John Doe
Study for a Portrait (Francis Bacon, 1952) |
Thomas Ligotti
Di dalam sebuah rumah elok yang dekat dengan penjara di kota Nolgate yang indah, Dr. Munck sedang membaca koran tatkala istri mudanya bersantai di sofa sembari membuka-buka lembar warna-warni sebuah majalah mode. Anak mereka, Darla, sedang tidur di lantai atas, atau mungkin sedang diam-diam menonton program tengah malam di televisi barunya yang ia dapat pada hari ulang tahunnya minggu lalu. Jika itu yang ia lakukan, perbuatannya tak diketahui orang tuanya di ruang tamu, di mana segalanya begitu sunyi, baik siang maupun malam. Seluruh wilayah Nolgate memang sunyi, karena tidak banyak orang beraktivitas di malam hari, kecuali di bar tempat para sipir penjara berkerumun. Sunyi senyap seperti itu membuat istri sang dokter gelisah dengan kehidupannya di daerah yang terasa jauh sekali dari kota besar terdekat. Tapi sejauh ini Leslie tidak mengeluhkan masalah tersebut. Ia tahu suaminya cukup berdedikasi kepada pekerjaan barunya di tempat yang baru mereka tinggali ini. Mungkin malam ini sang dokter akan lebih terbuka terhadap bibit-bibit kekecewaan dari pekerjaannya yang telah ia perhatikan beberapa waktu belakangan.
“Bagaimana kerjamu hari ini, David?” tanya Leslie. Matanya yang berseri mengintip dari balik majalah. Sementara sepasang mata yang lain memancarkan tatapan mengilap. “Kamu tidak banyak bicara saat makan malam.”
“Seperti biasa,” jawab Dr. Munck tanpa berpaling dari koran lokalnya.
“Jadi, kamu tidak mau membicarakannya?”
Ia lipat koran itu ke belakang, bagian atas tubuhnya pun terlihat. “Kedengarannya begitu, ya?”
“Ya, kedengarannya begitu. Kamu baik-baik saja?” tanya Leslie sambil menaruh majalah di atas meja agar ia bisa mendengarkannya.
“Sangat bimbang, begitulah keadaanku sekarang.” Ia mengatakannya sambil termenung. Leslie pun melihat kesempatan untuk menggali lebih dalam.
“Memang apa yang membuatmu bimbang?”
“Segala hal membuatku bimbang.”
“Mau kubuatkan minuman?”
“Boleh. Terima kasih.”
Leslie melangkah ke sisi lain ruang tamu, lalu mengambil beberapa botol dan gelas dari sebuah lemari kaca besar. Dari dapur, ia membawa persediaan es batu di dalam ember plastik berwarna cokelat. Di tengah senyapnya ruang tamu, yang terdengar hanyalah suara Leslie membuat minuman. Setiap helai gorden telah tertutup kecuali satu yang menggantung di pojok di mana patung Afrodit berdiri. Di sisi lain jendela itu terlihat jalan lengang yang diterangi lampu dan sepotong rembulan di balik dedaunan lebat pohon-pohon musim semi.
“Sudah siap. Segelas minuman untuk sayangku yang sudah bekerja keras,” ucap Leslie sambil memberi suaminya gelas dengan dasar berwarna pekat yang menipis ke permukaan.
“Terima kasih. Aku memang butuh ini.”
“Ada apa? Ada masalah di rumah sakit?”
“Tolong jangan sebut tempat itu rumah sakit. Kamu tahu betul kalau tempat itu penjara.”
“Ya. Aku tahu.”
“Kamu boleh kok sesekali mengucapkan kata penjara.”
“Oke kalau begitu. Bagaimana pekerjaanmu di penjara, sayang? Apa bosmu menyebalkan? Apa para tahanan bertingkah?”
Leslie membenarkan perkataannya sebelum percakapan mereka beralih menjadi perselisihan. Ia teguk minumannya dalam-dalam lalu menenangkan diri. “Maaf kalau aku menyindirmu, David.”
“Tidak apa-apa. Aku mengerti. Akulah yang melampiaskan amarah padamu. Kamu pun sepertinya sudah tahu ada sesuatu yang sedang membuatku resah.”
“Yaitu?”
“Mungkin pindah ke sini dan mengemban misi suci seorang psikolog bukanlah keputusan yang paling tepat.”
Ucapan suaminya menandakan suasana hati yang bahkan lebih buruk dari yang Leslie pikirkan. Tapi entah bagaimana kata-katanya tidak membuat Leslie senang seperti yang ia harapkan. Dari jauh ia bisa mendengar sebuah mobil van berhenti dekat rumah, tapi suara itu tak lagi terdengar.
“Kamu sendiri, ‘kan, yang bilang ingin merawat lebih dari sekadar gangguan jiwa perkotaan. Melakukan sesuatu yang lebih bermakna, lebih menantang.”
“Secara masokhistik, apa yang kuinginkan adalah pekerjaan yang menyusahkan, pekerjaan yang mustahil dikerjakan. Dan aku mendapatkannya.”
“Benar-benar seburuk itu, ya?” tanya Leslie yang terkejut sendiri dengan pertanyaan skeptisnya mengenai betapa pelik situasi yang sebenarnya. Ia jadi senang karena lebih memprioritaskan harga diri David daripada keinginannya untuk pindah, meski ia rasa hal itu juga penting.
