Hikayat WC dan Berak Manusia


"PLUNG." Terjatuhlah seonggok kotoran berwarna kuning kecoklatan padat ke lubang WC jongkok yang berada di dalam kamar mandi umum. Lelaki berkemeja yang sedang berjongkok menyiram air dari gayung ke WC jongkok tersebut. Kotoran masuk ke dalam tenggorokan sang WC.

“Ah. Lumayan lezat kotoran ini. Dengan sedikit cabai dan sisa kangkung yang terselip.” Sahut sang WC dengan bahasa yang tidak terdengar dan tidak bisa dipahami oleh lelaki itu. 

“Disaat kau makan berkali-kali dalam satu hari, aku hanya memuntahkan isi tubuhku, WC. Kau sangat beruntung.” Kata sebuah keran yang tertempel tak jauh dari WC. Di bawahnya terletak sebuah ember biru tua berukuran sedang.

“Hahaha, masih saja kau keluhkan apa yang kau kerjakan, Keran. Kita sudah punya porsinya masing-masing. Aku saja menerima muntahanmu.” Celetuk ember sambil menerima muntahan air dari sang Keran.

“Jangan asal berkata kau, Keran. Yang kumakan pun tidak selamanya lezat.” Balas sang WC. “Adakalanya aku memakan kotoran orang-orang jahanam yang rasanya pahit dan tidak jelas, bahkan aku ingin memuntahkannya lagi, tapi aku tak bisa.”

“Tapi, bukannya seluruh kotoran manusia itu memang menjijikan dan tidak enak? Kupikir begitu. Karena beberapa kali kotoran yang ada di lubangmu tak disiram, lalu manusia lain yang melihanya merasa jijik dan ingin muntah.” Jelas sang Keran sambil memuntahkan isi perutnya.

“Itu menurutmu saja. Aku yang merasakan, jadi aku yang tahu rasanya. Jika dijelaskan, banyak rasa yang dimiliki oleh kotoran manusia. Tergantung dari apa yang mereka makan.” Kata WC meyakinkan.

“Maksudnya tergantung apa yang mereka makan?” tanya Ember yang sudah meluber-luberkan air dari mulutnya. Lalu sang lelaki memutar kepala keran. Muntahannya berhenti. Sang lelaki mendorong kotorannya lagi dengan syahdu, keringatnya mulai menembus kain kemeja yang ia pakai. “Plung.” Kotoran lain yang lebih kecil jatuh ke lubang sang WC. Sang lelaki menyiramnya.

“Hmm, lezat. Baiklah akan kujelaskan setelah makan siangku selesai.”
___

Tak lama setelah beberapa kotoran lain jatuh dengan dibumbui gas yang dikeluarkan, sang lelaki membersihkan tempat keluarnya, lalu ia memakai celananya kembali. Ia membuka pintu sambil memberikan uang dua ribu rupiah kepada sang penjaga.  

Kamar mandi yang terletak di tengah kamar mandi lainnya tersebut melengang, hanya terdengar tetesan muntahan sang Keran yang jatuh ke mulut si Ember yang diisi air sebanyak setengah perutnya. Lalu sang WC yang kenyang mulai bicara.

“Jadi begini sahabat-sahabatku, Ember dan Keran. Kotoran yang keluar dari anus tiap manusia tergantung dari apa yang mereka makan, sahabatku. Apa yang mereka makan tergantung dari apa yang mereka dapat dari hasil uang yang mereka cari. Uang yang mereka cari tergantung dari pekerjaan mereka. Dan, ya, rasanya berbeda-beda, ada yang pahit, manis, asam, asin, tawar, bahkan rasa berajul tak karuan yang membuatku ingin muntah pun ada. Dan pada hakikat kehidupan para makhluk tanah itu, tak semua pekerjaan mereka baik. Bahkan sebagian besar brengsek. Kalian belum tahu kan? Oleh karena itu, rasakan kotoran mereka.” Terang sang WC dengan suara lantang.

“Hei hei, sudahlah, tak usah kalian membahas kotoran makhluk-makhluk sok paling pintar itu. Mendengarnya saja sudah membuatku merinding. Biarkan aku beristirahat, kawan.” Sahut Gayung yang ada di dalam perut Ember.

