Pohon Kehidupan
Pada ulang tahunku
yang kelima ini, ayah dan ibu memberiku hadiah yang berbeda dari hadiah ulang
tahunku yang sebelumnya.
“Toni, ini adalah
hadiah yang paling special buat kamu. Ayah dan ibu sudah menanamnya lebih dari
umur kamu sekarang ini, kira-kira berapa tahun yah bu?” Tanya ayahku sembari
menyodorkan sepiring buah mangga yang telah dipotong kotak-kotak kecil.
“Hmm, kira-kira tujuh tahun lah, Yah. Toni kan lahir dua tahun setelah kita
menikah.” Jawab ibuku sambil mengerutkan keningnya, mengingat-ingat kapan bibit
pohon mangga pertama kali ditancapkan ke tanah di taman depan rumah kami.
“Oh iya! Haha! Lucu sekali kalau ingat momen-momen itu yah bu,” sahut ayahku
sambil tertawa lebar. Mungkin, momen-momen yang disebutkan oleh ayah adalah
momen dimana mereka menanam bibit itu.
“Iyah, Yah. Manis gak
mangganya, Ton?” Tanya ibuku setelah menodorkan garpu yang menancapkan satu
potong mangga. Kulumat mangga itu pelan-pelan. Hmmm, manis dari mangga ini
melebihi manis jus buah rasa mangga yang kubeli di supermarket. Melemaskan otot
mulut dan mengencangkan indra perasa yang seakan menikmati juga kehadiran
mangga itu.
“Manis banget, Bu. Mau lagi, Aaaa,” rayuku
lagi kepada Ibu sambil membuka mulutku yang meninggalkan sedikit bercak kuning
di sekitar bibirku.
“Habiskan, nak. Masih banyak kok,
nanti ayah potong lagi mangganya. Kita bakal buatin jus mangga special juga
buat kamu, Ton.” Ucap ayahku dengan senyum yang terbit langsung dari hatinya.
Lalu senyuman itu dilemparkan juga ke Ibuku. Mereka terlihat sangat bahagia
atas bertambahnya umur anak tunggalnya ini. Aku sayang Ayah dan Ibu.
Terbesit kata itu dalam benakku, dan akan kuukir di dalam hatiku, selamanya.
2006
Tak ada perayaan, tak
ada buah mangga, dan tak ada senyum yang terbit di antara kedua orangtuaku.
Ulang tahunku yang keduabelas sangatlah hampa. Mereka sibuk dengan kegiatannya
masing-masing. Pagi itu, sebelum aku berangkat sekolah, keduanya melakukan
kegiatan mereka seperti biasa. Ayah bersiap untuk berangkat kerja, dan ibu
menyiapkan sarapan untuk kami.
“Pagi, Yah.” Sapaku kepada laki-laki
berumur empat puluh lima tahun yang sedang mengikat dasi di kerah kemejanya
sambil berjalan menuju meja makan. Aku bermaksud untuk menyadarkannya bahwa
hari ini adalah ulang tahunku, tapi sepertinya ia tak menyadari.
“Pagi, Ton.” Jawab ayah sambil mengambil telepon genggam dari kantong
celananya. Dan aku benar-benar percaya sekarang bahwa ia memang tidak menyadari
hari ulang tahunku.
“Ayo sarapan semuanya, sebelum berangkat
harus keiisi perutnya biar bisa focus belajar sama kerjanya, iya kan, Yah?”
kata Ibuku dengan tiga piring berisi nasi goreng di atas telapak tangannya.
Nasi goreng itu mengepul, dengan irisan sosis dan acak telur yang menhiasi.
Ibarat nasi goreng itu, kepalaku mulai mengepul dengan sikap ayah yang mulai
acuh tak acuh dengan kami.
Ada diam sejenak disana. Ayah belum
merespon pertanyaan dari Ibu untuk memulai pembicaraan di pagi hari itu.
Seketika Ayah linglung, lalu ia baru menyadari bahwa Ibu bertanya kepadanya
setelah Ibu mengambil telepon genggam yang tadi Ayah amati secara serius. “Eh,
ada apa, Bu?” Tanya Ayahku balik, lalu berusaha untuk mengambil telepon genggam
yang sudah dipegang dan dilihat-lihat oleh Ibuku.
