Kisah Cinta dan Keseimbangan Alam

Novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda

Kemajuan peradaban berkembang pesat seiring berputarnya waktu. Tapi ironinya, keadaan alam makin terpuruk sedikit demi sedikit. Terjadi ketidakseimbangan antara kemajuan peradaban dan (seharusnya) kemajuan alam semesta. Telah banyak realitas mengenai alam raya yang perlahan terkikis entah dengan sendirinya atau dengan sebab-sebab eksternal. Jika mengingat keadaan Indonesia saat ini, alam kita pun sedang dalam kehancuran secara perlahan, dan seringkali kita tak menyadarinya karena ditutup oleh cahaya-cahaya gemerlap kehidupan yang sudah membuat kita sangat nyaman. Dan ternyata, dari novel Luis Sepúlveda ini, kita akan melihat bagaimana wilayah Amerika Latin pun mengalami hal seperti ini. Meskipun ini karya fiksi, tapi inilah gambaran realitas yang terjadi di atas bumi.


Hasil gambar untuk pak tua yang membaca kisah cinta

Sinopsis
Sepúlveda mengambil latar tempat yang sangat tepat dalam novel ini, yakni sebuah desa kecil di tengah rimba raya Ekuador, dan tepatnya di pedalaman hutan Amazon.

Kisah ini berawal dari munculnya sesosok mayat yang dibawa oleh dua orang Indian dari suku Shuar dengan kano ke desa kecil yang bernama El Idilio. Mayat itu adalah pria bule muda berambut pirang yang umurnya tak lebih dari empat puluh tahun. Terlihat luka tekak melintang dari dagu ke bahu kanannya. Saat mayat itu dicium oleh pak tua dan beberapa warga yang penasaran, mereka berkata bahwa mayat itu bau pesing kencing macan kumbang betina dewasa. Itu artinya, si betina sudah menandakan mayat tersebut agar tidak dimakan oleh hewan lain. Di sisi lain, pak walikota, yang pada hakikatnya tidak mengetahui banyak hal mengenai Amazon dan keras kepala, menuduh dua orang Indian dari suku Shuar itulah yang membunuhnya. Tapi pak tua Antonio dengan tegas menyatakan bahwa macan kumbang betinalah yang membunuhnya.

Tapi pak walikota yang tambun dan selalu berkeringat itu tetap keras kepala. Ia tidak percaya bahwa macan kumbang yang telah membunuhnya. Hingga ia membuat opini bahwa alasan dua orang Shuar itu membunuhnya untuk mengambil barang-barang berharga milik bule itu. Dan akhirnya pak tua memutuskan untuk menggeledah barang-barangnya yang ternyata masih utuh. Yang cukup mengagetkan adalah, di tas bule itu, ada empat lembar kulit macan kumbang yang sangat kecil dan beberapa butir peluru. Sudah terbukti bahwa si bule telah membunuh empat ekor anak macan kumbang lalu mengulitinya. Seperti rasa bagi semua ibu, jika anak-anaknya, yang bahkan masih kecil dan belum sempat disapih dibunuh, maka rasa kesal dan sedih akan berkecamuk. Lalu dengan menggoreskan cakarnyalah salah satu cara untuk membalas dendam bagi seekor hewan karnivora itu kepada si pembunuh.

Cerita ini berlanjut dengan diceritakannya perjalanan hidup pak tua Antonia José Bolívar. Pak tua Antonio mengenal istrinya sejak kecil, sejak mereka hidup di desa San Luis, desa kecil di dekat gunung api Imbabura. Mereka bertunangan pada umur tiga belas dan menikah dua tahun selanjutnya. Tapi sayangnya setelah hidup beberapa tahun, sang istri yang bernama Dolores Encarnacíon del Santísimo Sacramento Estupin֮án Otavalo tak hamil-hamil. Karena digunjing banyak orang akan hal tersebut, pasangan itu memutuskan untuk pergi dari San Luis ke daerah yang mereka dengar dijadikan pemukim-pemukim baru sebagai tempat tinggal baru yang dijanjikan oleh pemerintah. Setelah melewati perjalanan panjang, sampailah mereka di sebuah kelokan sungai yang di sana baru terdapat satu bangunan dengan seng bergelombang tempat bagi seluruh pemukim baru tinggal. Setelah menyelesaikan administrasi yang dianggap hanya sebagai formalitas, mereka diberi tanah kosong untuk membangun rumah sendiri. Ternyata, alam belukar yang baru ditinggali itu tidak gampang bersahabat, kerena kondisi sekitar, hewan-hewan, dan cuaca yang masih sangat ganas untuk mereka. Hingga beberapa dari mereka mati dengan beberapa sebab seperti mati karena makan buah beracun, dimakan binatang buas, malaria, dan lain-lain. Tak lama setelah itu, penolong datang. Mereka adalah suku Shuar yang akhirnya mengajarkan mereka untuk hidup di hutan. Mengajarkan mereka berburu, memilih buah-buahan yang aman untuk dimakan, membangun rumah yang kokoh, dan bercocok tanam yang sebenarnya kurang tepat dilakukan karena tanah yang tidak cocok dan sangat sering diguyur hujan. Tapi tetap saja alam tetap menyerang. Istri pak tua Antonio pun, setelah dua tahun tinggal di sana, mati dikarenakan malaria yang menyiksanya.