“Diam saja kau, Gayung. Dengarkan apa yang ia ceritakan. Ini kisah penting dalam sejarah kamar mandi.” Balas sang Ember. “Tapi apakah benar bahwa tak semua pekerjaan mereka baik, WC? Karena apa yang kulihat pekerjaan mereka baik-baik saja, seperti lelaki tua penjaga kamar mandi umum itu. Dia terlihat baik di mataku, di kala suara panggilan dari masjid maupun surau berkumandang, dia langsung meninggalkan tempatnya untuk sembayang. Dan penjual gorengan yang menetap tak jauh dari kamar mandi umum ini pun menjual dagangannya dengan jujur saja dari apa yang kuperhatikan selama ini. Jadi menurutku spesies manusia baik-baik saja. Yang brengsek itu para binatang yang tak punya adab. Buktinya, ayam jago yang angkuh dan sok gagah di depan, dia selalu buang air sembarangan, itu kan membuat lingkungan kamar mandi umum kita kotor. Lalu anjing dan kucing yang suka mencuri makanan di gubuk sang lelaki tua, apakah itu rasional?” tanya sang Ember lagi kepada WC.

“Kau tidak merasakan apa yang aku rasakan, Ember. Aku merasakan kotoran mereka setiap hari, dan aku tahu enak tidaknya. Biarkan aku memperjelasnya. Pernah pada suatu malam ketika kalian sudah tertidur, ketika air di perutmu penuh, ketika muntahan mu tinggal tersisa tetesan yang terdengar di telingaku. Seseorang berwajah kusam dengan kaus bolong-bolong dan celana panjang rombeng masuk terburu-buru, lalu langsung membuka celananya dan memantatiku. Kotorannya keluar dalam bentuk cair dan cepat seperti muntahanmu, Keran. Lalu tahukah kau apa yang aku rasakan, sahabatku? Rasa kotorannya seperti makanan yang sudah basi dengan campuran bangkai binatang. Membuatku mual. Rasa mualnya terasa sampai berminggu-minggu hingga aku tak bernafsu makan. Tak lama setelah kejadian itu, aku mendapatkan informasi dari pembicaraan-pembicaraan manusia lainnya di luar bahwa dia adalah seorang begal yang telah menggorok kepala seorang ibu dan anaknya tak jauh dari kamar mandi umum ini, tepatnya di kebun jagung pada malam sebelum ia memantatiku. Setelah itu ia merampas uang dan semua barang yang dibawa oleh ibu tersebut.”

“Lalu apa hubungannya antara begal dan kotorannya?” tanya Keran dan Gayung berbarengan.

“Bodoh. Kalian ini memang tak punya otak. Sadarkah kalian, dia membegal lalu merampas. Dengan hasil dari rampasan tersebut, dia membeli makan, memakannya lalu jadilah kotoran. Malam selanjutnya dia keluarkan hasil olahan haram tersebut. Pikirkan itu.” Jelas sang WC kepada benda-benda tak berotak itu.

“Oh, begitu.” Seru Keran dan Gayung berbarengan lagi sambil menatap. Sang WC melanjutkan.

“Lalu, ada lagi kejadian yang lebih buruk lagi. Di siang bolong dua minggu yang lalu, jongkoklah seorang wanita muda dan lunglai dengan pantat yang putih dan bersih. Tapi tahukah kau apa yang ia keluarkan? Ah! Aku tak ingin menjelaskannya. Apakah kalian tak sadar dengan kejadian itu? Sangat jelas di siang bolong. Ia menahan untuk berteriak dan menahan rasa sakit saat itu. Dia mengeluarkan seonggok bayi lemah ke lubangku dengan darah anyir yang berceceran. Kenapa harus di lubangku? Tak tahukah mereka bahwa lubangku untuk kotoran dan bukan untuk seorang bayi. Lalu sang wanita memotong tali pusar dengan pisau kecil yang dibawanya dan meninggalkan bayi itu dengan gerakan lemas tak tertahankan, ia tak peduli dengan darah yang masih bercucuran. Baru setelah sang lelaki tua penjaga datang, ia ambil sang bayi lemah tersebut dan membawanya ke puskesmas terdekat. Manusia memang makhluk gila.” Sang WC menjelaskan kejadian itu dengan gemetar, walaupun tubuhnya tak bergerak sedikitpun.

“Aku tak mengingatnya, WC.” Sahut Ember dengan wajah heran.

“Aku juga.” Keran dan Gayung juga berpendapat sama. “Apakah kau berkata benar, WC?” tanya Keran kepadanya.

“Pernahkah aku berbohong, sahabatku? Aku berkata sejujur-jujurnya. Menurutku kalian telah lupa kejadian ini karena banyaknya manusia yang berkunjung kesini. Tapi bagiku, aku mengingatnya tepat di kepalaku. Ketika darah anyir yang menggenang di lubangku disiram, rasanya sangat amis di tenggorokkan, aku tidak ingin mengingatnya lagi. Ah! Bajingan!”  

“Menjijikkan sekali apa yang kau ceritakan mengenai manusia, wahai WC. Aku belum banyak melihat dan merasakan apa yang mereka keluarkan.” Jelas sang Ember. “Adakah kotoran yang menurutmu lezat?”

