Paman yang Malang dari Connecticut


Hartford, Connecticut, 1960

J. D. Salinger

Saat itu sudah hampir jam tiga sore ketika Mary Jane akhirnya sampai di rumah Eloise. Dia menjelaskan ke Eloise, yang harus keluar rumah menuju jalan untuk bertemu dengan Mary Jane, bahwa segalanya sudah sangat lancar dan dia sangat ingat jalan yang benar, sampai ia berbelok ke jalan Merrick Park. Eloise berkata, “Jalan Merritt Park, sayang,” lalu ia mengingatkan Mary Jane bahwa ia sudah pernah menemukan rumahnya dua kali, tapi Mary Jane malah meragukan sesuatu, sesuatu tentang kotak tisu Kleenex-nya, lalu ia kembali ke mobil Convertible-nya. Eloise menaikkan kerah jaket bulu untanya, memutar tubuhnya dan menunggu Mary Jane. Mary Jane kembali beberapa menit kemudian sambil menggunakan tisu Kleenex dan masih terlihat kesal, sangat kesal. Eloise berkata dengan ceria bahwa makan siang yang sudah ia siapkan masih panas—daging sapi, dan semuanya—tapi Mary Jane bilang ia sudah makan di perjalanan. Ketika mereka berdua berjalan menuju rumah, Eloise bertanya kepada Mary Jane bagaimana ia bisa dapat libur. Mary Jane menjawab dia tidak sepenuhnya libur; itu hanya karena Pak Weyinburg menderita hernia dan berada di rumahnya di Larchmont, lalu ia harus mengantar suratnya ke kantor pos dan mengambil beberapa surat setiap sore. Ia bertanya kepada Eloise, “Sebenarnya apa sih hernia?” Eloise menjatuhkan puntung rokoknya ke tanah bersalju dan menginjaknya, lalu menjawab bahwa ia juga tidak tahu soal hernia dan berkata kepada Mary Jane bahwa ia tidak perlu khawatir kalau memang tidak tahu. Mary Jane bilang, “Oh,” dan kedua perempuan itu masuk ke dalam rumah.

Dua-puluh menit kemudian, mereka sudah menghabiskan wiski pertama mereka di ruang tamu dan berbincang dengan cara yang aneh, mungkin terlihat kaku untuk bekas teman sekamar di kampus. Bahkan, mereka berdua punya ikatan yang sangat kuat; tidak satu pun dari mereka yang lulus. Eloise keluar dari kampus di pertengahan tahun kedua di tahun 1942, seminggu setelah ia tertangkap basah dengan seorang tentara di lift yang tertutup di lantai tiga tempat tinggalnya. Mary Jane keluar—di tahun yang sama, dari kelas yang sama, dan hampir di bulan yang sama—untuk menikahi seorang kadet penerbangan yang ditempatkan di Jacksonville, Florida. Lelaki itu kurus, berpikiran terbuka, dan berasal dari Dill, Mississippi. Ia menghabiskan dua bulan dari tiga bulan pernikahannya dengan Mary Jane di penjara karena menikam seorang polisi militer.

“Bukan,” kata Eloise. “Sebenarnya warnanya merah.” Ia terlentang di sofa dan pergelangan kakinya, yang kurus tapi indah, menyilang.

“Aku dengar warnanya pirang,” bantah Mary Jane yang duduk di kursi berwarna biru. “Akui saja kalau warnanya pirang.”

“Uh-uh. Pastinya.” Eloise menguap. “Aku berada di kamar dengannya ketika dia mewarnai rambutnya. Apa masalahnya? Punya rokok tidak?”

“Tenang saja. Aku punya sebungkus,” jawab Mary Jane. “Di mana yah?” ia mencari bungkusan rokok itu di tas tangannya.

“Pelayan bodoh itu,” kata Eloise tanpa bergerak sedikit pun dari sofa. “Aku sudah menghabiskan dua slof baru di depan hidungnya satu jam yang lalu. Beberapa menit lagi dia akan bertanya apa yang aku lakukan dengan dua slof itu. Di mana aku sebenarnya?”

Thieringer,” bisik Mary Jane sambil menyulut rokoknya.

“Oh, ya. Aku ingat. Dia mewarnai rambutnya malam sebelum dirinya menikahi Frank Hanke. Kamu ingat lelaki itu?”

“Sedikit. Prajurit tua berbadan kecil itu? Yang tidak menarik itu kan?”

“Sangat tidak menarik. Oh Tuhan! Dia terlihat seperti Bela Lugosi yang tidak mandi.”

Mary Jane meregangkan kepalanya ke belakang dan mengerang. “Menakjubkan,” katanya sambil duduk kembali untuk minum.

“Berikan gelasmu padaku,” kata Eloise sambil mengayunkan kakinya yang dibalut kaus kaki ke lantai lalu berdiri. “Sejujurnya, si tolol itu, aku melakukan apa pun untuknya kecuali membuat Lew jatuh cinta kepadanya agar dia bisa datang ke sini. Sekarang, aku minta maaf, aku—Kamu dapat barang itu dari mana?”

“Ini?” tanya Mary Jane yang sedang memegang bros perhiasan di lehernya. “Aku sudah memiliknya semenjak sekolah, demi Tuhan. Ini milik ibuku.”