“Sayangnya, ya, seburuk itu. Saat kali pertama berkunjung ke unit psikiatri penjara dan bertemu beberapa dokter, aku berjanji tidak akan menjadi sinis dan putus asa seperti mereka. Aku akan melakukan perubahan. Tapi aku terlalu angkuh. Hari ini, salah satu perawat dikeroyok dua tahanan—maaf, maksudnya ‘pasien’. Minggu lalu Dr. Valdman. Itulah alasan mengapa aku sangat gelisah di hari ulang tahun Darla. Sejauh ini aku masih beruntung. Paling-paling mereka hanya meludahiku. Aku harap mereka akan membusuk di lubang neraka itu.”
David merasa kata-katanya menguar berpadu dengan udara ruang tamu, menodai ketenteraman rumah. Sampai saat itu, rumah mereka adalah suaka yang tak tersentuh kontaminasi penjara, benteng yang dibangun di luar batar-batas kota. Tapi sekarang, gangguan tak kasat mata dari sana telah melampaui batas-batas jarak fisik. Batas sukmanya menyempit, dan David merasakan tembok-tembok raksasa penjara sedang membayang-bayangi lingkungan luar rumahnya yang nyaman.
“Kamu tahu kenapa aku pulang larut malam ini?” tanyanya pada sang istri.
“Tidak. Memang kenapa?”
“Karena aku berbincang sangat lama dengan seseorang yang tidak punya nama.”
“Yang kamu bilang tidak ingin memberi tahu siapa pun dari mana asalnya dan siapa nama aslinya?”
“Ya, dialah orangnya. Ia adalah contoh luar biasa dari keji dan merusaknya tempat itu. Ialah keindahan yang sebenarnya. Fenomena langka. Perpaduan dari kegilaan absolut dan kecerdikan tingkat tinggi. Karena bertingkah dengan tidak pernah mengakui nama aslinya, ia dikategorikan tidak layak untuk masuk ke penjara umum, jadi kami di unit psikiatrilah yang mengurusnya. Menurutnya, ia punya banyak nama, sekitar seribu, tapi ia tidak ingin merendahkan dirinya dengan menyebut satu nama pun kepada siapa saja. Sukar membayangkannya memiliki nama seperti orang lain. Dan kami terpenjara bersamanya, si tanpa nama itu.”
“Kamu memanggilnya ‘si tanpa nama’?”
“Mungkin seharusnya begitu. Tapi tidak, kami tidak memanggilnya dengan sebutan itu.”
“Jadi, bagaimana kamu memanggilnya?”
“Ia terdaftar dengan nama John Doe, dan sejak itu semua orang memanggilnya demikian. Tapi belum ada yang berhasil menemukan dokumen resmi tentangnya. Seolah-olah ia jatuh dari langit begitu saja. Sidik jarinya tidak terdeteksi di catatan criminal mana pun. Ia tertangkap di mobil curian yang terparkir di depan area sekolah dasar. Seorang tetangga yang peka melaporkannya sebagai sosok mencurigakan yang sering terlihat di wilayah tersebut. Mungkin semua orang jadi waspada setelah beberapa anak hilang dari sekolah itu, dan polisi memergokinya saat ia mengajak korban baru ke mobilnya. Saat itulah mereka menangkapnya. Tapi versi ceritanya sedikit berbeda. Katanya ia sangat sadar akan keberadaan orang-orang yang mengejarnya dan ingin—bahkan berharap—ditangkap, ditahan, kemudian dimasukkan ke penjara.”
“Kenapa begitu?”
“Kenapa? Siapa juga yang tahu? Ketika kamu meminta seorang psikopat untuk menjelaskan soal dirinya, jawabannya hanya akan membuatmu tambah kacau. Dan John Doe adalah wujud dari sebuah kekacauan.”
“Maksudnya?” tanya Leslie. Suaminya terbahak sesaat, kemudian jatuh termenung, seakan-akan sedang mempertimbangkan kata-kata yang tepat untuk diucapkan.
“Oke, akan kuceritakan secuplik adegan dari wawancaraku dengannya hari ini. Aku bertanya apakah ia tahu alasan dirinya dimasukkan ke penjara.”
“‘Karena bersenang-senang,’ jawabnya.
“‘Apa maksudmu?’ tanyaku lagi.
“Jawabannya seperti ini: ‘Apa maksudmu, apa maksudku, maksudmu, maksudku, maksudmu, maksudku. Anda banyak tanya, ya.’
“Entah bagaimana, celoteh kekanak-kanakkannya terdengar seolah-olah ia menirukan korban-korbannya. Aku sudah merasa terganggu saat itu, tapi bodohnya kuteruskan wawancara tersebut.
“‘Apa kau tahu mengapa kau tidak bisa keluar dari sini?’ tanyaku dengan tenang, dengan versi lemah lembut dari pertanyaanku yang sebenarnya.
“‘Kata siapa aku tidak bisa keluar? Aku akan pergi sesuka hatiku. Tapi aku belum ingin pergi saja.’
“‘Kenapa belum?’ tanyaku lagi sewajarnya.