“Ini siapa, Yah?” Tanya Ibuku dengan
raut wajah yang langsung berubah seketika. Jidatnya mengerut. Matanya menajam
seperti mata burung gagak yang melihat sekitar dengan sinis.
“Siapa apa, Bu? Tolong kembalikan telepon
genggam saya, Bu. Itu urusan kantor.” Pinta Ayah kepada Ibu dengan nada yang
tak biasa, lebih tinggi dari ucapan biasa. Tangannya dengan cepat meraih
telepon genggam yang dipegang oleh Ibu dengan posisi setengah berdiri dari
kursinya, lalu menyimpannya ke dalam kantung celana dan duduk seketika.
“Pantas kamu bulan-bulan ini sering
pulang lebih malam,” ucap Ibuku dengan muka gusar.
“Maksud Ibu apa? Saya sama sekali gak
ngerti,” tanggap Ayah sambil melihat jam tangan yang melingkari pergelangan
tangan kirinya. “Saya harus berangkat, sudah telat.” Singkat dan jelas
kata-kata itu. Padahal ayah baru menyuap tiga sendok nasi goreng buatan Ibu.
Padahal tidak biasanya Ayah berangkat sebelum menghabiskan sarapannya. Terlihat
dari gerak-geriknya dan raut wajahnya bahwa ada yang tidak beres. Ayah berdiri
dari kursinya, lalu berjalan menuju pintu keluar.
“Harri!!! Siapa Sati?!” Tanya Ibu
dengan suara geram ketika ayah baru saja memegang daun pintu.
Terlihat wajah Ayah yang kagok dengan
apa yang ditanyakan oleh Ibu. “Argh! Jangan bicarakan dia lagi Rani! Aku tidak
ada hubungan apapun dengannya. Ngerti kamu?!”
“ITU!!! Buktinya ada di telepon
genggam kamu. Untuk apa kamu berbicara dengannya lewat pesan singkat? Hah?! Aku
selalu mencurigai kalian, aku selalu khawatir dengan keluarga kita, Harri.”
Pernyataan Ibu membuatku bingung. Siapa Sati? Terlihat mata Ibu yang
mulai memendung, dan tak akan lama akan memuntahkan hujan lebat.
Ayah melepas genggamannya dari daun
pintu, lalu mendekat ke arah Ibu. Jari telunjuknya menunjuk tepat di atas
jidatnya. “Ingat Rani! Kalau sekali lagi kamu membuka obrolan tentang dia,
habis muka kamu!” Tak lama kemudian, Ayah menatapku sekelibat dengan mata
sinis, lalu membuang pandangannya ke arah pintu. Berjalan keluar.
Aku hanya memandang kepada mereka
dengan wajah kebingungan. Tak mengerti apa yang mereka perdebatkan di pagi yang
seharusnya cerah itu. Hatiku mulai gelisah ketika Ayah menutup pintu dengan
gebrakan kencang, dan ibu yang ditinggalkan begitu saja tanpa mengecup tangan
suaminya seperti yang biasa mereka lakukan sebelum keberangkatan Ayah ke tempat
kerjanya. Matanya membendung banjir air mata dan menatap hal kosong. Beberapa
detik kemudian setelah suara mobil menyala lalu menjauh seketika, banjir air
mata itu membeludak, membasahi pipi Ibuku yang sudah memerah. Lututnya
bergetar, lalu ia berlutut di hadapan meja makan yang lebih terasa seperti meja
persidangan. Aku dengan gesit memeluknya dari belakang, ingin kuikut menangis
bersamanya, tapi aku belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Ada apa sebenarnya dengan Ayah, Bu?”
tanyaku dengan suara pelan. Tak ada jawaban. Hanya isak tangis yang semakin
menjadi. Kuputuskan untuk tidak bertanya lagi. Lalu aku memeluknya lebih erat.
Inilah hadiah ulang tahunku yang keduabelas, kebingungan dan pelukan.
OOO
Rembulan menerangi
alam dengan sempurna. Disambut dengan desir angin malam yang membawa misteri.
Malam itu semakin nikmat jika kami bisa berkumpul bersama seperti sedia kala.