“Oh Tuhan,” kata Eloise sambil memegang beberapa gelas kosong dengan kedua tangannya. “Aku tidak punya benda bagus seperti itu untuk dipakai. Kalau saja ibu Lew meninggal—ha, ha—mungkin ia akan meninggalkanku lukisan hurufnya.

“Bagaimana kamu bertahan selama ini dengannya?”

“Jangan melucu,” kata Eloise ketika berjalan ke dapur.

“Sungguh, ini minuman terakhir untukku!” Mary Jane berteriak kepadanya.

“Sialan. Siapa mengunjungi siapa? Dan siapa yang datang terlambat dua jam? Kamu akan tersesat di jalan sampai membuatku muak. Sialan karir burukmu.”

Mary Jane meregangkan kepalanya ke belakang dan mengerang lagi, tapi Eloise sudah berada di dapur.

Dengan ada atau tanpa alasan untuk sendiri di ruangan tersebut, Mary Jane berdiri dan berjalan ke jendela. Dia menyingkap gorden dan menyandarkan pergelangan tangannya ke bingkai jendela di antara kaca-kacanya, tapi jendela itu berdebu, lalu ia tarik pergelangan tangannya dan mengusapnya dengan tangan yang lain, jadi ia berdiri lebih tegak. Di luar, lumpur salju yang kotor sudah menjadi es. Mary Jane melepas gorden dari genggamannya dan berjalan menuju kursi berwarna biru yang didudukinya tadi, ia melewati dua rok buku yang terisi penuh tanpa melihat judul bukunya sedikit pun. Perempuan itu duduk, lalu membuka tas tangannya dan memakai cermin untuk melihat giginya. Ia menutup bibirnya dan menggerakkan lidahnya di gigi bagian depan atas, lalu melihat bagian giginya yang lain di cermin.

“Dingin sekali di luar,” ucap Mary Jane sambil menengok. “Ya ampun, kamu cepat sekali. Kamu kasih soda tidak minumannya?”

Eloise, yang membawa minuman dingin di kedua tangannya, berhenti sebentar. Ia mengulurkan kedua jari telunjuknya, seperti moncong pistol, lalu berkata, “Jangan ada yang bergerak. Aku sudah mengepung tempat ini.”

Mary Jane tertawa dan menaruh cerminnya kembali.

Eloise datang membawa minuman. Ia menaruh minuman untuk Mary Jane di tatakannya yang tidak aman, tapi malah memegang minumannya sendiri. Ia berbaring terlentang lagi di atas sofa. “Kamu pikir apa yang dia lakukan di luar?” tanya Eloise. “Dia duduk dengan pantat hitam besarnya sambil membaca ‘The Robe.’ Ketika aku menurunkan baki es di luar, ia memandangku aneh.”

“Ini minumanku yang terakhir. Dan aku bersungguh-sungguh,” ucap Mary Jane sambil mengambil minumannya. “Oh, dengar ini! Kamu tahu siapa yang aku lihat minggu lalu? Di lantai utama Lord & Taylor?”

“Mm-hm,” kata Eloise sambil menyesuaikan posisi bantal di bawah kepalanya. “Akim Tamiroff.”

“Siapa?” tanya Mary Jane. “Siapa dia?”

“Akim Tamiroff. Dia main di beberapa film. Dia selalu bilang, ‘Kamu meluuucu yah—hah?’ Aku mencintainya…Tidak ada satu pun bantal di rumah ini yang bisa kugunakan. Siapa yang kamu lihat?”

“Jackson. Dia sedang—”

“Jackson yang mana?”

“Entahlah. Jackson yang satu kelas Fisika denganmu, yang selalu—”

“Dua-duanya ada di kelas Fisika bersama kita.”

“Yang punya—”

“Marcia Louise. Aku juga pernah bertemu dengannya sekali. Dia berbicara denganmu?”

“Iya, astaga. Tapi kamu tahu apa yang dia bilang kepadaku? Dr. Whiting meninggal. Ia bilang ia dapat surat dari Barbara Hill yang berkata bahwa Whiting menderita kanker musim panas kemarin lalu meninggal. Beratnya hanya 28 kilogram ketika meninggal. Mengerikan bukan?”

“Tidak.”

“Eloise, kamu keras kepala seperti paku.”

“Mm. Apa lagi yang dia bilang?”

“Oh, dia baru kembali dari Eropa. Suaminya ditempatkan di Jerman dan dia tinggal bersamanya. Katanya, mereka memiliki rumah dengan empat-puluh-tujuh ruangan yang dihuni bersama satu pasangan lainnya dan sepuluh pelayan. Kuda miliknya, dan tukang kuda yang mereka miliki, pernah dipakai sebagai kendaraan berkuda pribadi Hitler. Oh, dia juga menceritakanku bagaimana dirinya hampir diperkosa oleh seorang tentara berkulit hitam. Tepat di lantai utama Lord & Taylor dia menceritakan hal itu—kamu tahu lah Jackson. Ia bilang lelaki itu adalah supir suaminya, dan dia mengantarnya ke pasar suatu pagi. Dia bilang dia sangat takut waktu itu dan bahkan tidak—”

“Sebentar.” Eloise mengangkat kepala dan suaranya. “Kau kah itu, Ramona?”