“‘Aku, ‘kan, baru sampai,’ ucapnya. ‘Sepertinya aku akan libur dulu. Terkadang, bersenang-senang dengan caraku bisa melelahkan. Aku juga ingin bertemu yang lain. Semoga suasana di sini dapat membangkitkan semangatku lagi. Kapan aku bisa bertemu mereka, kapan?’
“Kamu dengar ucapannya barusan? Kejam sekali jika memasukkannya ke penjara umum, dan bukan berarti ia tidak pantas menerima kekejaman semacam itu. Tahanan biasa tidak suka akan tindak kriminal yang John Doe perbuat. Mereka melihatnya sebagai cerminan buruk, karena mereka hanyalah penjahat biasa seperti pencuri bersenjata, pembunuh, dan sejenisnya. Semua orang ingin merasa lebih baik dari orang lain. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika kami memasukkannya ke sana, kemudian tahanan lain tahu apa yang telah ia lakukan.”
“Jadi, ia harus tinggal di unit psikiatri selama masa tahanannya?” tanya Leslie.
“Ia tidak berpikir demikian. Baginya, dijebloskan ke lapas dengan keamanan tingkat tinggi adalah liburan, ingat, ‘kan? Ia pikir dirinya bisa kabur kapan pun ia mau.”
“Benar-benar bisa?” tanya Leslie yang terdengar kehilangan daya kelakarnya saat bicara. Inilah salah satu hal yang paling ia takutkan dari tinggal di wilayah penjara—bahwa tak jauh dari halaman belakang mereka, segerombol kriminal sedang bersekongkol untuk kabur lewat tembok-tembok yang—menurut angan-angannya—tipis nan rapuh. Selain pekerjaan suaminya, ia juga paling tidak setuju untuk membesarkan anak mereka di lingkungan seperti itu.
“Aku sudah pernah bilang, ‘kan, Leslie, kalau ada beberapa tahanan yang berhasil kabur dari penjara itu. Jika seorang tahanan sukses melakukannya, instingnya akan selalu terlebih dulu mendorongnya untuk menyelamatkan diri dengan cara yang mudah. Jadi, ia akan berusaha lari sejauh mungkin dari kota ini, yang barangkali malah menjadi tempat paling aman saat melarikan diri. Tapi kebanyakan yang kabur akan tertangkap hanya dalam beberapa jam setelah mereka lari dari penjara.”
“Bagaimana dengan tahanan seperti John Doe? Apakah ia akan terdorong untuk ‘menyelamatkan diri dengan cara yang mudah’, atau malah memilih untuk menghabiskan waktu dan melakukan apa yang biasa ia lakukan di mana pun sesuka hatinya?”
“Tahanan sepertinya tidak melarikan diri dengan cara biasa. Mereka hanya berhasrat untuk melakukannya, tapi tidak sampai melompati tembok-tembok penjara. Mengerti, ‘kan, maksudku?”
Leslie menjawab kalau ia paham, tapi bukan berarti rasa takutnya berkurang, dan ketakutan-ketakutan itu berasal dari penjara imajiner yang berada di sebuah kota imajiner, di mana semua hal mengerikan bisa terjadi. Ia tidak pernah bisa mengendalikan ketakutannya, dan ia membenci sifatnya itu. David juga tampak gelisah karena masih memastikan apakah penjara benar-benar dijaga ketat. Sekarang ia duduk dalam diam, menggenggam gelas di antara kedua lututnya dan tampak seperti sedang mendengar sesuatu.
“Ada apa, David?” tanya Leslie.
“Sepertinya aku mendengar … suara.”
“Suara apa?”
“Aku juga tidak tahu. Terdengar dari jauh.”
Ia bangkit lalu mengecek sekitar, seolah-olah memastikan apakah suara itu meninggalkan petunjuk terlihat di sekeliling rumah yang masih sepi, mungkin sejenis jejak gelombang suara yang tertoreh di suatu tempat.
“Aku akan mengecek Darla,” katanya sambil menaruh gelasnya di atas meja di samping kursi. Lalu ia berjalan melewati ruang tamu, menaiki tiga ruas tangga, dan melangkah di koridor lantai dua. Ia mengintip ke dalam kamar Darla, melihat tubuh mungilnya sedang tertidur pulas, dan kedua tangan lunglai anak itu memeluk boneka Bambi. Meski sudah besar, sesekali ia masih tidur ditemani kawan tak bernyawa semacam itu. Tapi ayahnya yang seorang psikolog berhati-hati agar tidak menanyakan haknya untuk merasa nyaman dalam kebiasaan yang kekanak-kanakkan ini. Sebelum beranjak dari kamarnya, Dr. Munck menutup jendela yang setengah terbuka, memperlihatkan malam musim semi yang hangat.
Saat kembali ke ruang tamu, ia menyampaikan pesan rutin bahwa Darla sudah terlelap. Dengan gestur seakan-akan hendak pingsan karena merasa lega, Leslie membuat minuman lagi, dan setelahnya berkata:
“David, kamu bilang kamu ‘berbincang sangat lama’ dengan si John Doe itu. Bukannya aku penasaran atau semacamnya, tapi apa kamu pernah berhasil membuat dia terbuka soal dirinya? Apa pun itu?”
