Emansipasi Betina


Di sebuah komplek yang tenang di pinggiran kota, di bawah terik matahari yang terhalangi oleh asbes yang menutupi parkiran sebuah rumah dengan satu mobil di dalamnya, terdapat dua pasang kekasih telanjang yang sedang becinta tanpa peduli hawa panas yang menyengat dan orang-orang  entah pria dewasa, perempuan sebaya, wanita berpakaian ketat, ustadz bersorban dengan wewangian langsat, ataupun anak kecil yang sedang makan es krim yang lewat lalu melihat mereka dengan kaget dan langsung menutupi mulut atau mata mereka, bahkan sebagian bocah yang lewat sehabis bermain gundu atau monopoli akan berhenti untuk menontoni mereka sambil berkata “Astaghfirullah, siang-siang masih saja mereka,” dan meneruskan kembali tontonan cabul tersebut lalu bilang, “Terus, terus,” hingga para ibu meneriaki mereka untuk makan siang dan mereka pun bubar.
“Sialan bocah-bocah begundal itu, sayang. Melihati kita dengan munafik besar.” Kata sang jantan dengan erangan berahi.
“Jangan banyak omong, percepat saja!” sergah sang betina dengan sebal, lalu menikmati percintaannya kembali yang melayang dan mengantarkannya ke rasa surgawi.
“Nikmati saja, sayang.” Ia mengeong kencang.
“Kau yang begundal!” ia mengerang lebih kencang.
Di balik pohon tanjung di dekat rumah berparkiran dengan kedua pasangan tersebut, seekor kucing betina berwarna hitam dengan kalung berwarna emas di lehernya melihat mereka saksama dengan kedua mata hijaunya. Lalu ia berkata:
“Makhluk tak berakal.” 
___