“Ya,” suara anak kecil menjawab.

“Tutup pintu depan setelah kamu masuk,” teriak Eloise.

“Itu Ramona? Oh, aku tidak sabar untuk melihatnya. Tahu tidak, aku belum melihatnya semenjak dia memiliki—”

“Ramona,” panggil Eloise sambil menutup kelopak matanya, “pergi ke dapur dan bilang ke Grace untuk melepaskan sepatumu.”

“Baiklah,” jawab Ramona. “Ayo, Jimmy.”

“Oh, aku tak sabar untuk melihatnya,” kata Mary Jane. “Ya ampun! Lihat apa yang telah kulakukan. Aku benar-benar minta maaf, El.”

“Biarkan. Biarkan saja,” ucap Eloise. “Lagi pula aku benci permadani ini. Akan kuambilkan minuman untukmu lagi.”

“Tidak usah, lihat, aku sudah minum lebih dari setengah gelas!” Mary Jane memperlihatkan gelasnya. 

“Yakin?” tanya Eloise. “Berikanku sebatang rokok.”

Mary Jane memberikan bungkusan rokoknya sambil berkata, “Oh, aku tak sabar melihatnya. Dia terlihat seperti apa sekarang?”

Eloise menyalakan korek. “Akim Tamiroff.”

“Bukan, aku serius.”

“Lew. Dia terlihat seperti Lew. Saat ibunya datang, mereka bertiga terlihat seperti anak kembar tiga.” Tanpa duduk, Eloise meraih tumpukan asbak jauh di sudut meja yang dipenuhi puntung rokok. Ia berhasil mengambil satu asbak dan menaruhnya di atas perutnya. “Yang aku butuhkan adalah anjing cocker spaniel,” katanya. “Seseorang yang mirip denganku.”

“Bagaimana kedua matanya sekarang?” tanya Mary Jane. “Maksudnya, matanya tidak bertambah buruk kan?”

“Oh, Tuhan! Bukan hal semacam itu yang kutahu.”

“Bisakah dia melihat segala sesuatu tanpa kacamatanya? Maksudku, bisa saja nanti dia terbangun pada malam hari dan harus pergi ke kamar kecil.”

“Dia tidak akan membicarakan hal itu ke siapa pun. Dia anak yang penuh dengan rahasia.”

Mary Jane memutar tubuhnya saat masih duduk di kursi. “Halo, Ramona!” katanya. “Oh, pakaian yang indah!” ia menaruh minumannya. “Aku bertaruh kamu pasti tidak mengingatku yah, Ramona.”

“Dia pasti ingat. Siapa wanita ini, Ramona?”

“Mary Jane,” jawab Ramona sambil menggaruk tubuhnya.

“Manakjubkan!” ucap Mary Jane. “Ramona, maukah kamu memberikanku sedikit ciuman?”

“Jangan lakukan itu,” kata Eloise ke Ramona.

Ramona berhenti menggaruki tubuhnya.

“Maukah kamu memberikanku sedikit ciuman, Ramona?” pinta Mary Jane lagi.

“Aku tidak suka mencium orang.”

Eloise mendengus, lalu bertanya, “Jimmy di mana?”

“Dia di sini.”

“Siapa Jimmy?” Mary Jane bertanya ke Eloise.

“Ya ampun! Pacarnya. Ia pergi ke mana Ramona pergi. Melakukan apa yang Ramona lakukan. Semuanya jadi heboh.”

“Benarkah?” tanya Mary Jane antusias. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan. “Apakah kamu punya pacar, Ramona?”

Mata Ramona, di balik lensa rabun jauhnya yang tebal, tidak melihat sedikit pun antusiasme Mary Jane.

“Mary Jane bertanya padamu, Ramona,” ucap Eloise.

Ramona memasukkan jarinya ke hidungnya yang kecil dan lebar.

“Jangan lakukan itu,” kata Eloise. “Mary Jane bertanya apakah kamu punya pacar.”

“Ya,” jawab Ramona yang sibuk dengan hidungnya.

“Ramona,” kata Eloise. “Berhenti melakukan itu. Sekarang juga.”

Ramona menurunkan tangannya.

“Aku pikir itu menyenangkan,” ucap Mary Jane. “Siapa namanya? Maukah kamu memberitahuku namanya, Ramona? Atau, apakah ini rahasia besar?”

“Jimmy,” jawab Ramona.

“Jimmy? Oh, aku suka seseorang bernama Jimmy! Jimmy siapa, Ramona?”

“Jimmy Jimmereeno,” jawab Ramona.

“Dia mulai mandek,” kata Eloise.

“Itu nama yang cukup bagus. Di mana Jimmy? Maukah kamu memberitahuku, Ramona?”

“Di sini,” jawab Ramona. “Aku sedang menggenggam tangannya.”

“Aku tidak mengerti,” ucap Mary Jane ke Eloise yang sedang menghabiskan minumannya.

“Jangan tanya aku,” kata Eloise.

Mary Jane melihat Ramona lagi. “Oh, aku paham. Jimmy adalah anak lelaki khayalan. Mengagumkan.” Mary Jane mencondongkan tubuhnya ke depan dengan ramah. “Apa kabar, Jimmy?” tanyanya.

