Perang Eskimo


J. D. Salinger

Pukul lima setiap Sabtu pagi, Ginnie Mannox selalu bermain tenis di Lapangan Bagian Timur dengan Selena Graff, teman sekelasnya di sekolah Miss Basehoar. Ginnie sejujurnya menganggap Selena sebagai orang tergemuk di Miss Basehoar—sekolah yang seolah-olah penuh dengan orang-orang gemuk—tapi di waktu yang sama ia tak pernah tahu seseorang seperti Selena selalu membawa kaleng bola tenis baru. Ayah Selena membuat bola tenis. (Saat makan malam suatu waktu, untuk kemajuan pendidikan seluruh keluarga Mannox, Ginnie memutuskan untuk ikut makan malam bersama keluarga Graff; makan malam itu melibatkan pelayan yang datang ke sisi kiri setiap orang dengan sekaleng bola tenis, bukannya jus tomat.) Tapi untuk urusan mengantar pulang Selena ke rumahnya setelah bermain tenis dan selalu terjebak untuk membayar seluruh ongkos taksi, membuat Ginnie selalu gelisah. Bagaimanapun, pulang dengan taksi dan bukannya bus adalah ide Selena. Di Sabtu kelima, bagaimanapun juga, saat taksi berjalan dari utara York Avanue, Ginnie akhirnya bicara.

“Hei, Selena…”

“Apa?” tanya Selena yang sibuk meraba-raba lantai taksi dengan tangannya. “Aku tidak bisa menemukan bungkus raketku!” ia mengeluh.

Meski cuaca bulan Mei hangat, kedua gadis itu memakai mantel yang menutupi celana pendek mereka.

“Kau menaruhnya di dalam kantungmu,” kata Ginnie. “Hei, dengar—“

“Oh, Tuhan! Kau menyelamatkan hidupku!”

“Dengar,” ucap Ginnie yang tidak menginginkan terimakasih dari Selena.

“Apa?”

Ginnie ingin langsung to the point karena taksi sudah dekat jalan rumah Selena. “Aku tidak mau lagi membayar seluruh ongkos taksi hari ini,” jelasnya. “Aku bukan seorang jutawan, kau tahu.”

Selena terkejut, lalu merasa tersinggung. “Bukannya aku selalu membayar setengahnya yah?” tanyanya tanpa dosa.

“Tidak,” jawab Ginnie acuh. “Kau bayar setengah di Sabtu pertama. Begitu memasuki akhir bulan, tak sekalipun kau membayar. Aku bukannya ingin pelit, tapi aku bergantung pada empat puluh lima dolar seminggu. Dan di luar itu aku harus—“

“Aku kan selalu bawa bola tenis, ya kan?” tanya Selena jengkel.

Terkadang Ginnie ingin membunuh Selena. “Ayahmu kan membuatnya,” ucapnya, “jadi itu tidak merugikanmu. Sedangkan aku harus membayar setiap—“

“Baiklah, baiklah,” ucap Selena dengan keras dan cukup tegas hingga ia mengangkat tangannya. Terlihat bosan, tangannya merogoh sesuatu dalam kantung mantelnya. “Aku hanya punya tiga puluh lima sen,” katanya acuh. “Apakah itu cukup?”

“Tidak. Aku minta maaf, tapi kau berhutang enam puluh lima dolar padaku. Aku sudah berusaha untuk setiap—“

“Aku harus ke atas dan mengambil uangnya dari ibuku. Bisakah kau tunggu hingga Senin? Aku sendiri bisa membawanya ke gym jika itu membuatmu senang.”

Sikap Selena menantang.

“Tidak,” jawab Ginnie. “Aku harus pergi ke bioskop malam ini. Aku membutuhkan uangnya.”