Setelah kematian yang menyedihkan itu pak tua Antonio marah dengan hutan yang masih belum lama ia kenal itu. Tapi akhirnya ia putuskan untuk mengikuti jejak orang-orang Shuar dan meninggalkan kebiasaan lamanya. Ia pakai pakaian seperti mereka yang setangah telanjang. Ia berburu seperti mereka. Dan ia hidup dengan mereka di pedalaman hutan. Lima tahun ia hidup bersama mereka. Tapi tetap saja orang-orang Shuar meski menganggapnya seperti mereka, tapi ia belum menjadi bagian dari mereka. Setelah lima tahun ketangguhannya dalam hidup di hutan semakin menjadi, ia kembali lagi ke desa kecil bernama El Idilio itu. Dan mengejutkan, orang-orang di sana masih bodoh dalam mengolah hidup di kawasan hutan. Mereka menjarah hutan tak tanggung-tanggung hingga membuat hewan di sana semakin buas. Di saat yang sama, peradaban manusia-manusia dari luar hutan pun merangsek masuk. Kilang minyak, pencari emas, pemburu liar, penebang hutan, yang menghancurkan hutan secara bringas.

Dalam kegaduhan itu, ternyata pak tua menemukan obat dari penyakit tuanya, yaitu ia bisa membaca. Ia sangat tertarik untuk membaca hingga merantau ke kota untuk mengumpulkan buku yang tak didapatnya di El Idilio. Ia tertarik dengan kisah cinta yang sudah lama menjadi pengalamannya. Ia kembali dari perantauannya dengan membawa novel cinta yang ia baca di rumah gubuknya. Si dokter gigi, dr. Rubindo Loachamin selalu membawakannya novel cinta ketika kedatangannya ke desa kecil itu dua kali dalam setahun.

Korban kembali berjatuhan. Macan kumbang betina itu semakin merisaukan warga. Pak walikota putuskan untuk melakukan perburuan. Dan pak tua tahu, pasti ia yang diandalkan di perburuan tersebut karena keahlian dan pengalamannya sudah teruji. Tapi di sisi lain, ia yang sedang merasa damai dengan kisah-kisah cintanya merasa terusik.

Di akhir cerita, pak tua berhasil membunuh binatang buas itu. Tapi ia merasa sedih dan malu karena telah membunuhnya. Setelah itu ia menyumpahi bule yang bertanggung jawab atas tragedi ini, pak walikota, dan semua orang yang telah melacurkan Amazonnya. Dan ia sadar, kisah-kisah cinta yang ia baca membuatnya lupa akan kebiadaban umat manusia.

Ekokritik
Rousseau, seorang pelopor zaman romantik, berkata bahwa manusia justru terasingkan dari dirinya sendiri oleh kemajuan ilmiah dan oleh kebudayaan pada umumnya dan untuk menjadi sembuh dari alienasi ini, manusia harus kembali ke keadaan alamiah. Hal ini terjadi secara gamblang dalam novel ini ketika manusia-manusia yang mengaku diri mereka beradab menghancurkan tanah Amazon secara bertahap. Apa yang dijelaskan pelopor tersebut telah dilakukan oleh Pak tua Antonio dengan ikut serta dalam kehidupan suku Shuar selama beberapa bulan, tapi sayangnya tak ada hasil yang signifikan dari keikutsertaannya tersebut kecuali untuk dirinya sendiri. Jadi, seruan dari pelopor di atas tidak berdampak besar untuk manusia yang sudah diboikot oleh sistem industri yang secara tidak langsung dianut oleh orang-orang beradab yang di sana disebut bule. Revolusi industri menghabisi kekayaan alam dengan laju yang mengerikan, menghancurkan hubungan dengan tanah dan menyingkirkan petani ke belakang; kapitalisme industrial menghasilkan abad modern, dan mengeruk seluruh bahan baku tanpa mempedulikan akibat-akibat lingkungan; dan perilaku semodel itu memperoleh alibi ilmiah dari kredo Baconian bahwa pengetahuan ilmiah adalah kemenangan teknologi atas alam (Croatt dan Rankin, 1997:30-35).