Setelah prosesi itu berakhir, sang jantan yang berbulu dasar putih dibercaki warna krem bernama Nano menatap sang kucing betina yang bercorak abu-abu hitam dengan mata kasih sayang, lalu beberapa menit kemudian dia pergi begitu saja. “Kau akan bertanggungjawab kan?” Tanya sang betina.
“Iyah, aku akan kembali ketika kelahiran anak-anak kita.” Jawabnya santai tanpa menoleh.
“Setiap pejantan berkata itu, tapi tak pernah kembali.” Keluh sang betina kepadanya.
“Aku berbeda dari para brengsek itu, tenang saja.” Katanya dengan nada datar tetap tanpa menoleh dan melangkah semakin jauh.
“Setiap pejantan juga berkata itu.” Keluhnya lagi dengan intonasi lebih tinggi. Nano tak menjawab dan terus berjalan. “Setiap pejantan brengsek!” teriaknya tanpa ada tanggapan. Ia menengadah ke langit dengan mata tertutup, lalu mengeong-ngeong tanda bersedih. 
“Kau itu bodoh atau memang tak memiliki otak?” Tanya seekor kucing lain yang ia tak sadari kedatangannya. “Kalian para betina dengan gobloknya mau disetubuhi oleh pejantan-pejantan buduk yang memiliki kelamin pesakitan. Berpikirkah kalian?”
“Siapa kau? Datang langsung mengejek spesiesmu sendiri. Yang bodoh dan goblok dan tidak memiliki otak itu kamu.” Bantah sang betina dengan terheran-heran melihat sesosok kucing hitam yang bermata hijau datang tiba-tiba ke arahnya. “Atau jangan-jangan kau malaikat maut dari golongan kucing yang ingin membawa kabar kematianku?”
“Memang benar spesiesku semakin hari semakin idiot. Perkenalkan namaku Hitam.”
“Kau bisa memanggilku Kantini. Lalu ada apa kau datang lalu mengejekku?” tanyanya yang masih terheran-heran. Dan ia masih pula mengiranya malaikat maut yang didatangkan Tuhan dengan wujud seekor kucing hitam. “Eh, atau jangan-jangan kau kucing jadi-jadian yang bisa berubah menjadi manusia yah?”
“Sudahlah, jangan berpikir yang tidak-tidak dan terlalu berimajinasi tinggi seperti manusia-manusia yang percaya mitos. Ini dunia realitas. Kedatanganku kemari karena melihatmu bersenggama barusan.”  
“Lalu kenapa kalau aku bersenggama barusan?” 
“Berapa usiamu sekarang?”
“Kau tak perlu tahu. Itu bukan urusanmu dan tak penting pula bila kau…
“Berapa?”
“..tahu.”
“Berapa?”
“Dua.”
“Baiklah, cobalah berpikir sejenak. Sudah berapa anak yang kau miliki dalam dua tahun ini? Tak perlu dijawab. Cukup renungkan dalam otak kecilmu dan hati kotormu. Jika kau terus disetubuhi oleh pejantan-pejantan tak bertanggungjawab itu, lalu bagaimana kau dan anak-anakmu yang mungkin sudah lebih dari sepuluh itu hidup? Aku tahu spekulasi kelahiran kucing secara tepat.” Ocehnya tak berhenti dengan nada cepat sambil memutari Kantini yang terlihat semakin bingung. “Setiap empat bulan, berahi kucing betina akan naik, bahkan menggila. Lalu kalian akan menerima kucing jantan manapun untuk menusuk kalian dengan kelamin kotor mereka kapanpun dan dimanapun selama tiga hari berturut-turut dan setiap harinya kalian akan disodoki sebanyak tiga sampai empat kali dengan alasan ilmiah bahwa kalian memang bisa tidak pasti hamil jika hanya bersetubuh sekali. Jadi totalnya dengan perkiraan pahit adalah dua belas kali kelamin kalian dimasuki dalam proses kawin. Jika kalian memang cocok, kalian akan mengandung paling tidak empat sampai enam anak haram di dalam perut kotor kalian, dan bila mengambil pahit lagi, kalian bisa menyimpan tiga belas anak setan di dalam rahim kalian. Kehamilan kalian bertahan normal selama enam puluh satu sampai enam puluh tujuh hari. Dan dengan perhitungan rata-rata, selama dua tahun kau hidup, dengan dua sampai empat kali melahirkan, ya tepat, kau akan punya dua belas sampai dua puluh empat anak. Lalu mereka akan mati begitu saja tanpa susu dari ibunya yang mencukupi. Kau pun pasti sudah meninggalkan mereka masa bodo kan? Dan jawabannya pasti ya. Aku tahu itu.”
“Blablabla. Omonganmu penuh omong kosong. Dan berani-beraninya kau mengatakan bahwa anak-anakku adalah anak-anak haram dan setan.” Potong Kantini dengan sikap malas. “Daripada aku mendengarkan kau mengoceh, lebih baik…
“Jalang! Jika anak-anakmu bukan anak-anak setan, berarti kaulah yang setan. Bisakah kau dengarkan aku sebentar? Ini untuk kebaikan seluruh kucing betina liar di seluruh dunia.”
“Seluruh dunia? Kau bercanda?”
“Hei, aku ini mantan kucing rumahan yang telah dipelihara oleh Nyonya Merry selama dua tahun dengan kondisi bersih.” Katanya dengan sedikit keangkuhan dengan menaikkan sedikit dagunya. Kantini pun bisa melihat dengan jelas kalung emasnya yang diberi gantungan bulat bertuliskan ‘HITAM’ dengan kilauan cemerlang. “Nyonyaku adalah seorang aktivis perempuan yang mengusung tinggi hak-hak perempuan di negeri dan dunia ini. Bila manusia punya emansipasi wanita, maka kita harus punya emansipasi betina.” Katanya dengan posisi demokratis dan percaya diri.
“Kau ingin menjadi presiden kucing atau bagaimana? Kau kebanyakan hidup bersama manusia yang senang bertengkar itu sih, jadi ucapanmu tidak normal di kalangan kucing. Dari apa yang kau bicarakan dari tadi saja aku tak mengerti.” Protes Kantini sambil menggeleng-gelengkan kepala, lalu menggaruk wajahnya dengan kaki kanan depannya.
“Meskipun otak-otak kita kecil, cobalah berpikir agar ada gunanya otak kecil dan kerdil itu. Tuhan membuatnya tidak sembarangan.” Ia mengatakan itu sambil menunjuk ke atas.
“Sudahlah biarkan aku pergi, aku ingin mencari makanan di gundukan sampah itu.”

