yang panjang, seorang polisi senior menawarkan pertolongan kepada mereka untuk naik ke telapak tangannya, tapi para ahli lekas menolak tawaran tersebut.

Setelah para peneliti kembali ke pantai, kerumunan orang di sana menaiki tubuh raksasa itu lagi, dan mereka berkuasa penuh ketika kami meninggalkan pantai pada pukul lima tepat, mereka menutupi lengan dan kakinya seperti sekawanan burung camar yang bertengger di atas sebuah bangkai ikan berukuran sangat besar.

Tiga hari kemudian, kukunjungi pantai itu lagi. Teman-temanku di perpustakaan sudah kembali bekerja, lalu menugaskanku untuk mengawasi raksasa tersebut dan menyiapkan laporan tentangnya. Mungkin mereka merasakan ketertarikan khusus yang kumiliki terhadap kasus ini, dan memang benar adanya bahwa aku sangat ingin kembali ke pantai tersebut. Tidak ada intensi nekrofilik dalam penyelidikan ini, karena bagiku raksasa itu masih hidup, bahkan lebih hidup daripada banyak orang yang menontoninya. Dalam batas tertentu, apa yang kuanggap sangat menarik adalah skalanya yang sungguh besar, betapa banyak volume ruang yang terisi oleh dua lengan dan kakinya, dan hal ini mempertegas identitas dari anggota tubuhku yang sangat kecil. Meski begitu, yang kukira lebih menarik dari hal-hal tersebut adalah fakta mutlak akan keberadaannya di dunia. Banyak hal dalam hidup ini yang dapat kita ragukan, tapi raksasa tersebut, entah hidup atau mati, benar-benar ada dalam pengertian yang absolut, memberikan pandangan kepada dunia yang juga absolut bahwa kita, penonton yang hadir di pantai ini, tak lebih dari sejumlah tiruan yang sama sekali tidak sempurna dan sangat kecil.

Ketika tiba di pantai, jumlah kerumunan orang yang datang jadi lebih sedikit, kira-kira terdapat dua atau tiga ratus orang yang sedang duduk-duduk di atas lahan berkerikil untuk piknik sambil menonton sejumlah pengunjung yang berjalan melintasi pasir pantai. Gelombang pasang yang selalu datang dengan teratur telah membawa raksasa itu lebih dekat ke daratan, membuai kepala dan bahunya ke pantai, sehingga dirinya terlihat lebih besar dua kali lipat dari ukuran sebelumnya, dan tubuhnya yang sangat besar mengerdilkan sejumlah kapal nelayan yang terseret di sebelah kakinya. Kontur pantai yang tidak rata telah menekan tulang punggungnya jadi sedikit lebih melengkung, membusungkan dadanya dan memiringkan kepalanya ke belakang, memaksanya berbaring dalam postur yang tampak lebih heroik. Pengaruh dari kombinasi antara air laut dan pembengkakan jaringan tubuh membuat wajahnya terlihat lebih mengilap dan tak lagi muda. Meskipun proporsi wajahnya yang sangat besar mempersulit penaksiran usia dan karakter sang raksasa, pada kunjunganku sebelumnya, mulut dan hidungnya yang berpola klasik memberi kesan bahwa ia adalah seorang pemuda yang bijaksana dan rendah hati. Tapi sekarang ia terlihat seperti pria paruh baya. Pipinya yang membengkak, hidung dan bibirnya yang menebal, dan matanya yang menyipit memberinya tampilan seorang pria dewasa gemuk, dan tampilan itu mengisyaratkan pembusukan yang akan terjadi di kemudian hari.

Perkembangan pascamortem dari karakter sang raksasa yang bergerak semakin cepat—seakan unsur-unsur terpendam dari kepribadiannya telah memperoleh momentum yang cukup selama hidupnya untuk melepaskan diri dalam sebuah ikhtisar penghabisan yang sangat singkat—tetap membuatku terpesona. Hal ini menandai sebuah tahap awal dari kepasrahannya terhadap sistem waktu yang sangat penuntut, di mana umat manusia akan mengalaminya sendiri; dan, seperti jutaan riak berkeluk dari pusaran air yang terpecah-pecah, hidup kita yang terbatas adalah hasil akhirnya. Aku duduk di atas lahan berkerikil yang berada tepat di seberang kepala raksasa tersebut, dari sana aku bisa melihat para pengunjung baru dan anak-anak yang sedang merangkak di atas kaki dan tangannya yang kersang.

