Pohon Tanjung

AKU tahu bahwa dulu aku hanyalah seorang pemuas. Tapi aku ingin sekali merasakan kepuasan dalam hidupku. Aku tahu dulu aku hanya pelayan untuk kesenangan. Tapi belum sedikitpun aku merasakan kesenangan tersebut. Dan aku pun tahu bahwa dosaku sudah lebih banyak dari jumlah butiran pasir yang ada di dunia ini. Tapi satu butir kebaikan masih hinggap di dalam hati kecilku. Sekarang tugasku hanyalah menyampaikan. Menyampaikan apa yang belum kusampaikan kepadanya dengan cara yang bahkan kutakketahui. Karena aku adalah pohon, dan dia adalah manusia
---
Aku sudah berhenti dari pekerjaan menjijikan itu. Menjijikan di awal, nikmat di pertengahan, penyesalan di akhir prosesi. Penyesalan yang kentalnya melebihi kekentalan darah merah. Penyesalan yang tiada tanding. Tanpa pengaman, kesengsaraan bagiku dan bagi sang janin akan datang. Berkali-kali aku menghancurkan hidup seorang calon manusia, yang seharusnya hadir di permukaan bumi, malah langsung pergi ke surga tanpa melangkahkan kaki. Aku pembunuh, akulah sang malaikat maut. Dengan sebagian uang yang mereka berikan selesai puas memakaiku, aku paksa para bidan atau dukun beranak untuk membunuh kehidupan mereka dan menghilangkannya dari perutku. Tak pernah kulihat wajah polos mereka, bahkan paradigma untuk mempunyai anak telah hilang dalam benih-benih otakku. Tapi aku tetap seorang wanita. Aku ingin menjadi baik. Bahkan aku pernah membayangkan punya keluarga bahagia, dengan suami yang sering menciumi dan memelukku dengan tulus, dengan anak yang berlarian di halaman rumah dengan senyum tempias dari wajahnya. Tapi itu belum terjadi, dan mungkin tidak akan terjadi.
      Tapi aku tetap berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan. Lalu terjadilah itu, tapi bukan kebahagiaan yang sepenuhnya kuinginkan. Pada suatu malam sebelum kuberhenti melakukannya, seorang birokrat datang kepadaku dengan wajah yang gusar dan stres.
      “Berapa bayaranmu?” katanya dengan terburu-buru.
      “Dengan penampilan anda yang seperti ini, pastilah mahal.”
      “Berapa? Bilang saja. Akan kubayar semua yang kau mau, sayang.” Lanjutnya sambil menaruh telapaknya di atas pundakku. Tak kubiarkan dia menggodaku sebelum harga tinggi di keluarkan. Kuelakkan pundakku dari pegangannya.
“Dua puluh tanpa tawar menawar, karena aku bukan sayuran di pasar.” Sanggahku.
      “Baiklah, sayang. Aku pastikan itu hadir tepat di depan mukamu setelah kau bisa memuaskanku.” Katanya sambil tersenyum dengan menjijikan di depan mukaku. Dia membawaku dengan BMW nya ke salah satu hotel ternama di kota ini. Dan malam pun menjadi kesenangan untuknya, bukan untukku.
      Sialnya dia tak membawa pengaman malam itu. Setelah selesai prosesi, dia memintaku untuk menggugurkan apa yang telah ditanamnya dalam perutku. Biasanya aku akan setuju dengan apa yang diminta sang pelanggan, tapi malam itu berbeda. Sebutir pasir putih di antara triliunan yang hitam mengetuk hati kecilku. Dia berbicara seakan-akan melarangku untuk membunuh calon bayi ini.