“Oh, tentu saja pernah,” jawab Dr. Munck yang sedang mengemut es batu. Sekarang suaranya terdengar lebih rileks.
“Bisa dibilang ia sangat terbuka denganku, tapi segala hal yang keluar dari mulutnya hanyalah omong kosong—ocehan seorang maniak. Dengan ekspresi penasaran, aku bertanya dari mana asalnya.”
“‘Tidak dari mana-mana,’ jawabnya seperti orang idiot.
“‘Tidak dari mana-mana?’ tanyaku memastikan.
“‘Ya, tepat sekali, Herr Doktor. Aku bukan orang angkuh yang pura-pura berasal dari wilayah tinggi nan megah secara geografis. Ge-og-ra-fi. Kata yang lucu. Aku suka semua bahasa kalian.’
“‘Di mana kau lahir?’ tanyaku lagi dengan bentuk brilian lain dari pertanyaan yang sama.
“‘Di tahun berapa aku lahir, maksudmu? Apa maksudmu, maksudku, maksudmu, maksudku?’ tanyanya balik padaku, dan begitu seterusnya. Aku bisa melanjutkan percakapan ini—”
“Aku mesti bilang, kamu menirukan John Doe dengan sangat baik.”
“Terima kasih, tapi aku tidak sanggup terus melakukannya. Sulit sekali menirukan ragam suara, aksen, dan tingkat artikulasinya yang berbeda-beda. Mungkin ia mengidap kepribadian ganda, tapi aku tidak begitu yakin. Aku harus mendengarkan lagi rekaman-rekaman wawancaraku dengannya untuk mengecek adakah pola yang saling berhubungan, sesuatu yang mungkin bisa digunakan para detektif untuk membuktikan siapa dia sebenarnya. Yang tragis adalah bahwa kami tahu identitas legal Doe hanyalah formalitas belaka, demi kelengkapan dokumen. Korban-korbannya telah mati, dan mereka mati secara mengenaskan. Itulah yang terpenting sekarang. Betul ia pernah menjadi anak kesayangan seseorang. Tapi aku tidak bisa lagi pura-pura peduli pada riwayat hidupnya—nama di akta kelahirannya, di mana ia tumbuh, apa yang menjadikannya seperti sekarang. Aku bukan ahli patologi. Dan aku tidak pernah berambisi mempelajari penyakit jiwa kecuali untuk menyembuhkan. Jadi, mengapa aku harus repot-repot menghabiskan waktu untuk menolong orang macam John Doe, yang hidup di dunia yang sepenuhnya berbeda dengan dunia kita, maksudnya secara psikologis. Dulu aku percaya pada proses rehabilitasi, yang dipraktikkan bukan hanya sebagai hukuman bagi orang bertindak-tanduk kriminal. Tapi orang-orang itu, makhluk-makhluk yang ada di penjara itu, tidak lebih dari noda menjijikkan yang mengotori dunia ini. Persetan mereka. Kubur saja mereka hidup-hidup agar jadi pupuk.” Dr. Munck meneguk habis minumannya sampai es batu di dalam gelas berbunyi.
“Mau lagi?” tanya Leslie dengan nada lembut menenangkan.
Kini David tersenyum, emosi yang meletup dan reaksioner cukup meredakan amarahnya. “Ya, ayo minum lagi sambil bersantai.”
Leslie mengambil gelas suaminya untuk diisi ulang. Ia pikir, barulah sekarang ada sesuatu yang mesti dirayakan. David menyerah pada pekerjaannya bukan karena merasa gagal, tapi karena marah, amarah yang mencair jadi sikap tak peduli. Kini segalanya akan kembali seperti semula; mereka bisa pergi dari kota penjara itu dan pindah ke rumah sebelumnya. Sebenarnya, mereka bisa pindah ke mana pun mereka suka, mungkin berlibur panjang terlebih dahulu, mengajak Darla ke tempat yang cerah. Leslie memikirkan semua ini sembari membuat dua minuman di tengah heningnya ruangan indah itu. Sunyi ini tak lagi menandakan kondisi stagnan yang senyap, tapi sebuah permulaan yang menenangkan dan menyenangkan dari hari-hari menjanjikan di masa mendatang. Berbarengan dengan alkohol, kebahagiaan abstrak akan masa depan berpijar di dalam dirinya, sampai-sampai ia bunting oleh sejumlah prediksi membahagiakan. Mungkin sekaranglah waktu yang tepat untuk punya anak lagi, adik kecil untuk Darla. Tapi itu bisa menunggu sedikit lebih lama … berbagai kemungkinan dalam hidup bisa terjadi di masa yang akan datang. Tampaknya, jin yang baik hati sedang siap siaga. Tinggal sebut apa yang mereka inginkan, permintaan pun akan dikabulkan.
Sebelum kembali membawakan minuman, Leslie beranjak ke dapur. Ia punya sesuatu untuk suaminya, dan sepertinya ini waktu yang tepat untuk memberikannya barang tersebut. Sebuah cendera mata kecil untuk menunjukkan kepada David bahwa meski telah bekerja keras dan hasilnya sia-sia, ia selalu mendukungnya dengan caranya sendiri. Sementara kedua tangannya menggenggam gelas, siku kirinya mengapit kotak kecil yang ia bawa dari dapur.