Di antara pengunjung yang datang pagi itu, terdapat sejumlah pria yang mengenakan jaket kulit dan topi pet. Mereka mengamati raksasa itu dengan tatapan kritis dan profesional sambil mondar-mandir mengukur dimensi tubuhnya dan membuat perhitungan kasar di atas pasir dengan sebatang kapar. Aku berasumsi bahwa orang-orang itu berasal dari departemen pekerjaan umum dan badan pemerintah kota lainnya, dan aku yakin mereka sedang bertanya-tanya bagaimana cara membuang jasad monster ini.

Beberapa orang lain yang berpakaian agak lebih rapi, seperti pemilik sirkus dan orang-orang sejenisnya, juga muncul di sana, berjalan pelan-pelan di sekitar raksasa tersebut sambil memasukkan tangan di saku mantel panjang mereka dan tidak bicara satu sama lain. Jelas saja bahwa ukuran raksasa itu bahkan terlalu besar untuk perusahaan mereka yang tak ada bandingnya.

Keesokannya, aku sengaja menunda waktu kunjunganku ke pantai sampai sore datang. Ketika tiba di sana, terdapat kurang dari lima puluh atau enam puluh orang yang sedang duduk-duduk di lahan berkerikil. Raksasa itu sudah terseret lebih dekat ke pantai, sekarang berada sedikit lebih jauh dari jarak tujuh puluh meter, dan kaki besarnya telah menghancurkan embarau pemecah ombak yang sekarang sudah dalam keadaan porak-poranda. Landainya lahan pasir dengan tekstur yang lebih keras memiringkan tubuh sang raksasa ke arah laut, wajahnya yang memar dan bengkak berpaling dengan gestur yang hampir tampak seperti masih hidup. Aku duduk di atas mesin derek logam berukuran besar yang dirantai ke sebuah pondasi sumuran berbahan beton di atas lahan berkerikil. Dari sana, kupandangi sosok yang masih berbaring itu.

Kini, kulitnya yang pucat tak lagi berseri bagai mutiara dan malah terpercik pasir kotor pengganti kejernihannya yang telah hanyut oleh gelombang pasang di malam hari. Gumpalan rumput laut memenuhi celah di antara jemarinya, begitu pula dengan kumpulan serasah dan tulang sotong yang tergeletak di celah-celah di bawah pinggul dan lututnya. Bagaimanapun, terlepas dari hal-hal tersebut, juga dari pembengkakan wajahnya yang tiada henti, raksasa itu masih mempertahankan perawakan Homernya yang agung. Lebar bahunya, serta besar lengan dan kakinya, membuat sosok tersebut tampak lebih besar lagi; dan raksasa itu terlihat seperti salah satu sosok pahlawan Argonaut yang tenggelam atau pahlawan-pahlawan dalam naskah epik Odyssey yang lebih autentik daripada gambaran lazim yang sebelumnya terbesit di dalam pikiranku.

Aku berjalan turun ke arah pasir pantai, melewati beberapa genangan air mendekati sang raksasa. Dua anak laki-laki sedang duduk di ceruk telinganya dan seorang pemuda sedang berdiri tegak di atas salah satu jari kakinya sambil mengamati diriku saat mendekat. Seperti yang kuharapkan ketika menunda waktu kunjunganku, tak ada orang yang memperhatikanku, dan kerumunan yang berada di pantai tetap meringkuk di bawah mantel mereka masing-masing.

Tangan kanan sang raksasa yang telentang ini tertutupi oleh pecahan kerang dan pasir, sejumlah bercak jejak kaki juga terlihat di sana. Bagian pinggulnya yang melengkung rendah di atasku memangkas pemandangan laut di seberang tubuhnya. Bau manis menyengat yang sudah pernah kuhidu sebelumnya sekarang tercium lebih menusuk; dan melalui kulitnya yang kusam, aku dapat melihat liuk pembuluh darahnya yang telah membeku. Meskipun tampak menjijikkan, metamorfosis yang tiada henti merubah wujudnya ini—bagian dari kehidupan dalam kematiannya yang sangat mengerikan—memungkinkan diriku untuk menginjakkan kaki di atas mayatnya.