Dalam sunyi yang berseteru, kedua gadis itu menatap jendela yang berlawanan sampai taksi berhenti di depan rumah apartemen Selena. Lalu Selena, yang duduk mengarah ke pinggir jalan, keluar terlebih dahulu. Tepat ketika ia pergi dengan membiarkan pintu taksi terbuka, ia berjalan dengan cepat dan sungguh-sungguh ke dalam gedung seperti mengunjungi keluarga Hollywood. Ginnie, dengan wajahnya yang gusar, membayar ongkos. Lalu ia mengumpulkan peralatan tenisnya—raket, handuk tangan, topi tennisnya—dan mengikuti Selena. Di umur lima belasnya, Ginnie mempunyai tinggi 1,7 meter dengan sepatu tennis berukuran 9-B. Saat ia memasuki lobi, ia berjalan dengan canggung. Hal itu membuat Selena lebih memilih untuk memperhatikan tombol indikator di dalam lift. 

“Hutangmu jadi sembilan puluh dolar,” ucap Ginnie sambil melangkah ke arah lift.

Selena menengok. “Mungkin kau tertarik untuk mengetahui,” ia berkata, “bahwa ibuku sedang sakit parah.”

“Sakit apa memangnya?”

“Ia menderita pneumonia, dan jika kau berpikir aku bisa mengganggunya hanya untuk meminta uang…” Selena menyampaikan kalimat yang tidak lengkap dengan kepercayaan dirinya.

Ginnie, sebenarnya, agak menolak informasi yang diberikan, seberapapun tingkat kebenarannya, tapi tidak sampai ke titik sentimennya. “Aku tidak memberikan penyakit itu padanya,” ucapnya, dan ia mengikuti Selena ke dalam lift.

Saat Selena memencet bel rumah apartemennya, kedua gadis itu disambut—atau lebih tepatnya, pintu dibuka sedikit—oleh pembantu berkulit hitam yang tampaknya tidak berbicara dengan Selena. Di ruang keluarga, Selena berbalik dan berkata, “Kau mau menunggu di sini? Aku perlu membangunkan Ibu dan melakukan beberapa hal.”

“O.K.,” jawab Ginnie dan menjatuhkan dirinya ke sofa.

“Aku tidak pernah dalam hidupku berpikir bahwa kau bisa picik terhadap apapun,” ucap Selena yang cukup marah dengan memakai kata ‘picik’ tapi tidak cukup berani untuk menegaskannya.

“Sekarang kau tahu,” ucap Ginnie, dan ia membuka majalah Vogue ke depan wajahnya. Ia tetap berada di posisi tersebut sampai Selena meninggalkan ruangan, lalu menaruh majalah tersebut kembali ke atas radio. Ia melihat-lihat sekitar ruangan, menata ulang furnitur, melempar lampu-lampu meja, memindahkan bunga-bunga buatan. Menurutnya, ini adalah ruangan yang benar-benar mengerikan—mahal tapi murahan.

Tiba-tiba, seorang lelaki berteriak dari bagian lain apartemen, “Eric? Kau kah itu?”

Ginnie menduga suara itu pasti milik kakak Selena yang tak pernah ia lihat. Ia manyilangkan kakinya yang panjang, merapikan ujung mantel polo di atas lututnya, dan menunggu. 

Seorang pria muda dengan kacamata dan piama tanpa sandal menerjang ke ruangan dengan mulut terbuka. “Oh. Kupikir Eric, sialan,” katanya. Tanpa berhenti, dan dengan perawakan yang sangat menyedihkan, ia masuk ruangan, membuai sesuatu di dadanya. Ia duduk di ujung sofa yang kosong. “Aku baru saja memotong jariku,” ucapnya agak liar. Ia menatap Ginnie seolah-olah mengharapkannya untuk duduk di sana. “Pernah memotong jarimu? Sampai ke tulang?” tanyanya. Terdapat daya tarik sejati dalam suaranya yang gaduh, seolah-olah Ginnie, dengan jawabannya, bisa menyelamatkannya dari beberapa bentuk percobaan yang sangat terisolasi. 

Ginnie menatapnya. “Pernah, tapi tidak sampai ke tulang,” katanya, “tapi diriku sendiri yang memotongnya.” Dia adalah anak laki-laki, atau pria—sulit untuk menjelaskan ia anak laki-laki atau pria—terlucu yang pernah ia lihat. Rambutnya kusut seperti baru bangun tidur. Ia memiliki janggut coklat tipis yang baru beberapa hari tumbuh. Ia terlihat baik-baik saja, dan konyol. “Bagaimana kau memotongnya?” tanyanya.

