Gadis Kecil dari Laut

Sampul Album L'Apocalypse des animaux - Spotify

Beberapa tahun lalu saat baru mengenal film, saya belum begitu menyadari bahwa ada unsur penting bernama scoring/soundtrack yang biasa dipakai untuk membangun suasana adegan, mengatur emosi, atau bahkan mengontrol banyak hal macam pengambilan gambar, cut, mise-en-scène, dan lain-lain. Saya tahu bahwa lagu memang ada di balik tiap adegan, tapi, saat masuk ke dalam dunia produksi film (yang tentu sekadar iseng saat masa kuliah), saya baru sadar kalau ia berlaku sangat signifikan dalam sebuah film.


Kemudian, akhir-akhir ini saya juga disadarkan bahwa lagu dalam film itu memang punya ruang privat sekaligus ruang bersama dengan unsur lain dalam film. Ia bisa saling melengkapi dalam sebuah adegan jika dilekatkan dengan sesuai, dan bisa juga berdiri sendiri sebagai musik yang, contohnya, biasa saya dengarkan pasca menonton film.


Sejak itu, tak jarang saya selalu mencari sejumlah musik menarik yang dipakai di dalam film, bahkan sampai membuat daftar khusus di akun Spotify saya. Saat mendengarkan lagu-lagu yang berhasil saya temukan tersebut, saya sembari mengingat sejumlah adegan yang memori saya simpan baik-baik, mengingat berbagai rasa dan emosi serta situasi yang dibangun antara perpaduan berbagai unsur adegan dengan lagu itu.


Saya membahas hal ini karena beberapa hari lalu baru saja menyelesaikan Stranger Than Fiction (2006) besutan Marc Forster. Ide cerita metafiksi dengan karakter menentang hidupnya yang diatur dan dinarasikan kepada sang penulis itu sudah biasa. Namun, bagaimana cerita itu dikisahkan adalah yang membuat tiap karya berbeda, termasuk film ini. Tapi saya tidak akan membahas keseluruhan film ini beserta keganjilan dari tubrukan antara dunia riil si penulis dengan dunia fiksi si karakter yang ternyata juga riil (mereka benar-benar dipertemukan, setidaknya dalam realita fiktif film itu).


Yang saya ingin bahas adalah adegan terakhir ketika Harold Crick (Will Ferrell), tokoh utama novel tragedi penulis bernama Karen Eiffel (Emma Thompson), sudah pasrah menerima takdirnya untuk mati karena, menurut pengalaman menulis Eiffel—setidaknya yang disampaikan karakter Dustin Hoffman, seorang profesor sastra bernama Jules Hilberttragedi tidak akan sempurna tanpa karakter utamanya mati di akhir cerita.


Ketakjuban saya, dengan mata berbinar dan wajah tertegun, terdorong oleh tiap unsur adegan, dari ekspresi dan gestur Will Ferrell sebagai seorang karakter yang putus asa, potongan-potongan adegan yang mengembalikannya ke hidup sebelum dirinya “bermetamorfosis”, sampai ke warna yang diatur terang namun tetap terasa sendu.


Bagaimanapun, dari unsur-unsur yang saya sebut di atas, yang paling membuat saya terpukau sekaligus membuat bulu kuduk saya berdiri adalah pemilihan lagu untuk adegan ini. Scoring yang dipilih berhasil menarik saya masuk ke suasana pilu si karakter, ikut membendung air di kedua mata saya, dan akhirnya membuat saya mengulang adegan itu untuk mendengar kembali kombinasi adegan dan musik yang saya kira sempurna.


“Oh, Tuhan, apa judulnya? Dan siapa yang menggubah musik seindah dan sesedih ini?” tanya saya selesai menonton film itu. Saya tunggu end credit sampai ke bagian musik, dan di sanalah, sambil mengingat-ingat nada yang masih mendengung sayup di kepala saya sekaligus menggoogling untuk memastikan musik yang tepat, saya menemukannya: La petite fille de la mer gubahan Vangelis.


Sebentar, saya sepertinya pernah mendengar nama komposer ini. Tidak asing memang. Tapi di mana? Saya googling lagi, dan saya baru ingat kalau dia jugalah yang menggubah scoring untuk film Blade Runner-nya Ridley Scott.


Saking gemarnya saya kepada La petite fille de la mer, saya kembali mendengarnya berulang-ulang di kemudian hari. Saat di atas motor, saat berada di depan laptop, saat menatap langit-langit kamar, saat meratapi hujan di bawah mendung kelabu, sampai saat menulis tulisan ini.