“Apa itu?” tanya David sambil mengambil gelasnya.
“Cuma hadiah kecil buatmu yang berjiwa seni. Tadi kubeli di toko kecil yang menjual barang-barang buatan para tahanan di penjara. Sebagainnya berkualitas—ikat pinggang, perhiasan, asbak, kamu pasti tahu.”
“Ya, aku tahu,” kata David, suaranya tak seantusias suara Leslie. “Tapi aku tidak tahu kalau ada yang pernah membeli barang-barang itu.”
“Aku beli. Dan kupikir, membeli berarti mendukung para tahanan yang melakukan hal kreatif, daripada … ya, daripada melakukan sesuatu yang sifatnya merusak.”
“Kreatifitas tidak selalu menandakan kebaikan, Leslie,” David memperingatkan istrinya.
“Lihatlah dulu sebelum menilai,” ucapnya sambil membuka tutup kotak itu. “Tuh—bagus, ‘kan?” Ia menaruh barang tersebut di atas meja.
Dr. Munck langsung terperanjat sadar dari mabuknya, yang biasanya hanya bisa dicapai dengan jatuh dari ketinggian. Ia mengamati objek itu. Tentu saja ia pernah melihatnya, menyaksikan sepasang tangan kreatif membuat dan mengelusnya dengan lemah lembut, sampai sang dokter merasa muak dan berhenti menyaksikannya. Objek itu adalah kepala seorang anak laki-laki, bagian indah yang dibuat dari tanah liat kelabu tak berbentuk dan terlapisi cat berwarna biru. Karya itu memancarkan keindahan yang menakjubkan dan intens, wajahnya menunjukkan semacam ekspresi yang begitu tenang, kesederhanaan kalut dari renungan seorang visioner.
“Jadi, bagaimana menurutmu?” tanya Leslie.
David menatap istrinya lalu berkata serius: “Tolong taruh kembali barang itu ke dalam kotak. Lalu buang.”
“Buang? Kenapa dibuang?”
“Kenapa? Karena aku tahu tahanan mana yang membuat objek itu. Ia bangga sekali dengan karyanya, bahkan aku terpaksa memuji keterampilannya. Tapi kemudian ia memberi tahuku sumber inspirasinya. Ekspresi yang tampak setentram langit biru itu tidak terpancar dari wajah si anak laki-laki ketika polisi menemukannya terkapar di sebuah tanah lapang sekitar enam bulan yang lalu.”
“Tidak mungkin, David,” bantah Leslie karena masih tidak percaya dengan apa yang diungkapkan suaminya.
“Itulah aksi ‘bersenang-senang’-nya yang paling mutakhir—dan menurutnya paling mengesankan.”
“Ya Tuhan,” bisik Leslie lirih sambil menempelkan tangan kanannya ke dahi. Kemudian dengan hati-hati kedua tangannya menaruh kembali kepala biru si bocah ke dalam kotak. “Akan kukembalikan ke toko,” ucapnya pelan.
“Kembalikan segera, Leslie. Aku tak tahu berapa lama lagi kita akan tinggal di sini.”
Dalam hening muram yang menyelimuti, Leslie sekejap membayangkan kepergian mereka dari kota Nolgate, yang barusan diutarakan suaminya. Lalu ia berkata: “David, apa ia pernah membicarakan hal-hal yang telah ia perbuat? Maksudku tentang—”
“Aku paham maksudmu. Ya, ia pernah membicarakan hal-hal itu,” jawab Dr. Munck dengan sikap profesional.
“Kasihan sekali kamu, David,” kata Leslie, yang karena sangat bersimpati tak lagi memerlukan akal bulusnya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
“Sebenarnya tidak seberat itu, meski aneh untuk dikatakan. Percakapan yang kami lakukan bisa disebut sebagai rangsangan dalam pengertian klinis. Ia menjelaskan aktivitas ‘bersenang-senang’-nya dengan cara yang sangat imajinatif dan cukup memikat. Unsur keindahan yang ganjil dari objek di dalam kotak ini—seberapa pun mengerikannya—agak menyerupai bahasa yang ia gunakan saat membahas anak-anak malang itu. Terkadang aku tidak bisa tidak terpukau, meski mungkin aku masih membentengi perasaanku yang sebenarnya dengan sikap objektif seorang psikolog. Adakalanya kamu harus menjaga jarak dengan kenyataan, meski konsekuensinya kamu jadi sedikit tidak manusiawi.
“Bagaimanapun, penjelasannya sama sekali tidak terdengar memuakkan seperti yang barangkali kamu bayangkan. Saat memberi tahuku soal aksi ‘bersenang-senangnya yang paling mengesankan’, ia bercerita dengan penuh rasa takjub dan nostalgia yang begitu kuat, betapa pun mengejutkan kedengarannya bagiku sekarang. Tampaknya ia merindukan rumah, meski ‘rumah’-nya adalah reruntuhan dari pikirannya yang membusuk. Penyakit kejiwaannya terbukti telah membiakkan negeri dongeng yang berpengaruh sangat kuat baginya. Dan terlepas dari besarnya jumlah nama yang ia miliki, ia malah melihat dirinya sebagai sosok kecil di dunia ini—sebagai pelayan biasa dalam kerajaan ajaib nan mengerikan yang sedang dilanda kehancuran. Sikap rendah hati semacam ini sangatlah menarik ketika mempertimbangkan banyaknya psikopat yang berperan sangat angkuh, sementara ruang lingkup imajiner orang-orang itu tidak terbatas, di mana mereka bisa memainkan peran imajiner apa pun sesuka hati. Tapi tidak dengan John Doe. Ia adalah makhluk setengah iblis pemalas yang datang dari Negeri Antah-Berantah di mana kekacauan adalah norma yang berlaku, dan di kondisi seperti itulah ia tumbuh dengan pesat dan rakus. Dan penjelasan ini hanyalah ringkasan metafisik dari semesta seorang penderita psikosis.