Ia menatap ke jarinya yang terluka dengan mulutnya yang sidikit terbuka. “Apa?” tanyanya.

“Bagaimana kau memotongnya?”

“Jika saja aku tahu,” jawabnya, nada suaranya menandakan bahwa jawaban atas pertanyaannya tak jelas. “Aku sedang mencari sesuatu di tempat sampah sialan dan ternyata tempat sampah itu penuh dengan silet.”

“Kau kakaknya Selena?” tanya Ginnie.

“Yeah. Ya Tuhan, aku akan mati kehabisan darah. Tetap di sana. Mungkin aku membutuhkan transfusi darah.” 

“Apa kau membalutnya dengan sesuatu?”

Kakak Selena mengangkat lukanya sedikit dari dadanya dan membukanya agar Ginnie bisa melihat. “Hanya beberapa helai tisu toilet,” jawabnya. “Berhentilah berdarah. Seperti ketika kau bercukur.” Ia menatap Ginnie lagi. “Siapa kau?” tanyanya. “Teman si tolol?”

“Kita sekelas.”

“Begitu? Siapa namamu?”

“Virginia Mannox.”

“Kau Ginnie?” tanyanya, ia mengedipkan matanya kepada Ginnie dari balik kecamatanya. “Kau Ginnie Mannox?”

“Ya,” jawabnya sambil membuka kedua kakinya. 

Kakak Selena kembali melihat jarinya, yang jelas menjadi titik fokus yang benar dan satu-satunya di ruangan itu. “Aku tahu kakak perempuanmu,” katanya tanpa perasaan. “Orang sombong.”

Ginnie melengkungkan punggungnya.

“Siapa?”

“Kau dengar.”

“Dia tidak sombong!”

“Apanya yang tidak,” kata kakak Selena.

“Dia tidak sombong!”

“Bagaimana tidak. Dia itu ratu. Ratu orang-orang sombong.”

Ginnie melihatnya pergi dan mengintip dari bawah lipatan tisu toilet yang tebal di jarinya. 

“Kau bahkan tak tahu kakakku.”

“Siapa bilang tidak.”

“Siapa namanya? Apa nama pertamanya?” Ginnie menuntut.

“Joan…Joan si Sombong.”

Ginnie terdiam. “Seperti apa tampangnya?” tanyanya tiba-tiba.

Tak ada jawaban.

“Seperti apa dia?” ulang Ginnie.

“Jika saja ia terlihat setengah lebih baik dari apa yang ia pikirkan, dia beruntung,” jawab kakak Selena. Jawabannya menarik, menurut pendapat rahasia Ginnie.

“Aku tak pernah mendengarnya menyebutmu,” katanya.

“Itu membuatku khawatir. Itu sangat membuatku khawatir.”

“Lagi pula, ia sudah bertunangan,” ucap Ginnie sambil memperhatikannya. “Dia akan menikah bulan depan.”

“Dengan siapa?” tanyanya, ia mendongak. 

Ginnie mengambil keuntungan penuh dari caranya mendongak. “Tak ada yang kau kenal.”

Ia kembali meneruskan pertolongan pertama pada jarinya. “Aku kasihan pada pria itu,” katanya.

Ginnie mendengus.

“Masih berdarah. Kau pikir aku harus menaruh sesuatu di atasnya? Apa sesuatu yang bagus? Obat merah bagus tidak?”

“Betadine lebih baik,” kata Ginnie. Lalu ia merasa jawabannya terlalu sopan dalam keadaan seperti itu, ia menambahkan, “Obat merah tidak terlalu bagus untuk luka seperti itu.”

“Kenapa tidak? Apa yang salah dari obat merah?”

“Tidak bagus saja untuk luka seperti itu. Kau butuh betadine.”

“Ia melihat Ginnie. “Betadine perih kan, ya kan?” tanyanya. “Bukannya betadine sangat perih?”

“Iya perih,” kata Ginnie, “tapi tidak akan membunuhmu kok.”

