Arena!


'Aduh!' Brengsek. Punggungku sakit. Ternyata lantai memang keras. Kaget dibangunkan lantai yang menampar punggung karena jatuh dari ranjang, kedua mata ini terbelalak diikuti lelehan keringat di dahi dan sekujur tubuh. Tak langsung bangun, merintihlah mulut ini, tangan kanan mengusap-usap sudut yang sepertinya bengkak. Karena panas dan rasa sakit, tubuh ini menggeliat seperti cacing ke kanan kiri, dan terhenti ketika sesuatu menggeram pelan dari kolong ranjang. Ya, aku berhenti, melongo ke kolong ranjang kelam, gulita malam sekejap saja tambah dalam di kamar ini. Padamnya listrik sejak aku terlelap ternyata belum pulih. Kesialan bertumpuk ini ditambahi lagi keringnya kerongkongan. Tak dapat jelas melihatnya, sesuatu yang menggeram pelan barusan. Sayup-sayup muncul cahaya hijau kemerahan, bukan cahaya, lebih seperti kedipan mata, namun hanya dalam satu kelopak. Keringat tak lagi leleh, namun banjir. Rasa sakit barusan ditutupi gelisah kalap, ditimpa batu neraka yang kerap muncul saat diri gugup. Sesuatu itu diam. Diam. Mata ini memeriksa wujudnya, tapi tetap tak terjelaskan. Kucoba menerawang kolong ranjang dari sudut ke sudut, hanya ada kedipan hijau kemerahan, hembusan napas berat landai, dan sesuatu bergeliat di ujung ranjang di sudut kakiku terkulai. Sesuatu seperti beberapa sulur tentakel duri berlendir, menggeliat membasahi lantai dengan cairan berwarna abu-abu pekat--atau hijau gelap?--tidak jelas pastinya. Degup mulai gemuruh, seperti genderang Troya. Ingin bergerak, tapi tersesat dalam wujud itu. Kutatap lagi kedipan itu, kedip merana, sedih dan marah akan apa yang ditatapnya. Sesuatu itu menggeram lagi, lebih geram dari sebelumnya. Bergerak, ia bergerak perlahan. Ada suara kecipak saat ia bergerak, mungkin cairan yang membasahi kulitnya, atau apa aku tidak tahu, terlalu gelap kamar ini, apalagi kolong ranjang itu, sekalipun mata ini sudah menyesuaikan kadar cahaya yang dibutuhkan. Sesuatu menjulur ke arahku, jemari, kuku, selaput, tentakel, percampuran itu semua, mengusap wajah berkeringatku, membasahinya. Lengket, lengket sekali, tapi tidaklah tubuh ini bergerak, terperanjat sentuhan becek itu. Sadar mulut ini tergagap, mengeluarkan igauan takjub dan nyeri. Inilah, pikirku, inilah tempat di mana pertarungan diadakan, pertarungan antara diri ini dan diri lain yang tak tampak. Hanya tatapan nanar yang kami tarungkan, hanya kekhawatiran akan apa yang hendak terjadi, hanya sentuhan lembut dan lengket dari satu bagian tubuhnya yang bahkan tak diketahui apakah itu tangan atau kaki atau sesuatu-yang-tak-memiliki-sebutan. Tragis, diri ini memang tragis, diam akan apa yang tak bisa dideskripsikan, diam akan kengerian yang muncul dari ketidaktahuan, tak gunanya otak dan saraf yang menggerakkan dalam situasi genting. Lalu tibanya ia menggeram lagi, lebih keras dari dua geraman sebelumnya, kali ini ditunjukkan gerigi runcing berlapis yang samar, bukan dari bawah matanya yang hijau kemerahan, namun dari bagian tengah tubuhnya. Bagian tubuh tadi mulai meliliti kepalaku, yang lainnya muncul, memeluk tubuh lunglaiku, membasahinya dengan cairan lengket. Gerigi berlapis itu berputar-putar, siap meremukkan daging berlemak. Bagian-bagian tubuh lengket itu memelintir tubuh ini dengan kuat, tak membiarkannya lepas atau bahkan bergerak. Tubuh ini tak melawan, gontai seperti sampan diterjang ombak besar. Remuk, remuk, remuk. Mata ini akhirnya menyadari keindahan makhluk di bawah kolong ranjang ini, keindahan yang tidak masuk di akal. Menatap matanya sekali lagi, ia tak lebih dari makhluk yang kutempati tubuhnya ini. Tapi apakah kita hina? Atau ia hina? Atau diri ini saja yang hina? Jawabannya hanya ada di kedipan mata hijau kemerahan nanar itu. Perih! Tentakel-tentakel itu mengeluarkan duri-duri dari pori-pori yang melebar, menancapkannya ke dalam daging-dagingku. Lendir yang lengket di kulut ini bercampur lelehan darah, mengucur lembut dari lubang-lubang yang diciptakannya di sekujur tubuh. Makhluk itu meringkik, menggeram memilukan. Kudengar untuk terakhir kalinya koakan gagak-gagak di luar, bersenandung bersama merayakan horor malam-malam penantian. Hendak diri ini berteriak, tapi sayang tak sanggup lagi, hanya sanggup berpikir siapa sebenarnya menyantap siapa, apa yang menyantap apa, dan bagaimana datang dirinya kepada diri ini. Ketika suara tulang remuk jelas merintih, ketika darah menggenang bersamaan lendir, ketika koak-koak gagak berorkestra, ketika mataku beserta seluruh tubuh ini sesaat lagi pecah, lampu di kamar menyala, memperlihatkan sesaat wujud samar yang hendak menihilkan diri ini. Hanya sesaat. Sebuah wujud indah tak masuk di akal. Hancur! Anjing! Aku terlelap dalam pertarungan ini, dalam pecahan-pecahan kecil ketidaksadaran yang mutlak.

Comments