Hidup Sampah!




Siang bolong di bawah terik yang menusuk.
  “Gila! Dunia apa neraka ini? Anjing!” keluh seorang supir angkutan umum dengan bibirnya yang melengos. Peluh yang mengucur di dahinya ia usap dengan handuk yang terbelit lepas di leher bagian belakangnya. Kutang putih dan celana pendeknya yang kusam menghiasi hari-hari peluhnya, dan ia selalu saja mengeluh.      “Mana macet panjang lagi. Sialan!”
  “Yah, Indonesia namanya juga, bang.” Balas seorang penumpang yang tepat duduk di kursi sebelahnya, berkacamata tebal dengan kemeja biru muda yang kuyup oleh peluhnya sendiri. “Sabar, bang. Sebentar lagi juga jalan.” Lanjutnya dengan sunggingan senyum yang sedikit kaku sejak pertama kali masuk ke dalam angkutan umum tersebut. Sejak naik, ia sudah mendengar banyak hal tidak penting yang dikeluhkan sang supir. Hingga kupingnya serasa dibakar oleh luapan api sang surya. Sambil meneguk air mineral yang sedari tadi diganggamnya lewat sedotan, sang supir mulai menginjakkan kakinya di atas pedal saat mobil di depannya bergerak perlahan. Sruput…sruuut…srt… hingga kesekian meneguk air hingga habis.
  “Yah, habis lagi.” Keluhnya kesekian kalinya.
     “Mau minuman saya, bang?” tawar sang penumpang berkacamata sambil menyodorkan sebotol air mineral.
   “Gak usah, mas.” Jawabnya keluh. Tak lama setelah menghabiskan cairan tubuh sang gelas plastik, sang supir membuang gelas bekas diminumnya ke luar jendela mobil dengan sembarang. Terjatuhlah gelas di atas aspal panas, lalu diinjak oleh ban sepeda motor, ban mobil, dan diinjak oleh kendaraan-kendaraan lainnya hingga tubuh si gelas penyok tak beraturan. Perlahan ia berpindah ke trotoar karena tertendang kaki-kaki penyebrang.
“Brengsek.” Keluh sang gelas plastik dengan muka kusam sambil menatap jengkel ke sekitarnya.
___
“Hidup memang terkadang melelahkan, kawan.” Seru seekor kucing berbulu hitam yang sedang berbaring sambil bermanja menutupkan mata indah yang berwarna hijau di bawah pohon rindang di atas trotoar kepada gelas plastik yang teronggok penyok. Lalu ia terbangun ketika sang gelas plastik mengeluh.
“Tahu apa kau tentang hidup?” hentak sang gelas plastik.
“Hidup itu indah bila kita berpikir indah. Tapi hidup akan menjadi sulit bila kesulitan itu sudah bersarang bahkan beranak-pinak di kepalamu.” Jawab sang kucing sambil tersenyum. Sang gelas plastik acuh tak acuh kepadanya. Tapi apa yang dikatakan sang kucing memang benar, pikirnya. “Itu hanya pendapatku, kok. Bagaimana pendapatmu tentang hidup, wahai gelas plastik?”
“Dibuang. Tak berguna. Menyusahkan.” Celetuknya tak acuh.
“Yang kau jelaskan tadi, hidup atau privasimu?” Tanya sang kucing lagi dengan senyum manis kepada cemberut gelas plastik.
“Kau membuatku tambah pusing. Diamlah!” gertaknya kepada sang kucing.
“Hei gelas plastik, yang kau jelaskan tadi adalah dirimu, bukan hidupmu. Tuhan tak sembarang membuat hidup ini. Jadi jangan sekali-kali kau menghina hidup ini. Dan aku sarankan agar kau juga tidak menghina dirimu sendiri. Setiap yang diciptakan-Nya mempunyai kelebihan. Kau perlu tahu itu.” Jelas sang kucing dengan wajah menatap saksama kepada sang gelas plastik.
“Peduli setan dengan apa yang kau jelaskan! Aku ingin diam, jadi tolong jangan banyak menggurui. Aku tidak akan mengganggumu, aku janji.” Keluh sang gelas plastik jengkel kepada kucing yang banyak bicara itu.
“Baiklah, terserah kau, gelas plastik. Tapi aku ingin bertanya satu pertanyaan terakhir. Lalu aku tidak akan bertanya lagi dan pergi jauh tanpa mengganggumu.”
“Baik. Cepat agar aku bisa diam.”
“Apa tujuan hidupmu?” tanyanya singkat.
“Dibuang.”
“Percayalah bahwa kau berguna…”
“Diam! Kita sudah sepakat bahwa kau hanya mengajukan satu pertanyaan, lalu kau pergi tanpa menggangguku. Jadi pergilah tanpa nasihat-nasihat sintingmu. Pergi!” hentak sang gelas pelastik kepada sang kucing yang hanya geleng-geleng kepala. Tak lama, sang kucing pergi dari trotoar di bawah pohon rindang itu. Ia menjauh sampai tak terlihat lagi wujudnya.
___
Di dalam sebuah kardus yang dibagi menjadi dua sisi yaitu atas dan bawah, berjejer gelas-gelas plastik dengan isi air mineral. Mereka berbaris dengan tegap dan gagah. Beberapa dari mereka berdiri dengan tubuh di bawah dan kepala di atas. Dan beberapa lainnya menopang tubuhnya dengan kepala. Sang gelas plastik tepat berdiri di pojok kardus dengan tubuh menopang kepala. Ia tersenyum kepada yang lain karena hal baru akan ia temui.
