Fox 8: Permainan Bahasa dan Kritik Krisis Lingkungan
Membaca
beberapa karya George Saunders, meski belum bisa dibilang banyak, saya
menemukan keunikannya dalam membangun gaya bahasa yang pas—meski juga dengan
cara yang tidak biasa—kepada karakternya dan isu yang disampaikan. Ketika membaca
Lincoln in the Bardo, ia bermain-main di ranah naratif, melakukan
eksperimen pada permainan sudut pandang, gaya dialog, memori, dan pengutipan
sumber guna menggiring isu kematian menjadi sebuah novel dengan suara-suara
arwah yang bising dan bingung sekaligus penuh harmoni dan jenaka.
Fox
8
membawakan eksperimen yang hampir serupa untuk pembaca yang saya kira lebih
universal, khususnya untuk anak-anak. Cerita akan dibawakan oleh seekor rubah bernama
Fox 8 dengan berbagai macam keluguannya ketika ia mulai mempelajari bahasa
manusia dan bagaimana sifat anak kecil yang ada di dalam dirinya seketika
berubah saat menyadari bahwa manusia bisa melakukan hal-hal yang tidak pernah
ia pikirkan sebelumnya.
Tokoh
Fox 8, yang sering sekali salah dalam mengutarakan kata karena baru belajar
bahasa, mengingatkan saya pada tokoh Willie Lincoln di Lincoln in the Bardo.
Ketika Willie yang masih anak-anak wafat dan masuk ke Bardo—alam transisi para
arwah sebelum ke fase kematian berikutnya—ia tak tahu-menahu tempat macam apa
itu dan apa yang semestinya diperbuat; yang ia tahu hanyalah ia ingin pulang
untuk bertemu ayah dan ibunya.
Fox
8 pun tak tahu-menahu soal manusia ketika pertama kali belajar bahasa dari kesehariannya
mendengarkan seorang Ibu yang sering mendongengkan anaknya saat hendak tidur; ia
juga melihat sang ibu mencium buah hatinya sebelum mematikan lampu dan keluar
kamar, memberinya anggapan bahwa manusia itu penuh dengan rasa cinta dan “…hope
full for the future of Erth!”.
Dari
dua tulisan tersebut, saya melihat bahwa Saunders gemar memakai tokoh
berkarakter anak-anak untuk menghadirkan sudut pandang yang mula-mula lugu akan
dunia dan manusia, kemudian menjungkirbalikkan perspektif itu ketika tokoh-tokoh
tersebut melihat dan merasakan berbagai macam ironi dari realita dengan
manusia-manusia di dalamnya yang tidak jarang bersikap kejam nan sembrono, juga
lucu—dan dibalut penuh satire—di tengah kesengsaraan yang mereka perbuat.
Selain
membuat novela ini begitu jenaka dan penuh sindiran, salah eja yang kerap
dilakukan oleh Fox 8 ketika menarasikan cerita juga menandakan keluguannya,
membatasi penggunaan bahasa sampai ke tahap yang sederhana guna menekankan
tokoh kekanak-kanakkannya. Di balik kesederhanaan ini juga terdapat kepolosan
anak kecil yang mempertanyakan dan mengomentari banyak hal mendasar—kebanyakan
tentang manusia dan kemanusiaan—yang sebenarnya bisa kita bisa respon dengan
mudah namun akan sulit dijelaskan secara blak-blakan. Bagaimanapun, sikapnya
yang seperti ini secara bertahap berubah, diikuti pula dengan penggunaan
kata-kata yang mulai terasa sinis dan waspada.
Perubahan
ini dimulai ketika kemampuan berbahasa manusia yang ia pelajari membantu
kawanannya untuk membaca sebuah plang bertuliskan “Coming soon, FoxViewCommons”
yang tertancap tak jauh dari hutan. Tak lama berselang, hutan tempat tinggalnya
dan saudara-saudaranya lenyap digantikan mal dan lahan parkir, mereka
kehilangan sumber makanan lalu menderita kelaparan, sahabatnya mati karena
kekejaman manusia ketika mereka mencari makanan di mal, kemudian ia kehilangan
seluruh keluarganya. Sejak rentetan peristiwa tragis ini terjadi, sikap lugunya
mulai diselimuti pertanyaan-pertanyaan reflektif yang mengetuk kemudian menampar
kita sebagai manusia seperti “Why did the Curator do it so rong, makin the
groop with the gratest skils the meenest?”
Kritik
mengenai deforestasi atas dalih kemajuan peradaban manusia memang bukan hal
asing dalam sastra dan media penceritaan lainnya, khususnya di zaman sekarang
ini ketika krisis iklim sudah gencar dikampanyekan dan hak-hak alam sedang
terus-menerus diperjuangkan (meski pengaruhnya masih memprihatinkan). Meskipun
begitu, Fox 8 menawarkan pembacaan yang cukup unik, khususnya kepada
anak-anak, dalam melihat realita kondisi alam saat ini.
Sikap
kritis dan realistis terhadap keadaan sekitar jadi salah satu jiwa utama cerita
Fox 8. Contohnya hadir ketika sang tokoh utama masih memberi kesempatan
kepada manusia dan percaya bahwa mereka itu baik meski berbagai kejahatan telah
dilakukan kepada dirinya dan keluarganya; bahkan ia sering melamunkan dirinya
menjadi bagian dari manusia seperti memakai pakaian, bersekolah, dan
mempertanyakan apakah ia dan kawanannya juga bisa membuat mal. Namun, ia
dihadapkan langsung dengan kenyataan pelik ihwal manusia.
Setelah
melewati berbagai macam tragedi dan akhirnya dipertemukan dengan keluarga baru,
ia mulai berperilaku kritis dan sinis kepada perbuatan-perbuatan manusia ketika
dekat dengannya dan kawanannya, kemudian memberi jarak dengan apa pun yang
berbau peradaban. Narasi yang tadinya bernada cerah berubah jadi suram. Bahasa
yang tadinya kekanak-kanakkan bertransformasi menjadi lebih penuh kekhawatiran
dan bernada geram. Kepercayaannya pada manusia pupus, dan hal inilah yang
menjadi alasan mengapa ia menuliskan cerita ini.
Novela
ini ternyata berbentuk surat—saya juga baru menyadarinya di akhir cerita, mempertanyakan
alasan manusia di balik kekejiannya kepada alam, dan Fox 8 ingin manusia
menjawabnya, ingin kita menjawabnya. Cerita ini tidak berakhir baik-baik saja,
tidak seperti akhir dongeng-dongeng yang sang rubah dengar dari manusia. Di
akhir cerita, ia akan menampar kita lagi dengan ucapan “If you want your Storys
to end happy, try being niser.”
Comments
Post a Comment