Rupanya, tanpa merasa tersinggung kepada nada bicara Ginnie, kakak Selena melihat jarinya yang terluka lagi. “Aku tak suka jika perih,” ucapnya.

“Tak ada yang suka.”

Ia mengangguk tanda setuju. “Yeah,” katanya.

Ginnie memperhatikannya sebentar. “Berhenti menyentuhnya,” katanya tiba-tiba.

Seolah tersengat listrik, kakak Selena menarik tangannya yang tak terluka. Ia duduk lebih tegap—atau tepatnya, sedikit merosot. Ia melihat beberapa objek di sisi lain ruangan. Ekspresi hampir melamun muncul dari wajahnya yang tidak teratur. Ia menyelipkan kuku dari jari telunjuknya yang tak terluka ke celah antara dua gigi depannya, mengambil sisa makanan, dan menengok ke Ginnie. “Dah makan?” tanyanya.

“Apa?”

“Sudah makan siang?”

Ginnie menggeleng kepalanya. “Aku akan makan di rumah,” katanya. “Ibuku selalu menyiapkanku makan siang saat aku pulang.”

“Aku punya setengah roti lapis ayam di kamar. Kau mau? Aku tidak menyentuhnya sama sekali.”

“Tidak, terimakasih. Sungguh.”

“Kau kan baru selesai bermain tenis. Tidak lapar?”

“Bukannya begitu, kata Ginnie sambil menyilangkan kakinya. “Hanya saja ibuku selalu menyiapkan makan siang saat aku pulang. Maksudku dia akan marah jika aku tak lapar.”

Kakak Selena tampak menerima penjelasannya. Setidaknya ia mengangguk dan mengalihkan pandangan. Tapi ia berbalik tiba-tiba. “Bagaimana kalau segelas susu?” tanyanya.

“Tidak, terimakasih…Terimakasih.”

Tanpa sadar, ia membungkuk dan menggaruk pergelangan kakinya yang telanjang. “Siapa nama orang yang akan ia nikani?” tanyanya.

“Joan, maksudmu?” kata Ginnie. “Dick Heffner.”

Kakak Selena terus menggaruk pergelangan kakinya.

“Dia seorang komandan letnan di Angkatan Laut,” kata Ginnie.

“Masalah besar.”

Ginnie terkikih. Ia memperhatikannya menggaruk pergelangan kakinya sampai memerah. Ketika ia mulai menggaruk kulit kecil di betisnya dengan kuku, ia berhenti memperhatikan. 

“Kau tahu Joan dari mana?” tanyanya. “Aku tak pernah melihatmu di rumah.”

“Belum pernah ke rumahmu.”

Ginnie menunggu, tapi tidak ada lanjutan pernyataannya. “Di mana kau bertemu dengannya kalau begitu?” tanyanya. 

“Pesta,” jawabnya.

“Di sebuah pesta? Kapan?”

“Aku tidak tahu. Natal, ’42.” Dari kantung dada piamanya ia mengambil sebatang rokok yang seolah sudah dibawa tidur. “Bagaimana kalau kau lemparkan kotak korek itu kepadaku?” tanyanya. Ginnie memberikannya sekotak korek dari meja di sebelahnya. Ia nyalakan rokok itu tanpa meluruskan lengkungannya, lalu menaruh kembali korek yang sudah terpakai ke dalam kotak. Ia miringkan kepalanya ke belakang, lalu perlahan menghembuskan asap dari mulutnya dan menariknya kembali melalui lubang hidungnya. Ia teruskan merokok dengan gaya tarik napas Perancis itu. Sangat mungkin, itu bukanlah bagian dari pertunjukkan komedi sofa yang dipamerkan tapi, lebit tepatnya, sebuah pencapaian pribadi seorang pemuda yang, pada satu atau lain waktu, mungkin telah mencoba mencukur dirinya sendiri dengan tangan kiri. 

“Kenapa Joan sombong?” tanya Ginnie.

“Kenapa? Karena dia sombong. Bagaimana aku tahu kenapa?”

“Ya, tapi maksudku kenapa kau bilang dia sombong?”

Ia mamandangnya dengan lelah. “Dengar. Aku menuliskannya delapan surat. Delapan. Dia tidak membalas meski satu surat pun.”