“Dia tak akan bicara padamu,” terang Eloise. “Ramona, ceritakan kepada Mary Jane tentang Jimmy.”

“Ceritakan apa?”

“Silahkan berdiri…Sekarang ceritakan kepada Mary Jane seperti apa Jimmy.”

“Dia memiliki mata berwarna hijau dan rambut berwarna hitam.”

“Apa lagi?”

“Tidak punya ayah dan ibu.”

“Apa lagi?”

“Tak ada bintik-bintik di wajahnya.”

“Apa lagi?”

“Ia membawa pedang.”

“Apa lagi?”

“Entahlah,” jawab Ramona, ia mulai menggaruki tubuhnya lagi.

“Dia kedengarannya tampan!” ucap Mary Jane. Ia lebih mencondongkan lagi tubuhnya di kursi yang di dudukinya. “Ramona. Coba beritahu aku. Apakah Jimmy juga melepas sepatunya ketika masuk bersamamu?”

“Dia punya sepatu bot,” jawab Ramona.

“Menakjubkan,” ucap Mary Jane kepada Eloise.

“Kamu pikir hanya segitu. Aku melihat ini sepanjang hari. Jimmy makan bersamanya. Mandi bersamanya. Tidur bersamanya. Ramona tidur di satu sisi kasur, jadi dia tidak akan berguling di atasnya dan menyakitinya.”

Karena terpikat dan gembira dengan informasi seperti ini, Mary Jane menggigit bibir bawahnya, dan melepasnya untuk bertanya lagi, “Dari mana dia mendapat nama itu?”

“Jimmy Jimmereeno? Hanya Tuhan yang tahu.”

“Mungkin dari anak-anak laki di sekitar sini.”

Eloise menguap dan menggelengkan kepalanya.”Tidak ada anak-anak laki di sekitar sini. Bahkan tidak ada anak-anak. Mereka memanggilku Si Bokong Subur di belakang—”

“Mama,” kata Ramona, “bolehkah aku pergi keluar dan bermain?”

Eloise memandanginya. “Baru saja kamu masuk,” ucapnya.

“Jimmy mau keluar lagi.”

“Kenapa, boleh mama tahu?”

“Dia meninggalkan pedangnya di luar.”

“Oh, dia dan pedang sialannya itu,” ucap Eloise. “Yasudah. Pergi sana. Letakkan kembali sepatumu setelah dipakai.”

“Boleh aku memiliki ini?” tanya Ramona sambil mengambil korek api dari asbak.

“Boleh aku memiliki ini. Ya. Jauhi jalan raya.”

“Sampai jumpa, Ramona!” ucap Mary Jane dengan nada.

“Dah,” jawab Ramona. “Ayo, Jimmy.”

Tiba-tiba Eloise berdiri. “Berikanku gelasmu,” katanya.

“Jangan, aku bersungguh-sungguh, El. Seharusnya aku sudah di Larchmont sekarang. Maksudnya, Pak Weyinburg sangat baik, dan aku benci jika—”

“Telepon dia dan bilang kamu terbunuh. Berikan gelasnya.”

“Jangan, sejujurnya, El. Maksudnya, sekarang menjadi sangat dingin. Aku tidak punya alat penghangat di mobilku. Maksudku, kalau aku tidak—”

“Biarkan saja membeku. Telepon dia. Bilang saja kalau kamu sudah mati,” kata Eloise. “Berikan gelasnya.”

“Baiklah…di mana teleponnya?”

“Teleponnya hilang,” jawab Eloise sambil mengangkat gelas-gelas kosong dan berjalan menuju ruang makan, “—ini—dia—jalannya.” Dia berhenti di papan lantai di antara ruang tamu dan ruang makan lalu berjoget tak karuan. Mary Jane terkikih-kikih.

“Maksudku, kamu tidak benar-benar mengenal Walt,” ucap Eloise pada pukul 4.45 sambil terlentang di atas lantai, segelas minuman berdiri tegak di atas dada kecilnya. “Dia adalah satu-satunya anak laki yang bisa membuatku tertawa. Maksudku, aku benar-benar tertawa.” Ia memandang Mary Jane. “Kamu ingat malam itu—di tahun terakhir kuliah kita—ketika Louise Hermanson yang gila itu masuk tiba-tiba ke kamar memakai kutang hitam yang ia bawa dari Chicago?”

Mary Jane terkekeh. Ia menyandarkan perutnya di atas sofa, dagunya di atas sandaran tangan sofa, dan memandangi Eloise. Minumannya sudah berada di atas lantai dan ia bisa menjangkaunya.

“Dia bisa membuatku tertawa dengan cara seperti itu,” ucap Eloise. “Dia bisa melakukannya ketika berbicara kepadaku. Bisa juga di telepon. Bahkan dia bisa melakukan itu di secarik surat. Dan bagian terbaiknya adalah, dia tidak mencoba untuk melucu—dia lucu begitu saja.” Ia memutar kepalanya ke arah Mary Jane. “Hei, bagaimana kalau kau melemparkanku sebatang rokok?”

“Aku tidak bisa menjangkaunya,” kata Mary Jane.