      “Ini uangnya, jangan lupa yang kuminta tadi, sayang. Bisa berabe kalau kamu tidak melakukannya.” Ia menatapku dengan senyum sambil memakai kembali celana dan kemejanya. Uang yang diminta telah tersedia tepat di sebelah tubuh telanjangku yang ditutupi selimut putih. Aku diam. Aku memikirkan kebahagiaan itu. Aku memikirkan kehidupan yang sebenarnya, bukan yang sudah-sudah. Aku memikirkan sang calon bayi. Aku ingin menjadi perempuan yang sebenar-benarnya. Berbagai pertimbangan kupikirkan ketika itu. Kubiarkan mataku tertutup, lalu kututupi seluruh tubuhku dengan selimut. “Aku pulang yah, sayang. Terimakasih untuk malam ini.” Bisiknya di atas wajahku yang kututupi juga dengan selimut. Tak lama ia pergi, ruangan menjadi hening. Kubuka selimut yang menutupi wajahku, kulihat tumpukan uang di sebelahku, lalu bayangan seorang bayi sekelibat hadir di pikiranku. Jangan bunuh aku, ibu. Suara lirih itu terdengar jelas di telinga hatiku. Aku ingin hidup bersamamu. Lanjutnya dengan wajah yang merana. Air mataku tiba-tiba saja mengalir di pipiku, kubiarkan mengalir deras. Kuingat lagi sudah berapa kali aku membunuh calon-calon bayiku, anak-anakku. Kali ini aku tak tega untuk menggugurkan sang calon bayi. Bayangkan, ia merintih di dalam perutku. Dialognya terdengar jelas. Aku tak bisa membiarkannya mati.
---
Umurnya tiga tahun. Namanya Santoso. Kuberikan nama itu agar kuharap hidupnya selalu sentosa, tidak seperti hidupku yang kelam. Lagipula nama akan menjadi doa, kuharap. Bahagia sekali ketika kutatap wajahnya yang beberapa orang bilang seperti wajahku. Tangannya mungil memegang mainan mobil-mobilan. Kaki-kakinya lincah melangkah ke arahku. Kutangkap ia. Lalu kupeluk erat-erat tubuhnya yang hangat. Kuciumi pipinya yang empuk dan wangi.
      “Jadi anak baik yah, sayang.” Bisikku di telinganya.
      “I…bu…” katanya dengan terbata-bata sambil menatap hangat wajahku. Bahagia sekali diriku ketika ia memanggilku dengan sebutan itu. Sekarang aku seorang ibu, tanpa ayah yang mendampingi. Lagipula, aku tidak akan menceritakan kepadanya siapa ayahnya.
---
Sebelum kelahirannya di bulan kedelapan, dia pernah meleponku sekali. Dia marah besar kepadaku karena mendapatkan kabar entah dari mana bahwa aku membiarkan sang calon bayi tumbuh di dalam perutku.
      “Maksud kamu apa membiarkannya hidup?!” suaranya menggelegar dari balik telepon. “Aku sudah memberikanmu uang untuk menggugurkannya kan? Aku tak mau tahu, kau harus menggugurkannya sekarang juga! Aku tak mau tanggungjawab! Tanggungjawabku seharusnya selesai setelah kau menggugurkannya malam itu. Perempuan bodoh!” sentaknya dengan keras. Aku sangat takut waktu itu. Kondisiku pun tak mendukung untuk perdebatan ini. Kututup telepon itu, lalu kucabut kabel selulernya agar tak ada lagi dering telepon.
      Keesokannya, aku berencana pergi dari rumah yang kupikir telah diketahuinya. Dengan uang tabunganku, aku akan pergi ke tempat yang sangat jauh darinya. Sangat jauh. Aku memilih daerah luar Jawa agar ia tak mengejarku, tak mengganggu kehidupan bersama calon bayiku yang kelak akan hidup bahagia. Kebetulan salah satu saudaraku tinggal di Kalimantan, lalu aku cepat-cepat menghubunginya dengan telepon genggam yang kumiliki. Ia menjawabnya, lalu mengizinkanku menempati rumahnya yang kosong di sebuah desa di daerah Kalimantan Tengah dekat dengan Sungai Barito. Aku harus bergegas, sebelum sang birokrat datang.
---
Ternyata ia datang. Setelah tiga tahun tinggal di rumah ini, ia datang untuk mempertanggungjawabkan apa yang tak ingin ia pertanggungjawabkan, pikirku. Aku tak tahu dari mana ia mendapatkan alamat daerah pelosok ini. Mengapa ia datang lagi? Padahal aku pun tidak mempermasalahkan anak itu. Setelah ia masuk ke rumah layaknya tamu seperti biasa. Ia memulai pembicaraan.
      “Sudah lama tak bertemu, Rani.” Ucapnya dengan senyum seperti dulu, menjijikan.
      “Untuk apa kau kesini?” tanyaku gusar.
      “Kebetulan aku harus melihat proyek pertambangan yang baru akan dibangun di daerah sini, jadi kusempatkan untuk mencari kalian berdua.” Jelasnya.
      “Oh, Pertambangan penghancur hutan itu?”
      “Pertambangan itu untuk kesejahteraan rakyat, bukan penghancur. Sudahlah, aku datang untuk bertemu kalian, bukan untuk membahas pekerjaanku. Hey, ia sudah besar yah. Berapa umurnya?”
      “Tiga tahun.”
      “Siapa namanya?
      “Untuk apa kau tahu? Tak penting bagimu.”
      “Itu anakku, bodoh. Siapa namanya?”
      “Santoso.”
      “Hmm, kau perempuan ngeyel yah. Tiga tahun lalu kuperintahkan kamu untuk membunuhnya tapi kau malah lari. Kucari kamu ke pelosok setiap daerah dari berbagai informasi, tapi aku salah alamat. Dan ternyata kau bersembunyi disini.” Jelasnya sambil menatap ke sekeliling rumah dua petak ini. “Tahukah kamu? Dia anak haram?”
      “Tolong jangan sebutkan kata-kata kotor itu disini!” tegasku padanya. “Dia tetap anakku, tak peduli siapa ayahnya. Aku ingin hidup bahagia bersamanya.”
      “Persetan dengan omongan so bijakmu, wanita jalang.”
      “Keluar kamu dari rumahku!”
      “Bunuh anak itu! Lalu aku akan keluar.” Sentaknya sambil menunjuk anakku yang sedang bermain mobil-mobillan di ruangan sebelah ruangan kami berbincang, dan berdebat.
      “Tidak akan. Aku tidak akan membiarkannya mati di tangan siapapun. Dia anakku. Biarkan dia hidup.”
      “Sadarkah kau? Dia itu anak haram, aku tak ingin melihat anak menjijikan itu di dunia ini. Aku mohon, hidupmu akan lebih lega ketika ia tiada.”
      “Keluar kau!” kudorong tubuhnya hingga teras rumah dengan amarah yang terbakar. Lalu ia jatuh di taman rumah. Terguling ke arah Pohon Tanjung yang berdiri tegap. Ia bangkit, tangannya merogoh saku jaket kulit hitamnya, lalu dengan gesit mengeluarkan revolver perak yang mengkilap lalu menodongkannya kepadaku.
      “Diam.” Katanya pelan. “Atau kubunuh kamu. Biarkan aku yang membunuh anak haram itu jika kamu tidak mau.” Setetes keringat menetes dari dagunya. Begitu pula keringat yang mengalir di dahiku.
      “Jangan lakukan itu, Hari. Itu anakmu juga walaupun kamu tidak mau mengakuinya. Tidak menjadi masalah kalau kamu tidak mau mengurusnya. Aku rela untuk mengurusnya sampai besar. Aku pun tak akan memberitahu kepadanya bahwa ia adalah hasil dari hubungan terlarang antara kita berdua. Tapi tolong, biarkan ia hidup.”
      “Aku gelisah, Rani! Tahukah kamu? Kamu pelacur keparat! Aku selalu membayang-bayangkan anak itu. Anak yang seharusnya tak dilahirkan. Aku tak mau hidupku berantakan seperti ini. Istriku selalu bertanya akan kegelisahanku ini, jadi biarkan aku hidup lega dengan keluarga asliku. Kamu diam sekarang, atau kutembak kau!”
      “Jangan, Hari. Kumohon.” Lirihku padanya. Air mata yang sedari tadi kubendung kubiarkan lepas.”Tolong, Hari. Kamu pun punya anak di rumah, pasti kamu mengerti bagaimana jika anakmu mati. Bayangkan itu, Hari. Biarkan Santoso hidup. Kumohon.” Tangisku kepadanya. Pandangannya kosong, tak terarah. Ia gugup, terlihat dari tangannya yang gemetar.
      “Aku tak bisa, Rani. Ini bukan kehidupan yang kuinginkan. Biarkan aku membunuhnya!” sentaknya lagi. Ia melangkahkan kakinya dengan terburu-buru ke arah pintu masuk rumah. Aku menjegatnya. Ia mendorong tubuhku yang kupaksakan untuk menahannya. “Awas kau! Biarkan aku yang melakukannya.”