“Dalam semesta fantasinya, ada area geografis yang ia jabarkan secara sangat puitis. Ia menceritakan sebuah tempat yang terdengar seperti jagat raya rumah-rumah reyot dan jalan-jalan setapak penuh sampah, sebuah daerah kumuh di antara gemerlap bintang-bintang. Yang mungkin adalah versi menyimpang dari hidupnya selama tumbuh di lingkungan yang buruk—sebuah upaya untuk merombak memori traumatis masa kecilnya menjadi dunia yang menyatukan kerasnya realitas dengan semesta fantasi dari imajinasinya, perpaduan khayali dari surga dan neraka. Di semesta inilah ia ‘bersenang-senang’ dengan mereka yang ia sebut sebagai ‘teman-teman memesona’. Ada kemungkinan ia menculik korban-korbannya ke tempat macam gedung terlantar, atau bahkan saluran pembuangan. Aku mengatakan hal ini berdasarkan apa yang berulang kali ia sebut: ‘sungai limbah penuh gairah’ dan ‘reruntuhan tajam di balik bayang-bayang’, yang pasti merupakan istilah edan dari wilayah telantar sebenarnya, lingkungan kotor dan terasing yang pikirannya ubah menjadi taman hiburan berisi wahana-wahana ganjil. Yang lebih tidak masuk akal adalah memorinya tentang sebuah lorong bercahayakan rembulan di mana cermin-cermin menjerit dan tertawa, tentang puncak-puncak gunung gelap yang terus bergerak, tentang sebuah tangga yang ‘rusak’ dengan cara yang sangat aneh; meski begitu, memori terakhir sangat cocok dengan latar sebuah wilayah bobrok. Di dalam pikirannya selalu ada perpaduan paradoksikal dari kawasan telantar dan suaka yang cerah, nyaris menghipnotis—” Dr. Munck menahan dirinya sebelum melanjutkan rasa kagum yang enggan ia tunjukkan.
“Tapi terlepas dari semua latar khayali di dalam imajinasi Doe, bukti-bukti yang didapat dari aksi bersenang-senangnya tetap menunjukkan jenis tindak kriminal yang sangat lazim dan realistis. Bisa dibilang, apa yang ia lakukan hanyalah perbuatan kejam yang biasa saja. Doe menyangkal bahwa penganiayaan yang ia lakukan tidaklah menarik. Ia bilang dirinya sengaja meninggalkan bukti agar terlihat seperti itu di mata orang-orang bebal, dan yang ia maksud sebagai ‘bersenang-senang’ adalah jenis aktivitas yang berbeda, bahkan bertentangan, dengan tindak kriminal yang ia lakukan. Penjelasan ini mungkin punya keterikatan personal dengan masa lalunya.”
Dr. Munck berhenti sejenak dan memutar-mutarkan es batu di dalam gelasnya yang kosong. Leslie tampak hanyut saat suaminya bicara. Ia telah membakar sebatang rokok dan sekarang bersandar di atas lengan sofa, sementara kakinya di atas bantal sehingga lututnya menghadap ke arah suaminya.
“Kamu harus serius berhenti merokok,” ucapnya.
Leslie pun menunduk seperti seorang anak yang sedang diomeli. “Setelah kita pindah, aku janji berhenti merokok. Bagaimana?”
“Oke,” jawab David. “Dan aku punya satu usul lagi. Tapi sebelum itu, aku ingin bilang kalau aku sudah yakin untuk mengajukan pengunduran diri.”
“Secepat itu?” tanya Leslie, yang berharap sebaliknya.
“Percayalah, tidak ada yang akan kaget. Bahkan kupikir tak seorang pun akan peduli. Oh iya, usulku besok kita ajak Darla pergi dan menyewa penginapan di daerah utara selama beberapa hari. Kita bisa pergi menunggang kuda. Kamu ingat, ‘kan, ia suka sekali melakukannya musim panas lalu? Bagaimana menurutmu?”
“Kedengarannya bagus,” Leslie merasa senang dengan antusiasmenya. “Malah sangat bagus.”
“Dan saat pulang kita bisa menitipkan Darla di rumah orang tuamu. Ia bisa tinggal di sana sedangkan kita mengurus pindahan dari rumah ini, mungkin tinggal di apartemen untuk sementara waktu. Orang tuamu tidak akan keberatan, ‘kan, dititipkan Darla selama kurang lebih seminggu?”
“Tentu saja tidak, mereka pasti akan sangat senang. Tapi kenapa kamu begitu terburu-buru? Darla masih sekolah. Mungkin sebaiknya kita tunggu dulu sampai semester ini selesai. Sebulan lagi kok.”