“Sialan.” Eloise menatap langit-langit lagi. “Sekali,” katanya, “aku pernah terjatuh. Aku menunggunya di halte bis, tepat di luar gedung PX, dan dia datang terlambat setelah bis berangkat. Kami berlari untuk mengejar bis tersebut, lalu aku terjatuh dan pergelangan kakiku terkilir. Dia bilang, ‘Poor Uncle Wiggily,’ maksudnya ankle­, pergelangan kakiku. Poor old Uncle Wiggily, dia memanggilnya…Oh Tuhan, dia orang yang baik.”

“Apakah Lew tidak memiliki selera humor?” tanya Mary Jane.

“Apa?”

“Apakah Lew tidak memiliki selera humor?”

“Ya Tuhan! Siapa yang tahu? Ya, mungkin dia punya. Dia biasa menertawakan kartun dan hal-hal semacamya.” Eloise mengangkat kepala dan minumannya, lalu meminumnya.

“Hal itu bukan segalanya kok,” kata Mary Jane. “Maksudku, itu bukan berarti segalanya.”

“Apa yang bukan segalanya?”

“Oh…kamu tahu lah. Tertawa dan semacamnya.”

“Siapa bilang hal itu bukan segalanya?” ucap Eloise. “Dengar, kalau kamu tidak menjadi seorang biarawati, kamu juga mungkin akan tertawa.”

Mary Jane terkikih. “Kamu menyedihkan,” ucapnya.

“Ah, Tuhan, dia baik sekali,” kata Eloise. “Dia itu lucu dan juga manis. Bukan manis seperti anak-anak laki lainnya. Tapi jenis manis yang spesial. Kamu tahu kan apa yang dia lakukan?”

“Uh-uh,” jawab Mary Jane.

“Kami naik kereta untuk pergi dari Trenton ke New York—itu tak lama setelah dia ikut wajib militer. Saat itu cuaca dingin dan aku pakaikan jaketku untuk kami berdua. Aku ingat bahwa saat itu aku mengenakan baju wol Joyce Morrow—kamu ingat kan baju wol berwarna biru cerah yang dia miliki?”

Mary Jane mengangguk, tapi Eloise tidak menengok untuk melihat anggukan tersebut.

“Lalu, tangannya berada di atas perutku. Kamu tahu lah. Tiba-tiba dia bilang perutku indah sehingga dia ingin petugas kereta datang kepadanya dan memintanya untuk mengeluarkan tangannya yang lain ke luar jendela. Katanya, dia ingin melakukan sesuatu yang sama-sama adil. Akhirnya ia keluarkan tangannya dan bilang kepada kondektur kereta untuk mengeluarkan bahunya. Dia bilang kepadanya bahwa jika ada sesuatu yang menjengkelkan itu adalah seseorang yang tidak terlihat bangga dengan seragamnya. Kondektur itu hanya bilang kepadanya untuk tidur.” Eloise merenung sejenak, lalu berkata, “Bukan perihal apa yang dia katakan, tapi bagaimana dia menyampaikannya. Kamu pasti mengerti.”

“Kamu sudah pernah menceritakannya kepada Lew—maksudnya semua tentangnya?”

“Oh,” jawab Eloise, “aku pernah bercerita sekali. Tapi hal pertama yang ia tanyakan adalah apa pangkatnya.”

“Memang apa pangkatnya?”

“Ha!” kata Eloise.

“Bukan, maksudku hanya—”

Tiba-tiba Eloise tertawa dari diafragmanya. “Kamu tahu apa yang pernah dia bilang? Katanya, ia merasa berkembang di Angkatan Darat, tapi di sudut yang berbeda dari yang lain. Dia bilang bahwa ketika dia mendapat promosi naik pangkat pertamanya, bukannya mendapat ‘lencana tanda pagarnya’, dia malah kehilangan lengan bajunya. Dia bilang ketika dia bisa menjadi jenderal, dia akan telanjang bulat. Yang ia pakai hanyalah kancing infanteri di pusarnya.” Eloise memandangi Mary Jane yang tidak tertawa. “Bukankah kau pikir itu lucu?”

“Ya, hanya saja, kenapa kamu tidak ceritakan Lew tentangnya suatu waktu nanti?”

“Kenapa? Karena dia terlalu bodoh, itulah sebabnya,” terang Eloise. “Di samping itu, dengarkan aku, wanita karir. Kalau kamu menikah lagi, jangan ceritakan apa pun kepada suamimu. Kau dengar aku?”

“Kenapa?” tanya Mary Jane.