      “Tidak, Hari! Aku tak akan membiarkanmu.” Ia tetap mendorongku dengan paksa, tapi aku menyekapnya dengan seluruh kekuatan yang kupunya.
      “Rani! Biarkan aku lewat!” teriaknya di hadapanku. Tubuhnya dengan kuat memaksakan lewat. Kekuatannya melebihi kekuatanku. Aku terseret, tapi aku paksa diriku agar ia tak bisa masuk mendatangi anakku. “Rani!!!” Dor! Ia menatapku. Aku menatapnya, meskipun wajahnya mulai pudar, membayang. Tanganku lemas, lalu melepaskan sekapanku darinya. Kulihat bekas muncratan darah di atas kaus putihku, terlihat sangat jelas. Tangannya gemetar kencang ketika melihat tangannya sendiri memusatkan revolvernya tepat di tubuhku. Tubuhku seketika lunglai, tak bisa menahan beban ini. Tiba-tiba aku terjatuh, kepalaku membentur batu besar yang tergeletak di taman rumahku. Sesuatu yang terakhir kulihat saat itu adalah sang birokrat yang lari dari taman rumahku. Ia menaiki mobil Jip dengan cepat ke tempat yang tak pernah kuketahui. Lalu setelah itu, aku tak sadarkan diri.
---
Suara ayam berkokok membangunkanku. Suara siulan burung menyadarkanku. Tapi tak seperti biasanya, suara mereka lebih kencang. Kubuka mataku, lalu kutatap sekitarku. Apa ini? Aku berdiri tepat di depan rumahku. Kulihat jelas taman, teras, dan batu yang menghantam kepalaku. Lalu tak lama angin pagi berhembus kencang membentur tubuhku, dingin sekali. Ketika tanganku ingin menyekap tubuhku agar hangat, tak bisa kulakukan, tanganku kaku. Aku bingung mengapa hal ini bisa terjadi. Lalu kucoba melangkahkan kaki agar bisa masuk ke dalam rumah, tapi aku tak bisa menggerakkan kakiku. Bahkan tubuhku pun tak bisa pula kugerakkan. Kutatap seluruh tubuhku untuk mengetahui apa yang terjadi. Apakah aku kena stroke karena benturan dan tembakan sang birokrat? Kalau memang iya, seharusnya aku di rumah sakit dan bukan di depan rumahku, dan bukan dalam keadaan berdiri pula. Ternyata bukan. Apa ini? Kulihat bagian bawah tubuhku, terlihat batang pohon yang menancap tegap di atas tanah. Dengan akar yang bisa kurasakan menjalar di dalam tanah, akar-akar tersebut menyerap unsur hara yang tersedia di dalamnya. Hei, kurasakan ada yang menggeliat di sekitar akar-akar tersebut. Kulihat ke atas, terhempas dedaunan rimbun dengan bunga-bunga kecil yang mulai berguguran oleh angin pagi, wanginya mengayun ke indra penciumku. Lalu apa itu? Tangkai? Apa maksudnya ini? Pasti ada yang mengerjaiku. Tapi tak mungkin, karena aku habis ditembak lalu kepalaku terbentur batu.
      “Hei, ada apa ini? Ada yang bisa menjelaskan? Kenapa aku ada di dalam pohon?” tanyaku kepada sekitar yang kukira kosong.
      “Kau bukan di dalam pohon, bodoh.” Seru sebuah suara yang tak tahu datang dari mana. Aku mencari sumber suara tersebut, tapi tak menemukannya di depanku, di bagian bawahku, lalu kulihat bagian atas, disana bertengger seekor burung gereja. Tapi tak mungkin ia berbicara. Lalu kucari lagi di sekitar rumah, tapi tak mungkin Santoso sudah bisa berbicara lancar. Santoso? Anakku. Bagaimana kabarnya? Siapa yang mengurusnya? Siapa yang memberinya makan? Aku harus bergegas untuk memastikannya. Tapi kakiku tak sedikitpun terangkat. Tubuhku tak sedikitpun bergerak. Apa yang terjadi? “Hei, kau tak mungkin bergerak.” Suara itu terdengar lagi. Tapi aku tak melihat seseorang yang berbicara. Aku hanya melihat seekor burung gereja yang mulai terbang di depan tubuh Pohon Tanjung ini. “Kau itu pohon, bodoh.” Sahut sang burung. Apa? Burung berbicara?