David duduk termangu sejenak, seperti sedang menata pikirannya.
“Ada apa?” tanya Leslie dengan suara sedikit gemetar karena cemas.
“Sebenarnya tidak ada apa-apa, sama sekali tidak ada masalah. Tapi—”
“Tapi apa?”
“Hal ini berkaitan dengan penjara. Aku sadar kalau aku terdengar terlalu puas diri mengatakan betapa amannya kita dari tempat itu, dan aku bisa memastikan bahwa kita memang aman. Tapi si John Doe yang kuceritakan tadi sangatlah aneh, dan aku yakin kamu pun berpikir demikian. Ia memang psikopat pembunuh anak-anak … tapi … Aku benar-benar tidak tahu bagaimana menjelaskannya.”
Leslie menatap suaminya penuh tanya. “Bukannya kamu bilang tahanan sepertinya hanya berhasrat untuk kabur, tapi tidak—”
“Iya, sering kali ia memang begitu. Tapi kadang-kadang …”
“Apa yang sebenarnya kamu ingin katakan, David?” tanya Leslie yang terjangkiti gelisah karena suaminya mencoba menyembunyikan sesuatu.
“Doe mengatakan sesuatu saat mengobrol denganku hari ini. Tidak ada yang penting. Tapi aku akan sangat-sangat merasa lega dari semua hal ini jika Darla tinggal bersama orang tuamu sampai kita selesai mengurus segalanya di sini.”
Leslie membakar sebatang rokok lagi. “Ceritakan padaku apa yang ia katakan sampai membuatmu sangat gelisah,” ucapnya serius. “Aku juga perlu tahu.”
“Saat kuceritakan, kamu mungkin akan berpikir kalau aku sudah gila. Tapi kamu tidak bicara dengannya, akulah yang bicara dengannya. Perangainya saat bicara, atau lebih tepatnya bermacam-macam perangai yang ia tunjukkan saat bicara. Ekspresi yang berubah-ubah dari wajahnya yang tirus. Hampir setiap kali kami mengobrol, aku merasa ia bermain-main di luar pemahamanku. Meski kuyakin kelihatannya saja begitu. Ini adalah taktik yang biasa digunakan seorang psikopat—mengusik dokter. Taktik ini membuatnya merasa lebih berkuasa.”
“Ceritakan padaku apa yang ia katakan,” desak Leslie.
“Baiklah, akan kuceritakan. Tapi menurutku kita tidak perlu menganggapnya serius. Menjelang akhir wawancara hari ini, saat kami membicarakan anak-anak itu, ia mengatakan sesuatu yang sangat aku tidak suka. Ia mengucapkan kata-katanya dengan salah satu aksen yang dibuat-buat, kali ini dengan aksen Skotlandia yang sedikit dibumbui logat Jerman. Apa yang ia katakan, dan aku mengutipnya persis kata demi kata, adalah: ‘Anda tidak kebetulan punya anak darra yang berperilaku buruk, ‘kan, Profesor von Munck?’ Lalu ia menyeringai padaku dalam diam.
“Sekarang aku yakin ia sengaja mengolok-olokku. Tidak lebih dari itu.”
“Tapi, apa yang ia katakan, David: ‘anak darra’.”
“Secara bahasa, kata itu memang seharusnya dilafalkan ‘dara’ dan bukan ‘darra’, tapi aku yakin itu bukanlah apa-apa kecuali salah ucap.”
“Kamu tidak menyebut satu hal pun tentang Darla, ‘kan?”
“Tentu saja tidak. Hal semacam itu tidak mungkin aku bicarakan dengan orang-orang seperti mereka.”
“Tapi mengapa ia mengucapkannya seperti itu?”
“Aku juga tidak tahu. Ia memiliki kecerdasan yang tidak biasa, sering mengutarakan pernyataan ambigu dan lelucon yang sulit dimengerti. Barangkali ia mendengar beberapa hal tentangku dari seorang staf. Kemungkinan besar ucapannya hanya kebetulan belaka.” Ia menunggu respons istrinya.
“Mungkin kamu benar,” dengan perasaan campur aduk, Leslie memilih percaya pada kesimpulan ini. “Terlepas dari ucapannya, kupikir aku mengerti kenapa kamu mau Darla tinggal bersama orang tuaku. Tentu bukan karena sesuatu bisa terjadi—”
“Tentu saja bukan karena itu. Kita tidak perlu berpikir aneh-aneh. Ini adalah contoh seorang dokter diintimidasi pasiennya, tapi aku sudah tidak peduli lagi. Siapa pun yang berakal sehat juga akan sedikit merasa ngeri setelah menghabiskan hari demi hari di tengah hiruk pikuk dan bahaya fisik yang sering terjadi di tempat itu. Para pembunuh, pemerkosa, sampah dari semua sampah masyarakat. Mustahil hidup normal selama bekerja dengan kondisi seperti itu. Kamu juga lihat bagaimana sikapku saat ulang tahun Darla.”
“Aku tahu. Memang bukan tempat yang cocok untuk membesarkan anak.”