“Aha! Tepat sekali apa yang kau tanyakan, tapi yang pernah kurasakan sangat lezat ini bukanlah kotoran, tapi air seni. Aku pernah merasakan sekali air seni manusia yang sangat lezat. Lezat sekali. Aku ingin merasakannya beribu-ribu kali lagi. Jika kau pernah hidup di surga lalu meminum susu di sana, maka itulah rasanya. Dan lelaki sebaya yang punya air seni itu datang lalu jongkok dengan baju serba putih, di kepalanya terbalut sorban putih. Aku sempat bingung saat ia jongkok hanya untuk membuang air seni, padahal lelaki lainnya kencing berdiri, tapi itu tak perlu dipermasalahkan. Tahukah kau sesuatu menarik lainnya? Tubuhnya sangat wangi, wewangiannya menguak setiap sudut kamar mandi ini. Ah, segar sekali waktu itu.”

“Sepertinya aku ingat lelaki itu. Wajahnya tak terlalu tampan seingatku, tapi tatapannya sangat menenangkan dan cerah.” Jelas Keran dengan raut yang senang.

“Hmm, lelaki serba putih dengan sorban? Seingatku buntutku pernah dipegangnya, tangannya halus, lembut, dan kuat.” Sahut sang Gayung.

“Ya benar, aku ingat lelaki itu. Sangat jelas di pelosok memoriku. Ketika ia ingin membersihkan saluran pembuangannya, mulutnya bergerak perlahan seperti membacakan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang ia bicarakan.” Celetuk Ember dengan terburu-buru.

“Memang sepertinya ia adalah orang baik, bagian dari alim ulama. Dan air seninya menggambarkan air yang diminumnya didapat dari hasil yang baik, menurutku.” Kata WC dengan wajah yang berbinar. “Ngeek.” Suara pintu kamar mandi tiba-tiba dibuka. Seorang pria separuh baya dengan perut buncit dan kepala botak tengah masuk dengan wajah menahan sesuatu.

“Untung ada kamar mandi kosong ini, kamar mandi lainnya penuh, bahkan ada yang WC nya mampet. Kalau semua WC seperti ini, mau berak dimana aku. Sialan. Apakah pemerintah daerah ini tidak mendanai kamar mandi umum semacam ini.” Keluh pria tersebut sambil membuka celananya, lalu jongkok di atas sang WC. “Brot!” “Ah, lega.”

“Bajingan! Rasanya lebih buruk dari kotoran tikus. Manusia macam apa kau ini?” sentak sang WC kepada sang pria.

“Jika dipikir-pikir, apa yang aku kerjakan sangat berguna untuk bangsa.” Bisik sang pria kepada ruang kosong. “Tapi tentunya aku punya kekuasaan di negeri ini, dan aku juga punya hak untuk memakai uang yang ada. Benarkan? Ya, sangat benar. Hihihi, aku kan sudah lelah juga dengan pikiran dan tenaga yang sudah kuberikan sepenuhnya untuk bangsa ini. Tapi, aku pun butuh kesenangan. Jadi sah-sah saja toh.” Sang pria mengambil gayung yang ada di perut ember, ia menyiram kotorannya yang tergenang di lubang WC. Sang WC tak dapat menelan kotorannya. “Sialan! Kenapa mampet sih? Aduh, aku akan protes kepada pemerintah daerah disini.” Dengan geram ia membersihkan lubang keluarnya. Lalu memakai celananya kembali dan keluar. “Aku tidak mau bayar, dengan WC mampet di dalam, aku tidak bisa buang air.” Geramnya kepada sang penjaga tua. Tanpa kata, ia pergi seenaknya.

“Astaghfirullah. Ada-ada saja orang itu.” Sahut sang penjaga tua sambil melihat ke arah WC di dalam.

“Brengsek kau, manusia!!!” kata sang WC dengan mulut tersumpal kotoran yang lebih buruk dari kotoran tikus.


Telah dicetak di Jurnal Rusabesi edisi XII. Sila dikunjungi karya-karya lainnya yang tak kalah menarik di bit.ly/jurnalrusa.

Comments

  1. Bagaimana sang ember tau tentang ayam jago yang angkuh, sok gagah di depan & selalu buang air sembarangan? Lalu anjing dan kucing yang suka mencuri makanan di gubuk sang lelaki tua? Sedang ia hanyalah ember di sudut toilet.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dari prespektif saya, kamar mandi tak selamanya tertutup. Posisi gubuk lelaki tua ialah tak jauh, sangat dekat dengan kamar mandi umum tersebut. Jadi ia bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi. Dan ayam jago itu, karena di depan kamar mandi ada ruang lapang, dan ia sering berjalam di sana, jadi sang ember bisa melihatnya.

      Delete

Post a Comment