“Hei, hari ini sangat menyenangkan. Kita semua akan dibeli, lalu kita akan bertemu manusia yang akan meminum isi tubuh kita.” Katanya dengan sumringah lebar seperti matahari terbit.
“Jangan terlalu percaya diri, nak. Kau anak baru yah?” Tanya gelas plastik lainnya yang menopang tubuhnya dengan kepala tepat di tengah kardus.
“Mengapa begitu?” Tanya sang gelas plastik.
“Karena hidup kita tergantung dua pilihan. Yang pertama kita dapat didaurulang setelah isi tubuh kita habis oleh manusia. Dan yang kedua dibuang tak berdaya di jalanan, selokan, sungai kumuh, gunungan sampah, atau dimanapun kita teronggok nantinya.” Jelas sang gelas plastik yang terbalik itu. “Aku sudah banyak mendengar kabar dan cerita menggembirakan di pabrik mengenai hidup kita dari gelas-gelas plastik lainnya yang berhasil didaurulang. Mereka juga menceritakan teman-temannya yang gugur menjadi sampah. Perbandingan antara yang menjadi sampah dan yang didaurulang pun tak seimbang, lebih banyak dari mereka yang menjadi sampah karena kelalaian manusia. Terbuang dan tak terselamatkan. Hidup dalam diam, kumuh, dan menjadi sampah yang sebenar-benarnya. Tapi beruntunglah mereka yang bisa didaurulang lalu bekerja sebagai gelas plastik yang berguna lagi. Menjadi berguna memang sulit.” Lanjutnya dengan raut wajah yang berubah-ubah, di kala ia membicarakan mereka yang menjadi sampah, wajahnya layu. Ketika membicarakan mereka yang didaurulang, senyumnya melebar. Sang gelas plastik termenung dengan apa yang dibicarakan gelas plastik lainnya tersebut. Murung mulai datang dengan sampah yang menerawangi pikirannya. Kata-kata ‘menjadi berguna itu sulit’ mulai menghantui senyum sumringahnya beberapa menit yang lalu, dan mengubahnya menjadi wajah kebingungan. Masih dalam renungan tersebut, kardus pun terbuka. Sebagian dari mereka ditaruh di dalam kotak pendingin, termasuk sang gelas plastik, dan sebagiannya ditumpuk di atas meja. Mereka diperdagangkan.
___
Di siang bolong tersebut, sang supir mengerem mobil angkutan umumnya di depan sebuah warung kecil di pinggiran jalan.
“Mpok, air gelas dingin satu, sama kreteknya sebungkus.” Serunya kepada seorang perempuan sebaya yang mengenakan daster berbunga.
“Jangan ngutang lagi, lu.” Jawabnya dengan sebal.
“Iyeh.” Sahut sang supir sambil memberikannya uang lewat kaca kiri mobil. Lalu mengambil segelas air mineral dingin dan sebungkus rokok kretek. “Makasih, mpok.” Tanpa mendengarkan balasannya, sang supir menyalakan mobilnya lalu pergi. Ia menusuk sedotan di atas kepala sang gelas plastik sambil menyetir, lalu menyedot isi tubuhnya. Sang gelas plastik masih termenung. Lelaki dengan kacamata tebal berdiri di samping jalan, lalu menggelayutkan tangan kanannya untuk memberhentikan mobil sang supir. Mobil berhenti, ia naik, dan sang gelas plastik mulai menggila.
“Sampah atau daurulang?” bisik sang gelas plastik kepada dirinya sendiri dengan mata terbelalak dan tubuh gemetar tanpa disadari oleh sang supir yang menggenggamnya.
___
“Aku sampah! Aku tidak akan didaurulang lalu menjadi gelas yang berguna lagi. Keparat! Keparat kau manusia yang membuangku. Jika saja aku bisa membalasnya, aku akan buang kau ke neraka. Kau mengahancurkan hidupku. Bajingan!” gerutu sang gelas plastik di trotoar tanpa ada yang mendengarkan. Tebalnya debu jalanan terus menyelimuti tubuh plastiknya. Berkali-kali diinjak. Berkali-kali dilindas. Tanpa ada yang menghiraukan dan menyadari keberadaannya. Ia benar-benar menjadi sampah.
Hujan pun turun. Membasahi tubuhnya yang kumuh. Tapi keadaan tidak bertambah baik. Cipratan-cipratan air dari kendaraan-kendaraan yang melaju membuatnya lebih menjadi sampah. Teronggok tak berdaya dan diam. Tak ada yang bisa ia lakukan selain diam. Tak ada pula harapan lagi dalam dirinya untuk bisa didaurulang. Pupus senyumnya di kardus. Pupus hidupnya untuk menemui hal baru. Dan apa yang dipikirkannya sekarang adalah ia sampah tak berguna, selamanya.

Cerita pendek ini telah dipulikasikan di Tabloid INSTITUT edisi L / September 2017.

Comments

Post a Comment