“Karena aku bilang begitu, itu sebabnya,” kata Eloise. “Mereka mau berpikir bahwa kamu menghabiskan seluruh hidupmu hanya untuk muntah ketika ada lelaki yang mendekatimu. Aku tidak bercanda kali ini. Oh, kamu bisa bercerita sesuatu kepada mereka. Tapi jangan pernah bercerita jujur. Maksudku, jangan pernah jujur. Kalau kamu menceritakan mereka bahwa kamu pernah mengenal seorang lelaki tampan, dalam tarikan napas yang sama kamu harus bilang bahwa dia tampan juga. Dan kalau kamu menceritakan mereka bahwa kamu pernah mengenal lelaki yang pintar dan lucu, kamu juga harus bilang bahwa dia sangat pintar atau bijak. Kalau tidak, mereka akan memukul kepalamu bersama ingatan lelaki malang itu setiap kali mereka punya kesempatan.” Eloise berhenti sebentar untuk minum dan berpikir. “Oh,” lanjutnya, “mereka akan mendengarkanmu dengan sikap dewasa. Bahkan mereka akan terlihat sangat cerdas. Tapi jangan sampai hal ini membodohimu. Percayalah padaku. Kamu akan sangat menyesal kalau kamu memuji mereka atas kecerdasan tersebut. Percayalah pada kata-kataku.”

Mary Jane, yang terlihat murung, mengangkat dagunya dari sandaran lengan sofa. Untuk mengganti posisinya, ia menyokong dagunya dengan tangannya. Ia memikirkan anjuran Eloise. “Kamu tidak bisa memanggil Lew bodoh,” katanya dengan lantang.

“Siapa yang tidak bisa?”

“Maksudku, bukankah dia pintar?” tanya Mary Jane dengan polos.

“Oh,” ucap Eloise, “apa gunanya menjelaskan hal itu? Sudahi saja pembicaraan ini. Aku hanya akan membuatmu muram. Jangan biarkan aku berbicara lagi.

“Jadi, untuk apa kamu menikahinya?” tanya Mary Jane.

“Oh, Tuhan! Entahlah. Katanya, dia mencintai Jane Austen. Dia bilang kepadaku bahwa buku-bukunya sangat berarti untuknya. Itulah apa yang sebenarnya ia katakan. Aku baru tahu setelah menikah bahwa sekali pun tak pernah ia membaca buku-bukunya. Kamu tahu siapa penulis favoritnya?”

Mary Jane menggelengkan kepalanya.

“L. Manning Vines. Pernah mendengar tentang dia?”

“Uh-uh.”

“Aku juga tidak pernah. Tidak ada yang pernah mendengar tentangnya. Ia menulis sebuah buku tentang empat orang yang kelaparan sampai mati di Alaska. Lew tidak ingat judul buku tersebut, tapi itu adalah buku tertulis paling indah yang pernah ia baca. Ya, Tuhan! Bahkan ia tidak jujur untuk bilang bahwa ia menyukai buku itu karena menceritakan empat orang yang menderita kelaparan sampai mati di rumah salju Eskimo. Ia malah harus bilang bahwa itu karya tertulis yang indah.”

“Kamu terlalu kritis,” ucap Mary Jane. “Maksudku, kamu terlalu kritis. Mungkin ini bagus—”

“Percayalah apa yang kuceritakan, itu tidak mungkin terjadi,” kata Eloise. Ia berpikir sebentar, lalu menambahkan, “Setidaknya kamu memiliki pekerjaan. Maksudku, setidaknya kamu—”

“Tapi dengar,” potong Mary Jane. “Apakah kamu berikir untuk menceritannya bahwa Walt sudah meninggal? Maksudku, dia tidak akan cemburu, ya kan, kalau dia tahu bahwa Walt sudah—kamu tahu lah, meninggal."

“Oh, sayang! Kau gadis karir yang malang dan tanpa dosa,” kata Eloise. “Dia akan lebih memburuk. Dia akan menjadi iblis. Dengar. Yang dia tahu hanyalah bahwa aku pernah bepergian dengan seseorang bernama Walt—semacam lelucon para tentara. Hal terakhir yang akan kuceritakan padanya adalah bahwa dia sudah meninggal. Tapi itu hal terakhir. Dan jika kuceritakan—aku tidak akan menceritakannya—tapi kalau kuceritakan, aku akan menceritakannya bahwa dia terbunuh dalam perang.”

Mary Jane mendorong dagunya ke depan di ujung lengan bawahnya.

“El…” ucapnya. “Kenapa kamu tidak menceritakanku bagaimana ia terbunuh? Aku janji tidak akan menceritakannya kepada siapa pun. Aku janji. Ayolah.”

“Tidak.”

“Ayolah. Aku janji tidak akan menceritakannya kepada siapa pun.”

Eloise menghabiskan minumannya dan mengganti gelas kosong itu untuk berdiri tegak di atas dadanya. “Kamu akan menceritakannya kepada Akim Tamiroff,” ucapnya.

“Tidak akan! Maksudnya, aku tidak akan menceritakannya kepada siapa—”

“Oh,” kata Eloise, “resimennya sedang beristirahat di suatu tempat. Saat itu kondisi masih di tengah peperangan, temannya bilang ia menulis surat untukku. Walt dan beberapa lainnya sedang membungkus sebuah kompor kecil Jepang. Seorang kolonel bilang mau membawanya pulang. Atau mereka sedang mengeluarkannya dari paket untuk dibungkus kembali—aku tidak tahu detailnya. Ternyata, barang itu penuh dengan bensin dan rongsokan, lalu meledak tepat di wajah mereka. Beberapa lainnya kehilangan mata mereka.” Eloise mulai menangis. Tangannya meraih gelas kosong di atas dadanya untuk dipegang.