Kupegang ibu jarinya yang menjorok keluar ketika naik ke atas telapak tangannya, lalu kumulai pendakianku. Ternyata, kulitnya lebih keras dari yang kusangka, tidak melentur karena berat tubuhku. Aku segera menaiki lengan bagian bawahnya yang landai dan otot bisepsnya yang menggelembung seperti balon. Wajah raksasa ini menjulang di sebelah kananku, lubang hidungnya yang tampak seperti gua dan kedua pipinya yang lebar menjadikan pemandangan ini serupa gunung berapi yang penuh keganjilan.

Setelah berhasil mengitari bahunya, aku melangkah ke atas dadanya yang luas, di mana tulang rusuk terbentang seperti kasau yang amat besar. Kulitnya yang putih tampak belang oleh memar gelap dari jejak kaki manusia yang tak terhitung jumlahnya, dan pola tumit tiap orang membekas dengan jelas di sana. Seseorang telah membangun istana pasir kecil di tengah tulang dadanya, lalu kunaiki rangka dada yang beberapa bagiannya telah tandas itu agar dapat melihat wajah sang raksasa dengan lebih baik.

Kedua anak yang tadi sempat kulihat sekarang tengah memanjat telinganya, lalu berjalan ke arah rongga mata. Di ruang cekung tersebut, bola mata yang berwarna biru telah sepenuhnya tertutup oleh cairan berwarna putih susu; matanya menatap dengan buta wujud kecil dua anak tersebut. Dilihat dari bawah, wajahnya sama sekali tak terlihat anggun dan tenang, mulutnya yang tegang dan dagunya yang terangkat ditopang oleh otot-otot besar menyerupai haluan yang koyak dari bangkai sebuah kapal kolosal. Untuk pertama kalinya, aku baru menyadari kondisi paling ekstrem dari penderitaan fisik terakhir sang raksasa yang tak kalah menyakitkan karena ia tidak dapat menyadari kerusakan otot dan jaringan tubuhnya sendiri. Sebuah keterasingan mutlak dari sosok yang telah hancur, terbuang seperti kapal bekas di pantai tak berpenghuni, di mana suara ombak hampir tak terdengar, lalu mengubah wajahnya menjadi kedok yang selalu terlihat lelah dan tak berdaya.

Saat melangkah maju, kakiku terbenam ke dalam lubang jaringan lunak, lalu gas berbau busuk berembus dari lubang yang terbuka di antara tulang rusuk tersebut. Aku mundur dari embusan gas busuk yang masih mengawang seperti awan di atas kepala, lalu berbalik menghadap laut untuk membersihkan paru-paruku. Aku benar-benar kaget ketika melihat tangan kiri sang raksasa telah diamputasi.

Aku terkejut sekaligus bingung saat menatap tunggul tangannya yang menghitam, sementara anak muda penyendiri yang sedang berbaring tiga puluh meter di atas tempatku berdiri mengamatiku dengan tatapan penuh kutuk.

Hal tersebut hanyalah tahap pertama dari serangkaian proses pembinasaan sang raksasa. Kuhabiskan dua hari berikutnya di dalam perpustakaan karena beberapa alasan yang membuatku enggan untuk datang ke pantai; sadar bahwa sepertinya aku baru menyaksikan akhir yang mendekat dari sebuah ilusi menakjubkan. Ketika sekali lagi melintasi punggung pantai dan menginjakkan kaki di atas lahan berkerikil, raksasa tersebut hanya berjarak kurang lebih dua puluh meter; dan dengan jarak sedekat ini, semua kesan ajaib yang pernah mengelilingi jasadnya saat berada jauh di pesisir dan sering tersapu ombak telah lenyap begitu saja. Meski ukurannya sangat besar, memar dan kotoran yang menyelimuti tubuhnya membuatnya tampak seperti manusia biasa; dimensinya yang gigantik hanya meningkatkan kerentanannya.

Tangan dan kaki kanannya telah dicabut, diseret ke atas tanah landai, lalu dipindahkan dengan sebuah pedati. Setelah bertanya kepada sekelompok orang yang berkerumun di dekat pemecah ombak, aku dapat menyimpulkan bahwa sebuah perusahaan pupuk dan produsen makanan ternaklah yang bertanggung jawab atas kejadian ini.