Baik para pemukim itu maupun para pencari emas melakukan segala jenis ketololan di dalam hutan. Mereka menjarah hutan itu tak tanggung-tanggung, sehingga membuat beberapa binatang jadi luar biasa buas (Sepúlveda: 44-45).
Mesin-mesin raksasa membobol jalan, dan orang Shuar jadi kian gesit. Sejak itu mereka tak lagi mengikuti adat untuk tinggal selama tiga tahun di satu tempat sebelum pindah, guna membiarkan alam memulihkan dirinya sendiri. Pada tiap ganti musim mereka kemasi gubuk-gubuk dan tulang belulang sanak kerabat yang meninggal, lalu menyingkir dari orang-orang asing yang berdiam sepanjang tepian sungai.
Kian banyak pemukim yang datang didorong jani-janji akan masa depan di bidang ternak dan perkayuan. Mereka juga membawa alkohol yang tak lagi dikontrol oleh ritual, dan dengannya tibalah pembobrokan kaum terlemah. Terlebih lagi, wabah pendulang emas merebak, orang-orang tak kenal moral yang datang dari tiap sudut dengan satu tujuan tunggal: cepat kaya (Sepúlveda: 39)

Kata ekokritik diambil dari kata bahasa Inggris ecocriticism yang terbentuk dari dua kata, yaitu ecology dan criticism. Dari Kamus Bahasa dan Kebudayaan Inggris, ekologi diartikan sebagai kajian ilmiah tentang pola hubungan-hubungan tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, manusia terhadap satu sama lain dan terhadap lingkungan-lingkungannya. Dan kritik diartikan sebagai bentuk dan ekspresi penilaian tentang kualitas-kualitas baik atau buruk dari sesuatu. Ringkasnya, ekokritik adalah kritik berwawasan lingkungan.

Menurut Siswo Harsono dalam penelitiannya mengenai Ekokritik, kemunculan ekokritik tampaknya merupakan konsekuensi logis dari keberadaan ekologis yang makin memerlukan perhatian manusia. Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa revolusi industri juga berpengaruh besar pada keadaan ekologis atau alam yang kain hari kian terpuruk. Dan realitas dari manusia yang seharusnya diperlukan, malah berada dalam keadaan terbalik yang sedikit-sedikit merusak alam. Alasan dari kehancuran alam yang disebabkan oleh manusia adalah pencarian uang dengan cara yang tidak rasional. Jika mengambil contoh dari novel ini, maka disebutkan bahwa wabah mendulang emas merebak kepada orang-orang yang tak kenal moral untuk mencari satu tujuan yaitu cepat kaya. Hal ini juga didukung karena ketidak seimbangan antara budaya dan alam. Dikutip dari penelitiannya juga bahwa ada solusi baru untuk pembahasan ekokritik yang memakai model triade trikotomis nature-nurture-culture (alam-pemeliharaan-budaya). Jika nantinya model keseimbangan pemeliharaan antara alam dengan kebudayaan bisa dijalankan, maka kemungkinan peradaban kemanusiaan dan alam bisa berkembang berbarengan.

Tapi sayangnya, di novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta, tidak dihadirkan keseimbangan serupa model di atas yang mengakibatkan kemunculan pembalasan dendam kepada desa dan penduduk di dalamnya dengan perantara macan kumbang yang anak-anaknya dibunuh oleh bule untuk dikuliti. Pembalasan dendam dari macan kumbang ini adalah sebuah simbol dari tak diterimanya manusia-manusia tak beradab yang merangsek masuk semena-mena tanpa tahu budaya di alam liar Ekuador. Seperti yang disampaikan Pak tua Antonio ketika mayat bule tersebut dibawa oleh dua orang suku Shuar ke desa El Idilio di sesi pertama novel:

Si induk pergi berburu untuk mengisi perut agar ia bisa menyusui mereka selama minggu-minggu pertama musim hujan. Anak-anak itu bahkan belum disapih dan penjantannya berjaga di belakang mengawasi mereka. Begitulah kelakuan hewan, dan begitu pulalah bule ini menjumpai mereka. Kini induknya berkeliling mencari mangsa, murka oleh kesedihan, dan si orang inilah yang ia buru. Pasti gampang buatnya melacak jejak bule ini. Si naas ini menggendong bau susu di punggungnya dan si induk cuma perlu membuntutinya. Kini ia sudah membunuh si pelaku. Ia sudah membau dan mencicipi darah manusia, dan dalam otak binatangnya yang kecil itu kita semua ini pembunuh anaknya, bau kita sama semua baginya (Sepúlveda: 17-18).