David mengangguk pelan. “Saat tadi aku mengeceknya di kamar, entah kenapa aku merasa rentan. Ia sedang memeluk salah satu boneka penjaganya.” David menyesap minumannya. “Aku baru sadar, itu boneka baru, ya? Apa kamu membelinya saat belanja hari ini?”
Tatapan Leslie menjadi kosong. “Satu-satunya yang kubeli hanya itu,” ucapnya, jarinya menunjuk ke kotak di atas meja. “‘Boneka baru’ apa yang kamu maksud?”
“Boneka Bambi. Mungkin ia sudah punya boneka itu dan aku baru sadar saja,” katanya berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Kalau memang ia sudah punya boneka itu, bukan aku yang memberikannya,” ucap Leslie dengan cukup tegas.
“Bukan aku juga.”
“Aku tidak ingat ia memeluk boneka saat mengantarnya tidur,” kata Leslie.
“Tapi aku melihatnya memeluk boneka itu saat mengecek kamarnya setelah mendengar …”
David terdiam. Dari ekspresi wajahnya, ia tampak merenungkan ribuan kemungkinan sekaligus, seolah-olah sedang menggeledah dengan kalut setiap sel di dalam otaknya.
“Ada apa, David?” tanya Leslie, suaranya melemah.
“Aku tidak yakin. Sekan-akan aku tahu dan tidak tahu dalam waktu bersamaan.”
Tapi Dr. Munck mulai paham. Dengan tangan kiri, ia menutupi dan menghangatkan tengkuknya. Apa ada semilir angin yang berembus dari ruangan lain? Rumah mereka bukanlah rumah yang sejuk berangin, bukan pula pondokan reyot dengan tembok berlubang di mana angin bertiup dari papan-papan loteng kuno dan kosen-kosen jendela yang melengkung. Kini angin berembus cukup kuat; Dr. Munck dapat mendengar embusannya yang memburu di luar dan melihat pepohonan yang terguncang gugup lewat jendela di belakang patung Afrodit. Sang dewi tampak lesu dengan kepalanya yang sempurna menengadah ke atas, matanya yang buta mengamati langit-langit sampai ke entah. Tapi ada apa di balik langit-langit itu? Ada apa di balik desir angin yang dingin dan hampa? Dan semilir tadi?
Apa?
“David, apa kamu juga merasakan embusan angin?” tanya istrinya.
“Ya,” jawabnya seolah-olah baru sadar dari renungan panjang. “Ya,” ucapnya lagi sembari bangkit dari kursinya dan berjalan melewati ruang tamu, langkahnya semakin cepat, lalu ia lompati tiga ruas tangga, kemudian berlari di koridor lantai dua. “Darla, Darla,” panggilnya sebelum sampai di depan pintu kamarnya yang setengah terbuka. Ia bisa merasakan semilir angin berembus dari sana.
Ia tahu dan tidak tahu.
Ia meraba-raba sakelar yang terpasang rendah setinggi tubuh anak-anak, kemudian menyalakan lampu. Anaknya sudah tidak ada. Di seberang kamar, jendela terbuka lebar, gorden putih yang tembus cahaya tertiup ke atas oleh angin yang datang memburu. Di atas tempat tidur hanya tersisa boneka binatang yang telah koyak, isi perutnya yang lembut berserakan mengotori kasur. Di dalam perut boneka terdapat gumpalan kertas renyuk yang tampak mekar seperti bunga. Dan di dalam lipatan kertas, Dr. Munck dapat mengenali potongan kop surat penjara. Tapi catatan yang tertera bukanlah pesan terketik untuk urusan resmi; tulisan tangan itu bervariasi dari ukiran huruf miring yang apik sampai ke coretan cakar ayam anak-anak. Dalam jangka waktu yang tampak tak berujung, ia memandangi kata-kata itu dengan putus asa tanpa memahami isinya. Dan, pada akhirnya, ia benar-benar mengerti maksud dari pesan itu.
Dr. Monk, tulis catatan tersebut, Kami serahkan tulisan ini kepada Anda, karena di dalam selokan berbuih hitam dan lorong belakang firdaus; di dalam ruang bawah tanah antargalaksi yang tak berjendela, gelap, dan lembab; di dalam pilin cangkang-cangkang berongga dan berkilau mutiara yang ditemukan di lautan yang kotor; di kota-kota kisruh tak berbintang; dan di perkampungan-perkampungan kumuh … aku dan rusa kecilku yang memesona sedang pergi bersenang-senang. Sampai jumpa. Jonathan Doe.
“David?” ia mendengar suara istrinya yang memanggil dari bawah tangga. “Apakah semuanya baik-baik saja?”
Rumah elok itu pun tak lagi sunyi, terdengar gelak tawa ceria sekaligus mengerikan, suara yang paling tepat untuk menyertai cerita anekdot pendek tentang neraka yang sukar dipahami.
Diterjemahkan dari cerpen berjudul The Frolic di buku Songs of a Dead Dreamer and Grimscribe (Penguin Books, 2011) karya Thomas Ligotti.
Catatan:
John Doe (dan Jane Doe untuk perempuan) adalah nama pengganti serbaguna yang digunakan di Amerika Serikat—biasanya dalam proses hukum—ketika nama asli seseorang tidak diketahui atau sengaja disembunyikan.
Comments
Post a Comment