“Aku baru saja ditinggal mati oleh Nyonya, dan dengan visiku tadi, cobalah mengerti dan bantu aku untuk menegakkan kucing-kucing betina yang ada di negara ini. Bila sudah berhasil kita akan memperbesar jaringan untuk menegakkan seluruh kucing betina di dunia dan bahkan seluruh hewan betina agar memiliki hak yang jelas.”
“Persetan omonganmu, jalani saja hidup sebagaimana berjalan, tak usah kau repot-repot ingin menjadi ‘seperti manusia’. Karena pada hakikatnya kita hanyalah kucing.” Ucap Kantini acuh tak acuh sambil melangkahkan kakinya ke gundukan sampah.
“Sadarkah kau, bahwa di setiap gang di komplek ini pasti ada satu atau dua kucing yang terlantar begitu saja tanpa makanan, dan juga tanpa pengetahuan di dunia yang keras ini. Bagaimana mau maju spesies kita kalau kerjaan kucing-kucing liar seperti kita hanya mengudek-udek sampah, atau mencuri ikan di atas meja makan, atau memohon-mohon kepada para manusia untuk sisa duri ikan atau tulang ayam bekas lendir mereka, dan atau hanya berkembang biak dengan cara kotor sepertimu tadi? Kita tidak akan pernah maju seperti manusia kalau seperti itu terus. Pikirkanlah itu!” jelas si Hitam lagi dengan intonasi yang ditinggikan. Tapi, Kantini yang masih mengudek sampah, tak sedikitpun menoleh. Tak lama ia berkata:
“Kau telah banyak dilahap dunia manusia yang sebenarnya kejam itu, kucing. Lihatlah dari berbagai sudut kehidupan mereka, jangan hanya sudut gemerlap dan berkilaunya saja. Bodoh! Menurutku, nikmati saja kehidupan kucing yang lebih logis dan rasional ini. Jangan ikuti jejak para setan terlihat itu.”
“Hei, dimanakah anak-anakmu sekarang? Mati kelaparan? Mati kekurangan asi? Mati kedinginan di rumah-rumah kosong? Mati kedinginan di bawah hujan badai? Atau mati terlindas truk atau sepeda anak kecil dengan perlahan hingga tubuhnya benyek di atas aspal panas? Hah? Tak sayangkah kau kepada anak-anakmu yang kecil dan mungil? Tak perlu milyaran bayi kucing mati dalam sehari lalu kita baru sadar dan menyesal di hari tua. Sekaranglah waktunya, kawan.” 
“Kusarankan kau untuk bersetubuh dahulu, baru kau berkomentar kepadaku.”
“Dasar jalang. Pelacur.”
___

Malam datang sangat cepat hari itu. Tak terasa dengan tidur pulas di taman yang dialasi rerumputan lembab dan bukan karpet hangat. Si Hitam masih memendam kesedihan yang dalam karena kematian Nyonya kemarin malam yang disebabkan oleh perampokan besar-besaran rumahnya. 

Nama sang Nyonya sudah sohor di sana-sini. Dulu ia adalah pelacur kelas kakap yang penyewanya hanyalah pejabat kelas kakap pula yang berhidung belang. Tapi usia menyadarkannya akan dunia setelah kematian, dan ia pun taubat untuk memperkuat para wanita yang sedang terpuruk harta dan mentalnya, khususnya wanita-wanita yang bekerja seperti kalong di kamar-kamar bau pemutih pakaian dengan seragam tanpa busana. 