Kaki kiri sang raksasa terangkat ke atas, sebuah tambang baja mengikat jempol kakinya yang besar; sepertinya mereka sudah bersiap-siap untuk esok. Keadaan sekitar pantai tampak lebih kacau dipenuhi banyak pekerja, dan bekas roda pedati yang dalam menandai tanah di mana tangan dan kaki sang raksasa sebelumnya telah diangkut dari pantai. Sebuah cairan menjijikkan berwarna hitam yang tiris dari tunggul bekas amputasinya menodai pasir pantai dan tulang-tulang sotong berwarna putih. Saat berjalan menuruni lahan berkerikil, aku dapat melihat beberapa slogan lucu, simbol swastika, dan sejumlah tanda lainnya yang tergambar di beberapa bagian kulitnya yang kelabu, seakan-akan mutilasi tubuh raksasa yang tak dapat bergerak ini telah tetiba melepaskan luapan amarah yang terbendung. Sebuah tombak kayu menindik salah satu cuping telinganya, dan api unggun kecil belum lama ini dinyalakan di tengah dadanya, menghintamkan permukaan kulit sekitar. Abu bekas api unggun itu masih berembus tertiup angin.

Bau busuk menyelubungi mayat itu—sebuah tanda dari pembusukan tubuhnya yang tidak dapat disembunyikan—dan pada akhirnya mengusir sekelompok anak muda yang biasa berkumpul di sana. Aku berjalan balik ke lahan berkerikil, lalu naik dan duduk di atas mesin derek terbengkalai. Pipi sang raksasa yang membengkak itu sekarang hampir menutupi kedua matanya, menarik bibirnya sampai menganga begitu lebar. Hidung Yunani miliknya yang mancung terpelintir sampai tampak pesek, dan wajah yang menggelembung dibubuhi banyak sekali bekas tumit manusia.

Ketika mengunjungi pantai di hari berikutnya, aku mendapati—hampir dengan perasaan lega—bahwa kepalanya telah dicabut.

Beberapa pekan telah berlalu sebelum diriku bisa berkujung lagi ke pantai; saat datang ke sana, potret manusia yang sebelumnya sering kuperhatikan sekali lagi telah menghilang. Ketika melakukan peninjauan dari jarak dekat, dada dan perutnya yang masih berbaring benar-benar tampak seperti manusia. Namun, karena anggota tubuh yang telah diamputasi—pertama lutut dan sikunya, kemudian bahu dan pahanya—bangkai besar ini terlihat menyerupai hewan laut yang tak berkepala, macam paus atau hiu paus. Karena telah kehilangan identitas, dan karena sangat sedikit tanda-tanda kepribadian yang masih melekat pada sosok itu, kerumunan penonton telah kehilangan minatnya, tepi pantai jadi sepi, hanya tersisa seorang pemulung tua dan penjaga pantai yang sedang duduk di pintu gubuk bekas milik seorang kontraktor.

Perancah kayu yang tampak goyah telah berdiri di sekitar bangkai tersebut; di sana, lusinan tangga jenjang berayun-ayun tertiup angin, pasir di sekitarnya dipenuhi oleh beberapa gulungan tali, pisau panjang bergagang logam, dan penjepit besi; kerikil menjadi licin dibaluri darah dan potongan-potongan tulang serta kulit.

Aku menganggukkan kepala kepada sang penjaga pantai yang memandangku balik dengan tatapan masam dari balik kompor arangnya. Bau tajam menyengat seluruh area pantai, menyerbak dari lubang besar berukuran persegi di belakang gubuk, tempat untuk merebus tong-tong berisikan lemak.

Kedua tulang pahanya telah dicabut dengan bantuan dari sebuah mesin derek kecil yang terbungkus oleh kain tipis; sebelumnya, kain itu pernah menutupi pinggang sang raksasa, dan lubang-lubang di tubuhnya yang sekarang menganga tampak seperti pintu-pintu lumbung yang terbuka lebar. Lengan atas, tulang selangka, dan alat kelaminnya juga telah diangkut. Yang tersisa dari permukaan kulit di atas bagian dada dan perut telah ditandai oleh beberapa garis potong paralel berwarna hitam yang ditorehkan dengan sebuah kuas, dan lima sampai enam bagian pertama kulitnya telah dikelupas dari perut, memperlihatkan lengkungan besar tulang rusuknya.

Saat beranjak dari sana, sekawanan burung camar meluncur dari langit lalu hinggap di sekitar pantai, mencungkili pasir yang kotor sambil menggericau dengan garang.

Beberapa bulan kemudian, ketika berita kedatangannya telah dilupakan, bagian-bagian tubuh sang raksasa mulai kembali bermunculan di seluruh sudut kota. Sebagian besar adalah tulang yang oleh sebuah pabrik pupuk dianggap terlalu sulit untuk dihancurkan. Ukuran gigantik tulang-tulang tersebut, serta tendon dan cakram tulang rawan berukuran besar yang melekat pada bagian persendian, juga langsung mengindikasikan bahwa potongan-potongan itu adalah miliknya. Entah mengapa, potongan-potongan yang terpisah dari tubuhnya itu tampak lebih baik dalam menunjukkan esensi dari keagungan asli sang raksasa daripada saat melekat pada tubuhnya yang utuh, yang membengkak kemudian diamputasi satu per satu. Ketika melihat ke seberang jalan, ke toko grosir terbesar di pasar daging, aku bisa mengenali dua tulang paha yang sangat besar di atas dua sisi pintu. Kedua tulang yang tergantung rendah di atas kepala penjaga pintu itu terlihat seperti megalit besar yang mengancam dari sebuah agama druidikal primitif. Di waktu yang bersamaan, tiba-tiba aku membayangkan sang raksasa yang berlutut di atas dua tulang ini, lalu mulai melangkahkan kakinya di atas jalan-jalan kota untuk mencari dan mendapatkan kembali potongan-potongan tubuhnya yang berserakan agar bisa melakukan perjalanan pulang ke lautan luas.

Beberapa hari kemudian, aku melihat tulang lengan atas sebelah kiri miliknya yang tergeletak di pintu masuk salah satu galangan kapal. Di minggu yang sama, tangan kanannya yang telah diawetkan dipamerkan dari atas sebuah kendaraan karnaval selama pawai tahunan serikat buruh berlangsung.

Biasanya, bagian rahang bawah bisa masuk dengan mudah dan terpampang di dalam museum sejarah alam. Sisa tengkoraknya menghilang, tapi mungkin saja masih bersembunyi di tempat pembuangan sampah atau di taman-taman partikelir yang berada di kota ini. Saat berlayar menyusuri sungai, aku melihat dua tulang rusuknya yang membentuk lengkungan dekoratif di sebuah taman di tepi sungai, mungkin orang-orang salah mengira bahwa tulang-tulang tersebut adalah tulang rahang seekor paus. Di sebuah toko suvenir di dekat taman hiburan, selembar potongan kulit berbentuk persegi, berwarna kecoklatan, bertato, dan berukuran sebesar selimut orang Indian dijadikan bahan kain di bagian belakang tiap boneka dan topeng untuk dijual. Dan aku yakin, di suatu tempat di kota ini, entah di salah satu hotel atau klub golf, hidung atau telinga sang raksasa yang telah diawetkan pasti sudah tergantung di atas dinding perapian. Sedangkan alat kelaminnya yang luar biasa besar menetap di museum objek-objek ganjil dalam rombongan sirkus yang berkeliling di wilayah barat laut kota. Bagian monumental ini, dengan ukuran dan—pada suatu waktu—potensinya yang menakjubkan, menempati satu ruang pamer khusus. Ironisnya, bagian itu salah diidentifikasikan sebagai alat kelamin milik seekor paus; dan memang kebanyakan orang, bahkan mereka yang pertama kali melihat sang raksasa terdampar di pantai setelah badai melanda, sekarang hanya mengingatnya sebagai binatang laut yang sangat besar.

Sisa kerangkanya yang tak berdaging, yaitu setumpukan tulang rusuk yang memutih seperti kayu-kayu dari kapal terbengkalai, masih berada di tepi pantai. Gubuk, mesin derek, dan perancah milik seorang kontraktor telah dipindahkan, dan pasir yang terbawa ke teluk di sepanjang pantai telah mengubur tulang panggul dan tulang punggungnya. Saat musim dingin, tulang-tulang yang melengkung tinggi itu tampak sepi, terhantam oleh ombak yang pecah di pesisir; tapi saat musim panas datang, tulang-tulang tersebut menjadi tempat terbaik untuk bertengger bagi kawanan camar yang letih selepas terbang di atas laut lepas.

 

Diterjemahkan dari cerita pendek berjudul The Drowned Giant yang pertama kali terbit pada tahun 1964 di kumpulan cerpen berjudul The Terminal Beach karya J. G. Ballard.

Comments