Ginnie ragu. “Mungkin dia sibuk.”

“Yeah. Sibuk. Sibuk seperti berang-berang sialan.”

“Apa kamu bersumpah jujur?” tanya Ginnie.

“Sumpah.”

Ginnie terkikih. “Berapa lama kau mengenalnya?” tanyanya.

“Cukup lama.”

“Maksudku, pernahkah kau menelponnya? Maksudku apa kau pernah menghubunginya lewat telepon?”

“Belum.”

“Ya Tuhan. Kalau kau tak pernah menelponnya atau—“

“Aku tak bisa, sumpah!”

“Kenapa tidak?” tanya Ginnie.

“Tidak di New York.”

“Oh, lalu di mana kau saat itu?”

“Aku? Di Ohio.”

“Oh, kau kuliah?”

“Tidak. Keluar.”

“Oh, apa kau di Angkatan Darat?”

“Tidak.” Dengan tangannya yang memegang rokok, kakak Selena menepuk bagian kiri dadanya. “Jantung,” ucapnya.

“Jantungmu, maksudnya?” tanya Ginnie. 

“Apa ada dengan jantungmu?”

“Aku tidak tahu ada apa dengan jantungku. Aku menderita demam rematik saat aku kecil. sakit sekali di—“

“Bukannya kau harus berhenti merokok? Maksudku bukannya kau tidak seharusnya merokok? Dokter bilang—“

“Aah, mereka banyak omong,” katanya. 

Ginnie menahan amarahnya. Menahannya sangat kuat. “Apa yang kau lakukan di Ohio?” tanyanya.

“Aku? Bekerja di pabrik pesawat.”

“Serius?” kata Ginnie. “Kau menyukai pekerjaanmu?”

“Kau menyukai pekerjaanmu?” ia menirukannya. “Aku mencintai pekerjaanku. Aku memuja pesawat. Mereka sangat manis.”

Ginnie sudah terlalu terlibat sekarang untuk merasa terhina. “Berapa lama kau bekerja di sana? Di pabrik pesawat?”

“Aku tidak tahu, sumpah. Tiga puluh tujuh bulan.” Ia berdiri dan berjalan ke arah jendela. Ia melihat jalanan, menggaruk punggungnya dengan ibu jari. “Lihatlah mereka,” katanya. “Orang-orang tolol.”

“Siapa?” tanya Ginnie.

“Aku tidak tahu. Siapa saja.”

“Jarimu akan berdarah lagi jika kau memegangnya seperti itu,” ucap Ginnie.

Ia mendengarnya. Ia menaruh kaki kirinya di atas kursi dekat jendela dan menyandarkan tangannya yang terluka di atas pahanya yang datar. Ia melanjutkan pengamatannya ke jalanan. “Mereka semua akan pergi ke dewan wajib militer,” katanya. “Kita akan berperang melawan orang Eskimo selanjutnya. Kau tahu itu?”

“Melawan siapa?” tanya Ginnie.

“Orang Eskimo… Buka telingamu, bodoh.”

“Kenapa orang Eskimo?”

“Aku tidak tahu kenapa. Mengapa aku perlu tahu? Sekarang semua orang tua akan pergi. Orang berumuran enampuluhan. Tak ada yang pergi kecuali mereka yang berumur sekitar enam puluh,” katanya. “Memberi mereka waktu yang lebih singkat hanyalah…Masalah besar.”

“Lagipula kau tak akan pergi,” ucap Ginnie, tanpa bermaksud apapun selain mengucapkan kebenaran, namun akhirnya ia tahu sebelum pernyataan itu sepenuhnya keluar bahwa dia mengatakan hal yang salah. 

“Aku tahu,” ucapnya dengan cepat, dan menurunkan kakinya dari kursi dekat jendela. Ia buka jendela sedikit dan menjetikkan rokoknya ke jalanan. Lalu ia berbalik karena sudah selesai di jendela. “Hei. Bantu aku. Ketika seseorang datang, maukah kau beri tahu padanya aku sedang bersiap-siap sebentar? Aku hanya akan bercukur. O.K.?”

Ginnie mengangguk.

“Kau mau aku beri tahu Selena untuk cepat? Dia tahu kau di sini?”

“Oh, dia tahu aku di sini,” ucap Ginnie. “Aku sedang tidak buru-buru kok. Terimakasih.”

Kakak Selena mengangguk. Lalu ia melihat jarinya yang terluka untuk terkahir kalinya, seolah untuk memastikan apakah itu kondisi yang tepat untuk kembali ke kamarnya. 

“Kenapa kau tidak memakai pembalut luka? Kau punya kan pembalut luka?”

“Tidak,” jawabnya. “Santai saja.” Ia keluar dari ruangan itu.

Beberapa saat kemudian, ia kembali membawa sepotong roti lapis.

“Makan ini,” katanya. “Ini enak.”

“Sungguh, aku tidak—“

“Ambil saja. Aku tidak meracuninya kok.”

Ginnie menerima sepotong roti lapis itu. “Terimakasih banyak,” ucapnya.

“Itu rasa ayam,” katanya. Berdiri di dekatnya, memperhatikannya. “Aku membawanya tadi malam dari toko makanan.”

“Ini terlihat lezat.” 

“Makanlah kalau begitu.”

Ginnie mencobanya.

“Enak kan?”

Ginnie menelannya dengan susah payah. “Sangat,” katanya.

Kakak Selena mengangguk. Tanpa sadar ia melihat-lihat ruangan itu, menggaruk dadanya. “Sepertinya lebih baik aku bersiap… Oh Tuhan! Belnya berbunyi. Sekarang, santai saja!” ia pergi. 

Ditinggal sendiri, Ginnie memperhatikan sekitar, tanpa bangun dari sofa, untuk mencari tempat yang pas untuk membuang atau menyembunyikan roti lapis itu. Ia mendengar seseorang datang dari serambi. Ia menaruh roti lapis itu ke dalam kantung mantel-polonya.

Seorang pria muda di pertengahan tiga puluh, tidak pendek dan juga tidak tinggi, datang ke ruang tersebut. Wajahnya yang teratur, rambutnya yang pendek, potongan jasnya, dan pola dasi Foulard-nya tidak memberikan sedikitpun informasi. Ia mungkin seorang pegawai, atau sedang mencoba melamar menjadi seorang pegawai, dari sebuah majalah berita. Mungkin saja ia sedang bertanding dekat Philadelphia. Mungkin saja ia bekerja di perusahaan firma hukum.

“Halo,” sapanya dengan ramah kepada Ginnie. “Halo.”

“Lihat Franklin?” tanyanya.

“Ia sedang bercukur. Ia bilang kepadaku untuk memberitahumu agar menunggunya. Dia akan segera datang.”

“Bercukur. Astaga.” Pria muda itu melihat jam tangannya. Lalu ia duduk di kursi merah berbahan sutra, menyilangkan kedua kakinya, dan meletakkan kedua tangannya ke wajahnya. Seolah ia lelah pada umumnya, atau baru saja mengalami sejenis ketegangan mata, ia menggosok matanya yang tertutup dengan ujung jari-jarinya yang panjang. “Ini menjadi pagi yang paling mengerikan sapanjang hidupku,” ucapnya sambil memindahkan tangannya dari wajahnya. Ia berbicara dengan cara khas dari laringnya, seakan ia sangat lelah untuk memakai napas diafragma dalam kata-katanya.

“Apa yang terjadi?” tanya Ginnie yang sedang melihatnya.

“Oh…ceritanya sangat panjang. Aku tidak pernah membuat orang tidak bosan selama ribuan tahun.” Ia menatap samar-samar dan penuh kecewa ke arah jendela. “Tapi aku tidak akan pernah lagi menganggap diriku sebagai hakim terasing dari kodrat manusia. Kau bisa mengutip perkataan saya dengan bebas.”

“Apa yang terjadi?” ulang Ginnie.

“Oh, Tuhan. Orang yang berbagi apartemen denganku selama berbulan-bulan—Aku bahkan tak mau membicarakannya…Penulis itu,” ia menambahkan dengan puas, mungkin mengingat-ingat sebuah kutukan favorit dari novel Hemingway. 