Ia akan membawa mereka ke yayasan khusus wanita dan mengajari mereka menjahit, menyulam, memasak, bersih-bersih dan pelajaran-pelajaran dasar rumah tangga lainnya. Mereka juga akan dibina untuk menjadi wanita-wanita kreatif untuk membuat usaha sendiri. 

Tapi nasib berkata lain, kebaikannya mungkin terlahap oleh samudra dosanya. Malam itu Nyonya beserta pelayan dan pekerja di rumahnya digorok satu persatu dengan belati yang digenggam oleh laki-laki bertopeng maling. Syukurnya si Hitam bisa lari terbirit-birit dari rumah teror itu. 
Setelah meregangkan tubuh, ia merasa lapar dan haus. Sebenarnya ia sudah merasa lapar sejak siang tadi setelah menceramahi si pelacur Kantini yang telinganya sudah ditutup oleh setan dan otaknya telah digerogoti oleh arwah-arwah anaknya yang mati terlindas truk. Malas ia mengingatnya kembali. Tapi visinya masih teguh ia rasakan di hatinya, dengan tujuan untuk meneruskan apa yang telah Nyonya lakukan dalam versi kucing. 

Ia melewati sebuah restoran Padang yang di balik kacanya tersimpan berbagai macam lauk. Tanpa melihat ia sadar bahwa itu sangat lezat. Berniat masuk ke dalam, tapi urung karena seekor kucing jantan berbulu oranye menghalangi satu-satunya jalur yang ia miliki. Ia sedang memakan tulang lele bekas di sana, dan ia sadar ada yang memperhatikannya. “Kenapa kau memperhatikanku, cantik?” tanyanya sambil menggerogoti tulang duri tersebut. 
“Aku ingin lewat.” Balasanya dengan tak acuh.
“Wah, aku mengenal nada ini. Kau sedang berahi yah? Kemarilah agar aku layani, atau kau mau menunggu saja di gang yang gelap di sebelah restoran ini?”
“Pergilah, aku tak ingin melakukan hal apapun.” Setelah kalimat itu terlontar, sang jantan mengeong ganas, lalu mengeram ke arahnya. 

“Ayolah, aku sudah berpengalaman, jadi santai saja.”
“Bajingan, aku hanya ingin makan. Jadi jangan ganggu aku.” Keluhnya dengan posisi terpojok di depan restoran. Tak lama setelah itu, Hitam lebih memilih untuk lari, tapi si pejantan oranye mengikutinya di belakang dengan kecepatan tinggi. Hitam tak bisa lolos, malah ia membuat si pejantan liar itu beruntung telah membawanya ke gang gelap di samping restoran.
“Benarkan, kau memang sedang berahi.” Tanpa basa-basi, si pejantan menyergap si Hitam dan langsung mencari lubangnya untuk ditusuk. Mereka pun mengeong dan megerang bersama. Tapi apa yang dirasakan si Hitam sungguh berbeda. Kata-kata Kantini yang menyuruhnya untuk mencoba bersetubuh terbukti sekarang. Sialan, pikirnya. Memang ada rasa kenikmatan, karena ia pun belum pernah merasakannya selama dua tahun dipelihara oleh Nyonya. Tapi itu semua lenyap oleh kegelapan penyesalan yang menaungi hati teguhnya. 

Visinya harus tercapai, tapi jalannya seperti Nyonya Merry yang melewati masa-masa paceklik mental terlebih dahulu. Pemberontakan pun terjadi karena ia tak mau larut dalam kenikmatan sampah ini. Ia lepaskan kelamin pejantan itu, lalu berkata: “Mati kau, hidung belang!” tak sempat lari, si Hitam berhasil mencakar bokongnya dan memotong kelamin penyakitan si pejantan dengan lumuran darah yang menetes sepanjang ia berlari. Si Hitam merasa sesak ketika bernafas, ia terengah-engah lalu berkata: “Mungkin hanya dengan cara ini, para pejantan akan berhenti menyetubuhi para betina.”

Comments

Post a Comment

Popular Posts