Mary Jane turun dari sofanya dan, dengan lututnya, ia berjalan tiga langkah menuju Eloise lalu mengelus kepalanya. “Jangan menangis, El. Jangan menangis.”

“Siapa yang menangis?” tanya Eloise.

“Aku mengerti, tapi jangan menangis. Maksudku, ini tidak sepadan.”

Pintu depan terbuka.

“Itu Ramona,” ucap Eloise dengan suara sengau. “Bantu aku. Pergilah ke dapur dan beri tahu Grace untuk memberinya makan malam lebih awal. Mau kan?

“Baiklah, asalkan kamu janji untuk tidak menangis.”

“Aku janji. Pergilah. Aku sedang tidak ingin pergi ke dapur sialan itu sekarang.”

Mary Jane berdiri, mengembalikan kembali keseimbangannya, lalu pergi dari ruangan itu.

Ia kembali lagi kurang dari dua menit, dengan Ramona yang berlari ke arahnya. Ramona berlari secepat yang ia bisa, mencoba membuat kebisingan maksimal tanpa membuka sepatunya.

“Dia tidak akan mau kalau aku yang membukakan sepatunya,” kata Mary Jane.

Eloise, yang masih terlentang di atas lantai, sedang memakai sapu tangannya. Ia berbicara dengan sapu tangan itu, yang dimaksudkan kepada Ramona. “Keluar dan bilang kepada Grace untuk membuka sepatumu. Kamu tahu kan kalau kamu tidak boleh masuk ke—”

“Dia berada di kamar kecil,” ucap Ramona.

Eloise menaruh kembali sapu tangannya dan membangunkan dirinya untuk duduk. “Sini kakimu,” katanya. “Duduk dulu…Jangan di sana—di sini. Astaga!”

Dengan berlutut, Mary Jane memeriksa kolong meja untuk mencari bungkusan rokoknya, lalu berkata, “Hei. Coba tebak apa yang terjadi pada Jimmy.”

“Tidak tahu. Kaki satunya lagi. Satunya lagi.”

“Dia tertabrak,” kata Mary Jane. “Tragis bukan?”

“Aku melihat Skipper membawa tulang,” jelas Ramona kepada Eloise.

“Apa yang terjadi pada Jimmy?” tanya Eloise kepadanya.

“Dia tertabrak dan meninggal. Aku melihat Skipper membawa tulang, dan dia tidak akan—”

“Coba sini dahimu,” kata Eloise. Dia memegang dan meraba dahi Ramona. “Kamu sedikit demam. Katakan kepada Grace kamu akan makan malam di atas. Setelah itu kamu langsung tidur. Nanti mama menyusul. Ayo cepat. Bawa sepatumu.”

Ramona perlahan mengambil langkah-langkah besar untuk keluar dari ruangan itu.

“Berikan aku sebatang,” kata Eloise kepada Mary Jane. “Ayo minum-minum lagi.”

Mary Jane memberikan Eloise sebatang rokok. “Bukankah itu sesuatu? Tentang Jimmy? Imajinasi macam apa itu!”

“Mm. Kamu mau ambil minuman kan? Dan bawa botolnya…Aku tidak mau ke sana. Semua tempat sialan ini berbau seperti jus jeruk.”
___

Pukul tujuh lewat lima, telepon berdering. Eloise bangun dari tempat duduk di sebelah jendela dan meraba-raba kegelapan untuk mencari sepatunya. Dia tidak menemukan sepatunya. Dengan hanya mengenakan kaus kaki, ia berjalan dengan tenang, hampir lesu, untuk mengangkat telepon. Deringnya tidak mengganggu Mary Jane yang tertidur di atas sofa dengan kepala tertunduk.

“Halo,” ucap Eloise di telepon tanpa menyalakan lampu di atasnya. “Dengar, aku tidak bisa bertemu denganmu. Di sini ada Marry Jane. Mobilnya terparkir tepat di depan rumah dan dia tidak bisa menemukan kuncinya. Aku tidak bisa keluar. Kami menghabiskan dua-puluh menit hanya untuk mencari kunci itu di—bagaimana menyebutnya yah—di salju dan tempat semacam itulah. Mungkin kau bisa tinggal dengan Dick dan Mildred dulu.” Ia mendengarkan. “Oh. Yah, itu sulit, nak. Mengapa kalian tidak membentuk sebuah kelompok lalu pulang ke rumah? Kalian bisa menyebutnya bisnis hut-hope-hoop-hoop. Kamu akan menjadi orang besar.” Ia mendengarkan lagi. “Aku tidak lucu,” katanya. “Serius, aku tidak lucu. Ini karena wajahku saja.” Ia menutup telepon tersebut.

Eloise beranjak kembali ke ruang tamu dengan lesu. Di tempat duduk sebelah jendela, ia menuangkan apa yang tersisa dari botol Scotch ke gelasnya. Isinya hanya tinggal sejumput jari. Ia menghabiskannya, menggigil, dan duduk kembali.

Saat Grace menyalakan lampu di ruang makan, Eloise kaget. Tanpa bangun dari duduknya, ia berseru kepada Grace, “Sebaiknya kamu tidak bekerja sampai pukul delapan, Grace. Pak Wengler akan pulang sedikit terlambar.”

