Pembunuhan Sesaat



PAGI itu semua kehidupan indahku berubah seketika. Semua memori menyenangkan terbakar begitu saja oleh secercah percikan api yang datang tidak disengaja. Hancur berkeping-keping menjadi abu yang diterbangkan oleh udara. Aku sulit bernafas ketika itu, ketika kata-katanya bak semburan tsunami yang membentur tubuhku dengan kencang. Matanya merefleksikan penglihatan serigala hutan yang ingin menerkam kerumunan domba, dan saat itu akulah salah satunya. Mukanya sangat mengerikan, jika kau pernah bertemu malaikat maut, yang satu ini adalah tetuahnya.
       Pembunuhan ini mungkin sudah direncanakan, tapi secara terlihat ini seperti begitu saja terjadi. Pagi itu tiga buku tebal di tangan kananku, dan tiga lainnya di tangan kiriku. Dan keduanya terasa pegal. Aku sudah berjalan cukup jauh dari rumahku menuju sekolah yang sangat menyenangkan-tadinya. Lalu kunaiki tangga ke lantai tujuh dimana kelasku sebentar lagi dimulai. Setibanya di lantai tujuh, aku berhenti sebentar untuk mengambil nafas dalam-dalam, nafasku sedikit terburu-buru dan kakiku terasa sedikit pegal bergetar. Mungkin sebab dari enam buku tebal dan berat itu, yang padahal bukan menjadi masalah besar bagiku. Kuberjalan perlahan sambil menyapa teman-temanku yang sedang duduk di kursi panjang yang tepat ada di depan kelas. Senyuman mereka menghilangkan pegal-pegal di tangan dan kakiku. Lalu beberapa menit setelah kita bercakap-cakap banyak hal, dia datang, sang guru. Aku menyikut teman yang duduk disebelahku, memberikan sinyal bahwa kita harus masuk kelas. Aku dan teman-temanku masuk ke dalam kelas. Kutaruh tasku di kursi yang akan kududuki, lalu enam buku tebal dan berat ke atas meja yang berdiri di depan kursiku. Kursiku tepat-sangat tepat-di depan mejanya, meja yang tadinya biasa saja, tapi akan berubah, menjadi meja persidangan panas. Pelajaran pun di mulai.
Sebenarnya ingin sekali kujelaskan kepada kalian mengenai pelajaran yang sangat kusukai ini. Tapi semua berubah ketika pendingin ruangan brengsek tidak menyala di pagi yang gerah itu. Dia bertanya siapa yang bertanggungjawab atas kesalahan ini. Karena menurutnya semua tatanan fasilitas sekolah harus sudah berjalan ketika kegiatan belajar mengajar dimulai. Tapi nyatanya tidak. Dia meminta seseorang yang dapat dipercaya di kelasku untuk menyalakannya, tak lama temanku yang duduk di pojok kelas pergi keluar untuk memastikannya. Tapi mungkin dia tak sadar atas kepergian temanku keluar kelas, lalu menginstruksikan sekali lagi kepada murid yang bisa dipercaya untuk menyalakannya. Untuk memberitahunya, kubuka mulut keringku lalu mulai berbicara bahwa seseorang telah keluar untuk memastikannya dan dialah orang yang bisa dipercaya. Dalam sekejap, semua mata tertuju kepadaku dengan pandangan yang menggambarkan "kau bercanda?" Dan "yang benar saja," lalu mereka tertawa dengan volume suara yang mungkin tak bisa terdengar olehnya. Ya...ya...aku tahu bahwa temanku yang keluar itu biasanya tidak bisa dipercaya dan sangat lucu ketika berbicara, mungkin mereka tertawa karena aku bilang dia adalah murid yang bisa dipercaya. Seketika muncul sekelibat muka lucunya di pikiranku, bagaimana suaranya ketika berbicara pun terdengar begitu saja di telingaku. Dan aku pun tertawa. Mungkin lebih kencang, tapi apakah sangat kencang? Karena setelah keadaan mulai stabil, sang guru menatapku dengan wajah yang tak biasa. Sial! Wajahnya saat itu seperti apa yang sudah kujelaskan, seperti tetuah malaikat maut yang menghiasi kegerahan ruangan. Tidak, bukan hanya gerah, atmosfer yang tercipta menjadi seperti neraka jahanam. Semua mata tak menatapku lagi, mereka tertunduk. Tapi matanya menatapku sangat tajam, seperti burung vultur yang kejam, bercengkrama dengan para setan. Sial! Lalu keluarlah kata-kata yang terdengar seperti tiupan sangkakala, memecahkan gendang telingaku.
“Apa yang lucu?” tanyanya dengan suara datar tapi mencekam. Aku tak menjawab.
“Punya mulut tidak? Apa yang lucu?” Ia tanyakan lagi pertanyaan yang tak akan kunjung jawabnya. Aku diam tak berkata. Kutundukkan kepalaku, tak tahu apa yang kulihat. Mataku mengarah ke lantai, tapi penglihatanku mengingat mata kejamnya. Aku tak bisa bergerak. Nafasku tertahan, seperti ada sekelumit kata yang menyumbat hidungku. Jujur, badanku kaku seperti terjerat rantai Hades. Beberapa detik dihadapannya seperti bertahun-tahun pengampunan dosa. Keheningan datang seperti dingin yang mencekam di puncak musim dingin.
Lalu semua berakhir ketika bel berbunyi. Bel surgawi yang datang dari langit. Keheningan itu berubah menjadi riuh keributan. Teman-temanku mendekatiku lalu mendekapku dalam-dalam. Tatapannya masih terlihat jelas di mataku. Matanya. Wajahnya. Suaranya. Kata-katanya. Sangat mencekam. Dia telah membunuhku untuk sesaat.


Comments

  1. Beberapa detik dihadapannya seperti bertahun-tahun pengampunan dosa.
    *aku suka yang ini

    ReplyDelete
  2. ditunggu karya karya selanjutnya kak ^-^

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts