Pengamatan Kecil Profesor Begochi terhadap Salah Satu Pertunjukan Sirkus Maximus


Desember, 1820

Kuhitung beruang-beruang yang berlarian memutari arena sirkus, sementara orang-orang memperhatikan aksi mereka meloncat sana-sini, melewati lingkar api ini dan itu, keluar-masuk topi pesulap yang di sebelah kanan-kiri, dan bermain bola merah-kuning-hijau seperti badut satu-dua. Kumulai hitungan dari angka satu, dua, tiga, empat, lima, lalu dua puluh, dua puluh tujuh, empat puluh tiga, tujuh puluh delapan, seratus sembilan puluh dua, tujuh ratus dua puluh tiga, dan pada akhirnya satu beruang pada hitungan ke sembilan ribu enam ratus empat puluh satu meraung, menyadarkanku bahwa semua angka yang kuhitung berharga sebagai sebuah hal logis. Apakah satu ekor beruang ditambah satu ekor beruang masih akan menghasilkan dua ekor beruang atau hasilnya masih satu ekor? Atau bahkan tiga ekor atau lebih? Atau malah, ketika menghitung penjumlahan beruang itu, apa kita termasuk yang menjadi bagian dari hitungan? Atau, apakah benar kita satu-satunya yang mengitung dan tak dihitung? Beruang yang meraung itu ternyata meraung untuk yang terakhir kalinya, jatuh saat meloncat tanpa pelindung dan yang melindungi, terbakar dalam lingkar api, tersedot hancur dalam topi seorang pesulap di sebelah kanan, dan mati ditontoni orang-orang penikmat sirkus, ditontoni beribu mata heran akan hitungan yang salah. Ternyata ia bukan beruang ke sembilan ribu enam ratus empat puluh satu, tapi ia beruang ke sembilan ribu enam ratus empat puluh dua. Lalu siapa beruang yang hilang dalam hitungan? Pada saat itu juga semua mata tertuju padaku, melihat nanar seakan ada yang salah. 'Jangan mengumpat, anjing!' seru salah seorang penonton. 'Keluar dari tempat dudukmu dan bermainlah!' seru yang lain. Semakin gerah suasana ketika satu-persatu dari mereka berdiri memperhatikanku. Seorang anak perempuan kecil di sebelahku berbisik, 'Hei, beruang sialan, jika kau tak mau bergabung dengan kawananmu yang sedang menghibur kami, akan kami kuliti dirimu hidup-hidup tanpa dulu proses penyembelihan, lalu kami bakar dirimu ketika kau masih bisa bernapas, dan memakanmu saat itu juga. Jadi jangan buat kami kesal dan bermainlah bersama kawanan dungumu,' ia berhenti sesaat, membuatku linglung, 'Cepat, bangsat!' Penonton di sekitarku mendorongku keras-keras, memukulku, menendangku, sampai aku terguling ke arena sirkus tempat beruang-beruang yang belum selesai kuhitung sedang mempertunjukkan kejeniusan mereka. Di masa itu aku sadar, untuk yang kedua kalinya, bahwa hitunganku bukan hanya salah satu tapi semua. Mataku masih remang setelah membentur apa saja di tribun penonton, dan kulihat para penonton itu samar-samar, hanya samar-samar, berkepala, bertubuh, bertangan, berkaki beruang. Lalu apakah hitunganku berpengaruh pada siapa beruang yang sebenarnya?

Comments

Popular Posts