Bayangan Grace terlihat, tapi ia tidak muncul dari ruang makan. “Wanita itu sudah pergi?” tanyanya.

“Dia sedang beristirahat.”

“Oh,” kata Grace. “Nyonya Wengler, saya bertanya-tanya apakah akan baik-baik saja jika suami saya bermalam di sini. Saya masih memiliki tempat di kamar saya, dan dia tidak perlu untuk kembali ke New York sampai besok pagi, dan cuaca di luar sangat buruk.”

“Suamimu? Di mana dia sekarang?”

“Sekarang,” jawab Grace, “dia berada di dapur.”

“Yah, aku khawatir dia tidak bisa bermalam di sini, Grace.”

“Bu?”

“Aku bilang, aku khawatir dia tidak bisa bermalam di sini. Aku tidak menjalankan bisnis hotel.”

Grace berdiri sebentar, lalu berkata, “Baik, bu,” lalu beranjak ke dapur.

Eloise pergi dari ruang tamu dan menaiki tangga yang sedikit terang karena terlempar cahaya lampu dapur. Salah satu sepatu Ramona tergeletak di lantai. Ia memungutnya dan melemparnya ke sandaran tangga dengan kekuatan penuh; sepatu itu menghantam lantai serambi dengan benturan keras. Dia menyalakan lampu di kamar Ramona lalu memegangi saklarnya, seolah-olah berusaha memberikan dukungan. Ia masih berdiri sesaat dan memandangi Ramona. Lalu ia melepas geganggamannya dari saklar lampu dan beranjak ke kasur dengan cepat. “Ramona. Bangun. Bangun.”

Ramona sedang tidur jauh di satu sisi tempat tidur, pantat sebelah kanannya sudah keluar dari batas tepi kasur. Kacamatanya berada di atas meja tidur kecil bergambar Donald Duck, dilipat rapi dan diletakkan terbalik.

“Ramona!”

Sang anak terbangun dengan tarikan napas yang tajam. Matanya terbuka lebar, tapi ia menyipitkannya kembali hampir dalam satu waktu. “Mama?”

“Mama pikir kamu sudah bilang bahwa Jimmy Jimmereeno sudah tertabrak dan meninggal.”

“Apa?”

“Kamu pasti dengar,” kata Eloise. “Kenapa kamu tidur di sudut ranjang?”

“Karena,” jawab Ramona.

“Karena apa? Ramona, ibu tidak merasa—”

“Karena aku tidak mau menyakiti Mickey.”

“Siapa?”

“Mickey,” jawab Ramona sambil menggosok hidungnya. “Mickey Mickeranno.”

Eloise mengangkat suaranya sampai berteriak. “Tidur di tengah tempat tidur. Sekarang.”

Ramona yang sangat ketakutan hanya bisa memandangi Eloise.

“Baiklah.” Eloise meraih pergelangan kaki Ramona, setengah mengangkat dan setengah menariknya ke tengah tempat tidur. Ramona tidak melawan atau pun menangis; ia membiarkan dirinya bergeser tanpa benar-benar memasrahkan diri.

“Sekarang tidur,” kata Eloise yang terengah-engah. “Tutup matamu…Kamu dengar mama kan, tutup matamu.”

Ramona menutup matanya.

Eloise beranjak ke saklar lampu dan mematikannya. Tapi ia berdiri cukup lama di pintu kamar. Lalu, tiba-tiba dalam gelap, ia berlari menuju meja tidur dan membenturkan lututnya dengan kaki ranjang, tetapi dirinya terlalu penuh dengan tujuan untuk merasakan sakit. Ia mengambil kacamata Ramona dan memegangnya dengan kedua tangannya, lalu menekan kacamata itu ke pipinya. Air mata mengalir di wajahnya, membasahi kaca mata tersebut. “Poor Uncle Wiggily,” ia mengatakannya berulang-ulang. Akhirnya ia taruh kembali kacamata itu di atas meja tidur, lensanya menghadap ke bawah.

Ia membungkukkan dirinya, kehilangan keseimbangannya, lalu menyelipkan dirinya ke selimut yang Ramona pakai. Ramona terbangun. Ia sedang menangis, dan memang sudah menangis. Eloise mencium bibirnya yang basah dan menyeka rambut dari matanya, lalu ia keluar dari kamar itu.

Ia turun ke bawah dengan sangat sempoyongan, lalu membangunkan Mary Jane.

“Siapa itu? Siapa? Hah?” ucap Mary Jane seraya duduk tegak di sofa.

“Mary Jane. Dengarkan. Tolong dengarkan,” kata Eloise yang tersedu-sedan. “Kamu ingat tahun pertama kita kuliah kan, saat itu aku mengenakan gaun berwarna coklat dan kuning yang kubeli di Boise, lalu Miriam Ball berkata padaku bahwa tidak ada satu orang pun yang mengenakan gaun seperti itu di New York, dan aku menangis semalaman?” Eloise mengguncang tangan Mary Jane. “Aku gadis yang baik kan,” ia memohon, “iya kan?”



# Di cerita ini, maksud Walt Glass adalah, “Poor ankle wiggily,” (pergelangan kaki malang yang terkilir), tapi ia malah menjadikannya, “Poor Uncle Wiggily.”

Comments

Popular Posts