Nol



Aku 1. Malam tadi, ketika hujan mengguyur tanpa ampun, ketika guntur seperti dendam tak usai, ketika bulan hanya temaram di balik kegelapan, aku pamit kepada 2 sampai 9 untuk mencari saudara kami yang hilang, ∞. Melihat rentang waktu ke belakang, beberapa bulan yang lalu, sebelum keluar rumah tanpa kabar kepada satu pun orang di rumah, ia tenggelam cukup lama di kamarnya dengan bertumpuk buku, kertas, dan peta besar di dindingnya. Tak makan, tak mandi, tak tidur, hanya ke dapur untuk membuat kopi panas dan itu saja yang diminumnya. Kami, 1 sampai 9, beberapa kali menyapa dan menanyakan apa yang dikerjakan, dan ia hanya menjawab, 'Sedang mencari,' tanpa objek setelah predikat itu. 2 dan 7 yang paling gelisah melihat kelakukan ∞. 'Apakah ia masih waras?' Tanya 7 sekali waktu saat makan malam, dan 2 bertanya hal sama dengan mengganti 'masih waras' dengan 'sudah tak sadar'. Kami yang ditanya hanya diam, kecuali 4 yang menjawab, 'Tidak mungkin,' jawabnya dengan lembut, 'ia saudara kita. Terkadang perlulah memberikan waktu kepadanya untuk mencari kehidupan yang misterius ini.' Aku ingin menambahkan, tapi tidak jadi, takut salah berargumen. Tapi beberapa hari setelah percakapan itu, ternyata ∞ begitu saja nihil di kamarnya. Kami mencarinya, di sekeliling rumah, di sisi kota, bahkan di hutan terdalam sekalipun. 3, 4, 6, dan 9 menarik massa dan melapor ke polisi. Aku dan 5 menenangkan 2 dan 7 yang menangis tak karuan. Setelah usaha yang ternyata sia-sia, karena pihak kepolisian hanya meminta kami menunggu, kuputuskan untuk mencarinya dengan beberapa berkas di kamarnya yang sempat kutakmengerti. Sebelum itu kami telaah apa yang sebenarnya ia cari, kami catat tempat-tempat di peta yang ditandai, dan akhirnya kuputuskan hanya aku yang akan pergi agar tak merepotkan yang lain dan mereka bisa melakukan kegiatan sehari-hari mereka.
___

Aku berjalan, berjalan, berjalan. Berjalan ke Aceh, tembok Cina, pegunungan Himalaya, lembah Sahara, makam-makam di Yerussalem, tanah Yunani, selat Karibia, pedalaman Amazon, pegunungan Andes, kota New York, pantai California, sampai akhirnya menemukan kenihilan di semua tempat. Kutanyai juga setiap orang, tapi mereka hanya menganggapku sinting. Saat duduk di sebuah taman, di tempat yang sudah tak kuketahui namanya, aku hanya melihat sosok yang sedikit kiranya mirip dengan saudaraku itu--atau ini hanya fatamorgana kelelahan?--sedang duduk di kursi dekat kolam sambil memberi makan ikan. Karena sudah hilang harapan, kutanyai saja dia apakah ia mengenal ∞. 'Permisi,' kataku sambil mengambil foto ∞ dari kantung jaketku, 'apakah anda mengenal atau melihat dia di sekitar sini?' tanyaku, kuperlihatkan fotonya. Ia menengok kepadaku, dan menjawab, 'Kau sudah terlalu jauh, saudaraku, mencarinya. Akulah dia yang sudah bukan dirinya. Aku 8. Saat ini aku terhingga dan tak lagi sebaliknya.' 'Apa maksudmu?' tanyaku lagi, bingung dibuatnya. 'Akulah ∞, tapi sudah tak layak dirimu memanggilku begitu. Aku 8, dan aku terhingga. Lihatlah aku, mirip dengan yang ada di foto itu bukan? Ya, karena aku memang dia, tapi sekarang aku 8, bukan ∞. Kau 1 kan?' Pertanyaan terakhir itu yang menyadarkanku setelah penjelasan rumitnya. Sampai saat ini tak ada yang bertanya siapa aku, hanyalah dia seorang. 
___

Setelah mengirimi surat mengabarkan aku menemukannya kepada yang lain di rumah, kami bersantap di sebuah restoran Italia. Aku menanyakannya mengapa ia pergi, lalu ia menjawab jawaban yang sama saat kami bertanya kepadanya dulu, 'Sedang mencari.' 'Mencari apa?' tanyaku. 'Mencari saudara kita yang sebenarnya hilang.' 'Siapa lagi yang hilang? Tidakkah cukup kau yang hilang lalu bertransformasi begitu saja?' Lalu ia menjelaskan bahwa adalah seorang di atasku, yaitu 0. Semua orang sudah melupakannya. Semua orang berpikir bahwa ia kosong. Semua mengetahuinya sebagai nihil. Padahal tidak begitu. Dialah yang memulai sebelumku, katanya. Tapi sayangnya, ia tak menemukan si 0 ini. 'Perlukah kita mencarinya lagi?' tanyaku. 'Aku memang tidak menemukannya, tapi aku sadar ternyata ia ada di diri kita. Ia menjadi yang sunyi. Ia menjadi yang tenang di dalam kita. Kita hanya sejumlah bilangan yang tumbuh darinya. Aku menjadi 8 bukan tanpa maksud, tapi sekiranya manjadi ∞ terlalu membebaniku, padahal ada ketenangan dengan menyadari 0 bukanlah kosong.' Memang rumit apa yang disampaikannya, tapi ketika mengingat lagi penjelasan perihal 0, ada angin lembut nan sepoi yang berhembus di bawah pohon oak yang tersimpan di lubuk ini. Ada suara air laut yang berbenturan damai di pantai yang terbentang di lubuk ini. Apalah aku 1 yang belum paham ini. Aku mengajak 8 pulang. Sesampainya kami di rumah ia menceritakan perjalanannya dan apa yang ia cari. Maklumlah kami tak paham begitu saja, tapi kami mencoba memahami apa yang disampaikannya dengan lapang. Bahwa 0 tidaklah kosong, bahwa 0 ada di dalam diri kita. 

Comments

Popular Posts