“Apa yang telah ia perbuat?”

“Sejujurnya, aku tidak akan langsung menjelaskan detailnya,” ucap pria muda itu. Ia mengambil sebatang rokok dari kotaknya, mengabaikan kotak rokok transparan itu di atas meja, dan menyalakannya dengan koreknya sendiri. Kedua tangannya lebar. Keduanya tidak terlihat kuat, tidak juga tangkas, tidak juga peka. Namun ia menggunakan kedua tangannya seolah-olah memiliki dorongan estetik yang tidak mudah dikontrol sendiri. “Aku sudah memutuskan untuk tidak memikirkannya. Tapi aku sangat kesal,” katanya. “Maksudku, dia adalah orang kecil yang menyedihkan dari Altoona, Pennysylvania—atau salah satu daerah di sekitar sana. Tampaknya ia kelaparan sampai hampir mati saat itu. Aku adalah orang yang cukup baik dan penuh sopan santun—Aku adalah orang asli Samaria—untuk membawanya ke apartemenku yang sangat kecil yang aku sendiri sulit untuk bergerak di dalamnya. Kuperkenalkan dirinya kepada teman-temanku. Kubiarkan dirinya mengacaukan apartemen dengan kertas-kertas manuskripnya yang menjengkelkan, puntung rokok, lobak, dan barang kecil lainnya. Kuperkenalkan kepada dirinya setiap produser teater di New York. Kuangkut baju kotornya ke dan dari binatu. Dan di atas semua itu—“ Pria muda itu memutus pembicaraannya. “Dan hasil dari semua kebaikan dan sopan santunku,” lanjutnya, “adalah ia keluar dari apartemen jam lima atau enam pagi ini—tanpa meninggalkan satu catatan pun—membawa apapun dan segalanya yang ia bisa bawa dengan tangannya yang kotor.” Ia berhenti sebentar untuk menghisap rokoknya, dan menghembuskan asapnya dengan tipis dan berdesis dari mulutnya. “Aku tak mau membicarakannya. Aku benar-benar tidak mau membicarakannya.” Ia melihat ke arah Ginnie. “Aku suka mantelmu,” katanya, ia sudah terbangun dari kursinya. Ia mendekat dan menggenggam kerah mantel polo Ginnie di antara jemarinya. “Mantel ini indah. Ini bulu unta paling bagus pertama yang aku pernah lihat sejak perang. Boleh kubertanya di mana kau mendapatkannya?”

“Ibuku membawanya dari Nassau.”

Pria muda itu mengangguk sambil berpikir dan kembali berjalan ke kursinya. “Itu adalah salah satu dari beberapa tempat di mana kau bisa mendapatkan bulu unta terbaik.” Ia duduk kembali. “Ia sudah lama di sana?”

“Apa?” tanya Ginnie. 

“Apakah ibumu sudah lama berada di sana? Alasan kubertanya adalah karena ibuku pergi ke sana pada bulan Desember. Dan sebagian bulan Januari. Biasanya aku pergi dengannya, tapi ini adalah tahun yang sangat kacau sehingga aku tidak bisa pergi.”

“Ia pergi pada bulan Februari,” jawab Ginnie.

“Wah. Di mana ia tinggal? Kau tahu?”

“Ia tinggal dengan bibiku.”

Ia mengangguk. “Boleh kutahu siapa namamu? Kau berteman dengan adik Franklin, ya kan?”

“Kita sekelas,” terang Ginnie, ia hanya menjawab pertanyaan kedua.

“Kau bukan Maxine yang terkenal yang biasa Selena bicarakan kan?”

“Bukan,” jawab Ginnie.

Pria muda itu tiba-tiba mulai menyeka ujung celana dengan telapak tangannya. “Diriku penuh dengan bulu anjing dari kepala sampai kaki,” ucapnya. “Ibu pergi ke Washington akhir pekan ini dan menitipkan peliharaannya itu di apartemenku. Anjing itu cukup manis. Tapi punya kebiasaan yang buruk. Kau punya anjing?”

“Tidak.”