      “Kau bisa berbicara burung?” tanyaku dengan sangat heran.
      “Terserah kau. Tapi kau adalah pohon. Ini biasa terjadi. Kau kaget melihat hewan dan tumbuhan di sekitarmu bisa berbicara, karena kita ada di satu dimensi bahasa.” Jelasnya dengan kepakan sayap yang cepat.
      “Apa maksudmu? Kau tak mungkin bisa berbicara denganku, burung. Aku manusia dan kau hewan.”
      “Bodoh! Kau itu pohon. Coba lihat dirimu sekali lagi.” Lalu dengan gesit kukerjakan apa yang ia perintahkan. Dan…apa-apaan ini. Tubuhku…sebuah pohon?
      “Ini tak masuk akal. Ini tidak benar.”
      “Tapi pada kenyataannya kau adalah apa yang kau lihat, nona.”
      “Mengapa bisa? Tolong jelaskan kepadaku kenapa aku menjadi pohon. Kumohon.”
      “Reinkarnasi. Untuk menghapus dosa-dosa yang masih tersisa dan untuk menyampaikan apa yang belum sempat disampaikan.”
      Lalu setelah itu aku pun paham bahwa yang dikatakan sang burung gereja benar. Tapi mengapa? Aku belum menemukan jawabannya.
---
Hiburan bukanlah hal sulit untuk ditemukan. Tak perlu pergi jauh-jauh hanya untuk mencari tempat wisata untuk menghibur diri. Caraku menghibur diri hanyalah pergi ke sekeliling rumah, menatap pepohonan, kebun, taman, bunga-bunga, dan langit. Itu sangat mengasyikkan. Tapi caraku itu menimbulkan hal aneh. Tak tahu kenapa aku jadi lebih sering menatap Pohon Tanjung di depan rumahku. Memang sejuk memperhatikan pohon itu. Rindang dan melindungi setiap makhluk yang ada didekatnya. Wewangian yang datang dari bunga-bunganya memunculkan harum, yang walaupun tidak terlalu harum, ke hidungku setiap kutatap. Dan setiap bunganya rontok di pagi hari, aku akan mengambilnya untuk kuhirup wewangiannya. Aku sangat menikmati pemandangan Pohon Tanjung itu.
      Tepatnya aku sering memperhatikan pohon itu adalah setelah kematian ibuku tujuh belas tahun yang lalu. Aku tak tahu kenapa, padahal bukan ibuku yang menanamnya, bahkan ia tak pernah mengurusnya secara intens. Dan ia pun tak terlalu sering menatapnya seperti yang kulakukan selama ini. Aku terus berpikir, tapi tetap saja tak menemukan jawabannya.
---
“Waktu untuk menyampaikan adalah saat ia berumur dua puluh tahun, itu bertepatan dengan tahun ini. Kau itu tuli atau tak punya indra pendengar sih? Aku sudah menjelaskannya berkali-kali kepadamu.” jelas sang burung gereja gusar kepada Pohon Tanjung yang mulai menua.
      “Aku sudah tak sabar, Tio. Aku itu ibunya.”
      “Aku sangat paham itu. Tunggu saja.”
---
Di malam itu, aku memandangi pohon itu sangat lama. Seperti ada sesuatu yang mengaitku untuk duduk berlama-lama di teras rumah. Bibi sudah memanggilku untuk masuk ke rumah karena hari sudah larut. Tapi aku masih kekeh untuk memandangi kecantikannya di malam hari ini. Tak lama, pandanganku buyar. Aku mengantuk. Kepalaku terangguk-angguk tak sadarkan diri.
      “Hei!” Aku tersentak. Menengok kesana-kemari untuk mencari suara itu. “Hei, disini. Di pohon.” Seru suara misterius itu lagi dengan jelas.
      “Jangan ganggu aku dedemit. Aku tak takut kepadamu.” Geramku kepada suara itu.
      “Ini aku, Santoso. Kemarilah. Datang ke Pohon Tanjung ini. Aku akan menyampaikan banyak hal kepadamu.”
      “Hah?” kutengok Pohon Tanjung itu. Apa itu? Pohon bisa bicara?
---
Selesai
 

Comments

Popular Posts