Tapi realitanya tidak. Setelah kejadian di pagi tadi. Badan Ibu mulai
menunjukkan demam. Wajahnya mulai memucat. Suhu badannya mulai meningkat. Dan
tubuhnya mulai melemah. Aku sudah beberapa kali menyodorkan makan, tapi Ibu
tetap menggeleng dengan tatapan kosong. Sekarang ia terlelap dalam tidurnya
yang terlihat gelisah dan tak nyaman.
Kupandangi pohon mangga yang berdiri
kokoh di taman depan rumah. Meskipun belum ada mangga yang berbuah lagi, aku
tetap merindukan masa dimana pohon itu menyimpan memori-memori indah antara
kami bertiga. Terbesit memori menyenangkan di ulang tahunku yang kelima, ketika
mangga itu baru kali pertama berbuah dan buahnya sangat manis seperti kejadian
itu. Senyum yang menyeruak di antara Ayah dan Ibu. Kata-kata yang kuukir di
dalam hatiku. Aku sayang Ayah dan Ibu. Tapi setelah apa yang terjadi di
pagi tadi, rasanya ukiran itu mulai digerogoti sedikit demi sedikit oleh rayap.
Ayah belum pulang juga. Padahal jam
sudah menunjukkan pukul 23.30. seharusnya ia sudah pulang. Kuputuskan untuk
menghubunginya lewat telepon rumah. Kutekan deretan nomor yang sudah kuhapal,
lalu kutunggu beberapa saat.
“Halo,” terdengar suara yang kukenal,
suara Ayah.
“Halo, Ayah kok belum pulang?”
“Ayah ada urusan malam ini, Ton. Jadi
Ayah gak bisa pulang malam ini. Eh, bahkan mungkin satu bulan kedepan Ayah gak
bakal di rumah. Ada pekerjaan di luar kota. Nanti jam lima Ayah pulang untuk
mengambil barang-barang.”
“Kerja apa, Yah? Dimana? Kok
lama, Yah?”
“Udah kamu tidur
sana, besok kamu sekolah.” Jawabnya seperti merasa terganggu dengan
pertanyaan-pertanyaanku.
“Aku belum mau tidur kalau Ayah belum
mau jawab.”
Tut tut. Sambungan telepon terputus.
Tak ada jawaban dari Ayah. Kesal rasanya. Apakah ini yang dirasaka oleh Ibu?
Jemariku mulai mengepal. Hatiku mulai memanas. Apa yang sebenarnya terjadi
oleh Ayah? Aku benar-benar bingung. Terbesit kata-kata Ibu tadi pagi, “Pantas
kamu bulan-bulan ini sering pulang lebih malam,” Ibu menyadarinya tidak
hanya tadi pagi, tapi sudah cukup lama. Ya, memang Ayah sering pulang malam tak
seperti biasa beberapa bulan ini. Aku baru menyadarinya.
Kupandangi lagi pohon mangga di taman
depan rumah lewat jendela kamar Ibu. Angin malam meyapu wajahku halus, seakan
membawa pesan yang tak terdengar. Kututup mataku sesaat, lalu aku berdoa kepada
Tuhan agar pohon itu terus berdiri kokoh disana, agar kami bisa menikmati buahnya
yang sangat manis bersama-sama lagi, agar memori indah dapat terulang lagi, dan
agar aku bisa menjadi buah segar dari hasil pohon yang kokoh.
Terasa cepat sekali kejadian itu. Aku tidak pernah menyadari bahwa hari ini
akan hadir dalam kehangatan keluarga kami. Aku masih belum mengerti,
kebingungan menyelimuti kepalaku. Aku akan cari penyebabnya. Sati, engkaukah
yang memulai kehancuran ini? Engkaukah yang menyebarkan rayap diukiran hati
indahku?
OOO
-Mangga jatuh tak
jauh dari pohonnya-
Deep.
ReplyDeleteReally? It must be reorganized again, still bad.
DeleteTiga piring nasi di telapak tangan.
ReplyDeleteGue masih berusaha berpikir keras, segede apa tu telapak tangan emaknya.
Ok, nanti saya revisi ulang. Terimakasih sudah mau membaca. :)
DeleteSimple but, nice and so deep when im read it. Wait for next your story.
ReplyDeleteTerimakasih. Silahkan dinikmati susu dan biskuitnya.
Delete