“Sebenarnya, kupikir kejam untuk menahan mereka di kota.” Ia berhenti menyeka, duduk kembali, dan melihat jam tangannya lagi. “Aku tak pernah tahu anak itu tepat waktu. Kami akan menonton ‘Beauty and the Beast’ karya Cocteau dan ini adalah satu-satunya film di mana kamu harus datang tepat waktu. Maksudku kalau kau tidak tepat waktu, seluruh pesonanya akan hilang. Kau sudah menontonnya?”

“Belum.”

“Oh, kau harus menontonnya! Aku sudah menontonnya delapan kali. Film itu benar-benar jenius,” katanya. “Aku sudah mencoba mengajak Franklin menontonnya beberapa bulan ini.” Ia menggeleng kepalanya dengan putus asa. “Citarasanya. Saat perang, kita berdua bekerja di tempat mengerikan yang sama, dan anak itu akan bersikeras menyeretku untuk melihat gambar-gambar paling mustahil di dunia. Kami melihat gambar gangster, gambar orang-orang Barat, musical—“

“Apa kau bekerja di pabrik pesawat juga?” tanya Ginnie.

“Ya, benar. Bertahun-tahun. Kumohon jangan bicarakan tentang itu.”

“Kau punya jantung yang sakit juga?”

“Astaga, tidak. Amit-amit, jangan sampai terjadi.” Ia mengetuk lengan kursi dua kali. “Aku memiliki kondisi tubuh yang—“

___

Ketika Selena memasuki ruangan, Ginnie berdiri dengan cepat dan beranjak menemuinya di tengah jalan. Selena sudah mengganti celana pendeknya dengan gaun, sebuah fakta yang biasanya akan mengganggu Ginnie.

“Aku minta maaf sudah membuatmu menunggu,” ucapnya tidak tulus, “tapi aku harus menunggu ibu sampai bangun… Halo, Eric.”

“Halo, halo!”

“Aku tidak menginginkan uangnya lagi pula,” kata Ginnie, ia memelankan suara sehingga ia hanya didengar oleh Selena. 

“Apa?”

“Aku sudah memikirkannya. Maksudku kau selalu membawa bola tenis setiap saat. Aku lupa mengenai hal itu.”

“Tapi kau bilang itu karena aku tak perlu lagi membayar bola-bola tenis—“

“Antar aku ke pintu keluar,” kata Ginnie sambil mendahuluinya tanpa pamit ke Eric. 

“Tapi kupikir kau bilang kau akan pergi ke bioskop mala mini dank au membutuhkan uangnya!” ucap Selena di serambi.

“Aku sangat lelah,” kata Ginnie. Ia membungkuk dan mengambil perlengkapan tenisnya. “Dengar. Aku akan memberikan cincinnya setelah makan malam. apakah kau akan melakukan sesuatu yang spesial mala mini? Mungkin aku akan datang.”

Selena menatapnya dan bilang, “O.K.”

Ginnie membuka pintu depan dan berjalan ke lift. Ia memencet tombolnya. “Aku bertemu kakakmu,” katanya.

“Kau bertemu dengannya? Dia aneh yah?”

“Apa yang dia lakukan?” Ginnie bertanya begitu saja. “Apakah dia bekerja?”

“Dia baru saja keluar. Ayah ingin ia kembali kuliah, tapi ia tidak mau.”

“Kenapa tidak mau?”

“Aku tidak tahu. Ia bilang ia terlalu tua.”

“Berapa umurnya?”

“Aku tidak tahu. Dua puluh empat.”

Pintu lift terbuka. “Aku akan menelponmu nanti!” kata Ginnie.

Di luar gedung, ia berjalan ke arah barat menuju Lexington untuk naik bus. Antara Third dan Lexington, ia merogoh kantung mantelnya untuk mengambil dompetnya dan menemukan sepotong roti lapis. Ia mengambilnya dan menurunkan lengannya untuk membuang roti lapis itu di jalanan, tapi ia malah menaruhnya kembali ke dalam kantung. Beberapa tahun yang lalu, butuh tiga hari untuk membuang anak ayam Paskah yang ditemukannya mati di serbuk gergaji di dasar tempat sampahnya.

Comments

Popular Posts