Sastra Zaman Now



/1/
Melihat sastra zaman sekarang, maka ada dua rasa yang ingin saya sampaikan, yaitu senang dan sedih. Senang melihat sastra berkembang pesat dengan gaya, bentuk, dan keunikan yang baru. Dan sedih karena implementasi dari sastra itu tidak banyak tersampaikan ke masyarakat biasa, hanya terbatasi kepada para akademisi dan orang-orang yang mampu beli buku. Implementasi yang saya maksud adalah pengaruh. Maksud dari pengaruh bukanlah seperti pengaruh kitab suci atau manifesto atau undang-undang untuk menuntun hidup manusia agamis, nasionalis atau apapun itu. Maksud pengaruh di sini adalah perihal kemanusiaan dari tiap-tiap karya sastra yang tidak sempat disampaikan di buku-buku besar tersebut.

Dilansir dari Koran Kompas tanggal 23 September 2017, di seminar “Cakrawala Toleransi lewat Sastra” di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, bertepatan dengan seratus hari mangkatnya HB Jassin, B Rahmanto, dosen bahasa dan sastra Indonesia di sana menyampaikan bahwa sastra di Indonesia masih terpinggirkan. Salah satu penyebab dari kejadian ini adalah dunia pendidikan yang kurang mendukung kegiatan sastra di sekolah-sekolah. Menurutnya lagi, pengajaran sastra memang tidak bisa lepas dari pengajaran bahasa. Tapi tujuan dari pengajaran sastra berbeda dari bahasa. Tujuan dari pengajaran sastra adalah menambah pengalaman siswa dan mengajarkan mereka agar lebih tanggap dengan peristiwa-peristiwa dan hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan, dan lebih mengenal hormat terhadap tata nilai dalam individual maupun sosial.

Menurut Putu Wijaya dalam esainya, ia sangat prihatin akan perkembangan apresiasi sastra di kalangan sekolah. Karena anaknya sendiri, yang bersekolah di sekolah swasta, buku wajibnya adalah Harry Potter, yang mana adalah sebuah karya populer dari Inggris. Miris bukan?

/2/
Mengacu pada pendapat Rene Wellek dalam buku Teori Kesusastraan, sastra adalah sebuah kegiatan kreatif, atau lebih jelasnya sebuah kegiatan atau proses kepenulisan yang kreatif. Nah, berbeda dengan studi sastra. Studi sastra adalah cabang ilmu pengetahuan. Dan seorang penelaah sastra atau yang mempelajarinya harus dapat menerjemahkan pengalaman sastranya dalam bahasa ilmiah, dan dapat menjabarkannya dalam uraian yang jelas dan rasional (Wellek: 3). Jadi ada dua unsur yang perlu ditelaah sekarang antara sastrawan dan peneliti sastra. Pernah disampaikan di kelas saya bahwa sastrawan adalah orang yang mengerjakan proses kreatif kepenulisan, yang nantinya akan menghasilkan sebuah karya sastra. Peneliti sastra adalah seseorang yang bisa mengejawantahkan maksud-maksud dari karya-karya sastra yang ada kepada masyarakat. Tapi di era ini, peneliti sastra pun bisa dibilang sastrawan karena hasil dari penelitiannya adalah esai atau kritik sastra.

Penulis, dramawan, dan penyair sudah sangat banyak. Meskipun di sastu sisi kita melihat Indonesia sedang mengalami krisis literasi. Salah satu yang kurang beberapa tahun belakangan ini adalah kritikus-kritikus sastra. Jika melihat masa lampau, maka kita akan melihat HB Jassin sebagai salah satu kritikus fenomenal. Bahkan gelarnya di kesusastraan Indonesia adalah paus sastra. Lalu siapakah penerusnya? Silahkan kita diskusikan.

Maksud saya membahas kritikus sastra, karena dunia sastra pun membutuhkan infrastruktur yang apik. Mas Putu mengatakan bahwa infrastruktur itu adalah:
  1. Penulis
  2. Distributor
  3. Pembaca
  4. Kritikus
Ironinya lagi, infrastruktur sastra saat ini sudah mulai rusak secara perlahan. Dari penulis, kegiatan literasi sudah menurun. Dari distributor, atau lebih dikenalnya sebagai penerbit dan toko buku sudah menuju arah kapitalisme yang tak seimbang. Dari pembaca, kegiatan membaca hanya diisi oleh karya-karya populer yang mengikis mental bangsa. Dan dari kritikus, sepertinya sudah tak ada lagi penerus-penerus HB Jassin.

/3/
Turunnya sastra di Indonesia, penyebab lainnya adalah ketidakikutsertaan pemerintah dalam mem-boom­-ingkan referensi sastra Indonesia ke pihak luar. Pada tahun 1985, WS Rendra, Putu Wijaya, Toety Heraty, Emha Ainun Nadjib, dan Pramoedya Ananta Toer pergi ke Berlin untuk menghadiri festival sastra Horizonte. Dan ironinya, beberapa penyair, penulis, dan penerbit luar negeri belum banyak mengetahui perihal kesusastraan di Indonesia. Salah satu penerbit mengakui ke Mas Putu bahwa kurangnya referensi sastra Indonesia di sana. Berbeda dengan pemerintah Jepang yang sangat mengapresiasi dan membudidayakan kesusastraannya di dalam maupun luar negeri. Apakah pemerintah terlalu pusing akan permasalahan-permasalahan yang banyak muncul di media? Who knows?

/4/
Salah satu penelitian dari antropolog Diego dan Steffen Hertog menjelaskan bahwa radikalisme lebih rentan dari mahasiswa teknik. Dilansir dari Koran yang sama bahwa mahasiswa-mahasiswa teknik dinilai tidak memiliki ketahanan untuk bersikap terhadap ambiguitas dan kompromi, tetapi justru terobsesi pada keteraturan, presisi, dan kepastian sehingga ideologi agamis yang kaku cenderung lebih menarik. Pendapat lain juga mengatakan bahwa para insinyur memiliki kemungkinan tiga atau empat kali lebih besar untuk menjadi radikal dan terlibat terorisme. Berarti, kemanusiaan yang sudah digembor-gemborkan oleh PBB dan pemerintah dari masing-masing Negara masih terindikasi lemah, bahkan nihil. Jika melihat realita saling menyalahkan antara satu orang ke orang lainnya di media, apakah itu yang namanya kemanusiaan? Jika saling salip di jalanan tanpa melihat orang lain yang seharusnya diprioritaskan, apakah itu kemanusiaan? Jika membantu nenek untuk menyebrang jalan sudah tidak ada, apakah itu kemanusiaan?

Di sini ini saya menawarkan kepada khalayak untuk “mari membaca sastra” untuk memperluas kemanusiaan dan menghilangkan radikalisme dan isme-isme buruk lainnya. Mungkin sulit menghilangkannya secara bersih, tapi namanya usaha, toh dibutuhkan bukan?

/5/
Mungkin  ini hanyalah curahan hati saya kepada keadaan sastra zaman now, berhubungan dengan kids zaman now yang sudah sangat modern, dan barangkali sudah menghindari (dengan tidak secara langsung) ilmu tua ini.

Forum Diskusipedia (Selasa, 7 November 2017)


Comments