Pak tua Antonio memang tahu banyak tentang rimba Amazon. Karena ia sudah pernah hidup bersama suku Shuar (salah satu suku asli Amazon) setelah meninggalnya istrinya. Bersama itu, ia abaikan kesopanan Katoliknya yang ia pikir udik. Ia berjalan setangah telanjang dan menghidari kotak dengan pemukim-pemukim baru yang menganggapnya orang gila. Ia banyak belajar dari suku Shuar untuk lebih dalam memahami alam rimba, dan bagaimana mengatur keseimbangan dalam mengkonsumsi sumber daya alam dan menghormati budaya luhur. Tapi entah mengapa, sepeninggalnya ia dari lingkungan suku Shuar, ia akhirnya sadar bahwa ia bisa membaca, lalu akhirnya larut dalam kisah-kisah roman picisan yang membuatnya mabuk tak kepalang.

Inilah penemuan paling penting seumur hidupnya. Ia bisa baca. Ia punya penangkal racun atas usia tua yang mematikan. Ia bisa baca. Tapi ia tak punya apa-apa untuk dibaca (Sepúlveda: 47).

Kisah cinta di sini, saya anggap sebagai simbol gemerlap bumi yang mengacuhkan dirinya dari sikap kritis terhadap lingkungan luar. Karena kehadiran kisah cinta yang dibaca oleh Pak tua Antonio menjadikannya tak terlalu acuh dengan lingkungan sekitar Ekuador yang sedang dalam keadaan terpuruk. Padahal jika melihat beberapa analisa diri Pak tua Antonio, maka terlihat bahwa ia masih menyimpan jiwa seseorang bagian dari suku Shuar yang peduli akan rimba Ekuador.

Pembunuhan manusia terus berlanjut, tapi pak tua masih tak mau terlalu ikut campur. Hingga perburuan terakhir pun diadakan untuk menangkap atau memusnahkan sang induk macan kumbang. Di akhir cerita ditunjukkan oleh betina kepada pak tua yang kala itu sudah ditinggal oleh pak walikota dan lainnya si jantan yang sudah terluka. Dan diakhir sesi, ada konflik antara pak tua dan dirinya sebelum menembak sang induk, lalu ia berkata: “Maaf, kawan. Bule brengsek itu membuat hidup kita semua serba salah” (Sepúlveda: 115). Ternyata yang itu meleset. Terjadi lagi pergolakan aneh ketika datang sebuah mimpi aneh seperti pengalaman efek-efek natema.  Singkatnya setelah berhasil terbunuh, ia menangis tersedu dan merasa malu, tak berguna, nista, dan sama sekali bukan jawara dalam sebuah pertarungan. Lalu ia menyumpahi semuanya yang berkaitan dengan terbunuhnya macan kumbang betina itu.

Antonio José Bolívar Proaño mencopot gigi palsunya, membungkusnya dengan sapu tangan. Sambil menyumpahi bule yang bertanggungjawab atas tragedi ini, menyumpahi pak walikota, menyumpahi para pendulang emas, menyumpahi semua orang yang telah melacurkan perawan Amazonnya, ia menebas sebatang ranting tebal dengan parangnya (Sepúlveda: 121)

Mirisnya, setelah kejadian itu, ia kembali lagi ke kebiasannya. 

Bertongkatkan ranting itu ia berangkat menuju El Idilio, menuju gubuknya, menuju novel-novelnya yang membicarakan cinta dengan kata-kata yang demikian indah sampai kadang membuatnya lupa akan kebiadaban umat manusia (Sepúlveda: 121). 

Kesimpulan  
Novel ini memberi kita gambaran tepat mengenai alam pada masa kini. Kisah cinta yang dibaca oleh pak tua mengalegorikan kesenangan dunia bagi manusia-manusia yang belum memperhatikan alam sekitar. Dan macan kumbang adalah peringatan bahwa alam juga punya rasa dan sebaiknya dikelola dengan baik dan bukan dengan sembrono seperti di kisahkan di atas. Dibutuhkan pemeliharaan keseimbangan antara budaya yang berhubungan kemanusiaan dengan alam dengan habitatnya. Terkadang orang-orang yang mengaku beradab menjadi tidak beradab jika tidak tahu adat istiadat dan aturan alam yang sesungguhnya.

Work Cited
Buku
Sepúlveda, Luis. Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta. Penj: Ronny Agustinus. Tangerang Selatan: CV. Marjin Kiri. 2017.
Dictionary of English Language and Culture. London: Longman. 1992.
Jurnal
Harsono, Siswo. Ekokritik: Kririk Sastra Berwawasan Lingkungan. Universitas Diponegoro. 2008.

Booktalk Festival Literasi Tangsel

Comments