Macam scoring di Blade Runner, lagu ini, beserta lagu lainnya dalam album L’Apocalypse des animaux, memunculkan aura atmosferis, mengawang-ngawang di antara alam sadar dan tidak; dan khusus lagu ini, kesedihan khusyuk dalam diam dan tenang menyerbak bagai serbuk-serbuk bunga yang kemudian tumbuh menjadi senyum saat fajar menyingsing.


Stranger Than Fiction bukan film pertama yang menggunakan La petite fille de la mer-nya Vangelis. Lagu ini, beserta albumnya, mulanya menemani film dokumenter fauna besutan Frédéric Rossif berjudul sama dengan sang album, L’Apocalypse des animaux, yang mengudara di televisi Prancis pada tahun 1970.


Ia menggubah lagu-lagu ini pada tahun yang sama saat masih tergabung ke dalam band rock progresif Aphrodite’s Child; dan albumnya baru rilis tiga tahun kemudian. Berbeda dengan proses menggubah scoring untuk film-film di kemudian hari, yakni dengan melihat dulu materi-materi film yang ada baru memproses lagunya, album untuk film dokumenter Prancis ini diselesaikan dengan merekam lagu-lagu bertemakan satwa liar tanpa memiliki akses langsung ke sumbernya, lalu memberikannya ke editor film agar dipakai dan dipotong sesuai kebutuhan.


Meski belum banyak mendengar lagu-lagu dari Vangelis, dan tentu dengan pengetahuan musik yang sangat-sangat terbatas, setidaknya saya bisa berasumsi bahwa hasil dari proses gubahan untuk album ini bersifat personal, yang mana menandakan ciri khasnya yang, sekali lagi saya sebut, atmosferis, berada di ruang awang-awang, dan memiliki corak yang beragam (contohnya ada yang bercorak jazz dan rock).


Dan khusus untuk favorit saya, La petite fille de la mer, entah mengapa memiliki corak yang berbeda sendiri, lebih sedih dan menyendiri, lebih kelabu dan dingin seperti duduk di pantai yang sedang akan badai tanpa seorang pun di samping kita. Angin kerap mengganggu tubuh tak berdaya ini, begitu pun langit kelam yang menakuti, tapi keinginan untuk sendiri turut menemani agar kita tetap duduk di sana, tetap bertahan di badai yang akan datang. Begitulah rasa yang saya dapat saat pertama kali mendengar lagu ini, bahkan rasanya masih serupa sampai sekarang.


Selain itu, jika kita kembali ke bahasan di mana lagu dalam film dapat memiliki ruang bersama, khususnya dalam adegan puncak Stranger Than Fiction, maka lagu ini sudah pasti dilekatkan dengan kematian, bagai requiem memilukan sekaligus redup dan tenang untuk karakter Harold Crick yang pasrah akan akhir dari nasib hidupnya. Namun, karena resolusinya diubah oleh sang penulis agar sang karakter utama tak jadi mati melainkan berakhir luka-luka parah di rumah sakit, lagu ini juga mengantarkan kesedihan menuju senyum canggung yang terbit dari tragedi yang gagal, yang diputarbalikkan menjadi komedi dengan akhir bahagia.


Di sisi lain, dalam ruang privatnya, lagu ini ajaibnya bisa memiliki makna lain. La petit fille de la mer bisa diartikan sebagai “gadis kecil dari laut”. Tentu saja saya belum benar-benar memahami arti sesungguhnya. Tapi dari pengalaman mendengarnya, dan dari percobaan untuk memahami arti dari judulnya, yang muncul di ruang imaji saya adalah gadis kecil penyendiri berwajah datar yang sering menghabiskan sore dan petangnya untuk berjalan di pantai yang mendung di akhir tahun. Sedang saya hanya hadir sebagai orang asing yang duduk di salah satu sudut pantai, dan sesekali melihatnya lewat. Saya belum mengenalnya, dan barangkali tidak akan mengenalnya. Tapi, setiap kami bertemu tatap, saya tahu dari air mukanya bahwa kita suka menyendiri, dan situasi itu sepertinya tak akan berubah dalam waktu yang lama.

Comments

  1. Persis seperti yang digambarkan dalam tulisan ini bahwa lagu tersebut benar seindah dan sesedih itu. Seperti gadis kecil penyendiri yang gemar menghabiskan sore dan petangnya berjalan di pantai sebagaimana digambarkan oleh penulis, seperti itu pula gambaran penulis di benak saya. Setelah sekian lama, saya akhirnya memberanikan diri untuk bertanya,
    Apa kabar, Hafizh? Semoga baik-baik saja. Kalau pun tidak, semoga nanti kamu baik-baik saja.

    Asal tau saja, Fizh, masih ada yang menunggu tulisan-tulisanmu di blog ini.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts