Pagi Buta

Botol demi botol, gelas demi gelas, lemon demi lemon, ia suguhkan kepada para pelanggan-pelanggan yang sudah sangat ia kenal. Mereka memiliki berbagai macam wajah. Dari yang hanya terlihat baik di luar, sampai yang memang brengsek luar-dalam. Dari yang hanya memesan susu dingin, sampai alkohol yang membuat kepala dingin. Dari yang berkeliaran sendiri, sampai yang dikawal belasan wanita. Itulah kilas pandang kehidupan yang tak kunjung lepas dari kedua bola matanya. Kehidupan malam yang gemerlap. Manusia-manusia bergeraian di setiap sudut tanpa pernah merasa sedikitpun kantuk, berpesta ria dengan musik yang berdentum kencang seolah tak akan muncul fajar untuk memulai hari baru. Yang ada di tempat itu hanyalah kesenangan, keglamoran dan gemerlap dunia yang tiada habisnya. Tak ada waktu dan batas. Ia amati setiap gerakan makhluk-makhluk malam tersebut. Ia amati satu persatu dengan detail. Pakaian-pakaian mahal. Muka para birokrat. Para penghabis uang, pikirnya. Gelap-terang menyelimuti mereka tanpa menghilangkan rasa dinginnya kehidupan, yang menghangatkan hanyalah kandungan alkohol, rokok dan sentuhan-sentuhan memilukan.  Inilah aku di dalam tempat para bajingan. Yang menghasilkan uang tentunya. Kemeja putih dan rompi hitam yang dikenakannya malam itu membuatnya sedikit lebih terjaga dari beringasnya orang-orang yang masih bisa hidup meski jarum jam sudah menunjukkan waktu satu pagi.
"Taki! Anggur merah lima botol! Tentunya untuk wanita-wanita perkasaku malam ini!" Hentak seorang pria botak tengah kepadanya. Di samping kanan dan kirinya terdapat dua perempuan muda berpakaian modis dengan tubuh yang tak sesuai dengan pria itu, buncit. Jadi totalnya adalah empat wanita untuk satu malam. Kalau ditotal selama seminggu, sebulan, setahun, sedekade, seabad? Berapa wanita yang telah dan akan dijamahnya? Tak penting menurut bartender tersebut. Tampak heran, ia pun bergegas mengambilkannya lima botol anggur merah untuknya dan permaisuri-permaisurinya.
"Kamu mau satu, Ki? Ambil saja kalau mau. Aku yang bayar, tenang saja." Begitu kata pria botak tengah dengan angkuh.
"Tidak, Ron. Terima kasih." Jawabnya sambil tersenyum.
"Halah, kamu munafik! Hahahaha, yasudah kalau tidak mau, aku akan puas malam ini. Aku pesan kamar VIP." Ucapnya sambil meneguk sebotol anggur tersebut.
Sang bartender memberikan sebuah kunci berukirkan 105 kepada pria tersebut. "Ini kuncinya, ruang 105 di lantai 2. Sehabis tangga belok kanan, ruangannya ada di ujung lorong."
"Thanks, Ki. Enjoy your night. C'mon ladies! Hahahaha!" Ajak sang pria kepada wanita-wanita yang kegirangan. Dirangkullah kedua wanita di kanan dan kirinya, berjalan bersama menuju kamar VIP tempat mereka akan bersenang-senang. Kesenangan dalam jahanam dunia. Sang bartender hanya melihat mereka berlalu.
“Ki,” sahut wanita separuh baya yang baru saja datang lalu duduk tepat di depan meja kerjanya. Ibu berkepala empat dengan pakaian tak sewajarnya dipakai oleh wanita seusianya mengepulkan asap rokok tepat di depan mukanya. “Taki, Taki, Taki. Berapa kali saya bilang ke kamu? Ini tawaran terakhir. Lebih baik kamu bekerja dengan saya. Bayaran lebih besar daripada tinggal di balik meja sambil mengocok dan menyediakan minuman. Untuk waktu, kamu tinggal menyesuaikan dengan kesibukanmu. Enak, kan?” tawarnya sambil menunjuk wajahnya dengan tangan kanan. Rokoknya terjepit di antara jari tengah dan telunjuk.
“Saya sudah merasa tercukupi di sini, Bu. Mau pesan apa?” Jawabnya dengan acuh tak acuh. 
Bego! Ditawari kerja bagus tidak mau. Kamu tuh berpikir apa, Taki? Saya menawarkan kamu perkerjaan enak. Kamu malah menolak.” Hentaknya keras ke laki-laki yang sedang tersenyum tipis ke arahnya.
“Mau pesan?”
Tidak! Bingung saya sama kamu. Coba pikirkan sekali lagi. Pikir keluarga kamu di pelosok ujung dunia sana, di kehidupan yang serba kkurangan. Coba pikir, Taki! Ingat-ingat Ibu kamu!” Katanya dengan wajah yang geram, lalu mematikan rokoknya tepat di atas meja kaca kerjanya. Seketika pergi dari pandangannya. Ia berhenti sesaat, “Kalau kamu berubah pikiran, silakan hubungi nomor saya. Saya akan selalu menunggu orang pas seperti kamu, Taki.”    sambil memalingkan senyum tipis seorang Ibu genit, ia berjalan kembali menuju sudut lain ruangan.
Dia tersenyum heran dengan wanita tersebut. Tidak satu-dua kali Ibu itu menawarkan pekerjaan yang ia pikir pekerjaan gila. Tawaran pekerjaan gila tersebut sudah mengunjunginya sejak dua minggu yang lalu. Ibu tersebut adalah manajer dari salah satu perusahaan prostitusi terbesar di Jakarta. Dia ditawari pekerjaan untuk menjadi salah satu staff pemuas kenikmatan untuk perempuan-perempuan yang memesannya. Alasannya adalah karena ia mempunyai wajah dan postur tubuh yang sesuai dengan kriteria para pemuas. Gila. Menurutnya. Untuk apa pekerjaan seperti itu ada. Jadi, jawaban yang selalu ia keluarkan adalah 'tidak'.
___

Kegelapan mulai menunjukkan keganasannya. Dentuman musik semakin terdengar tidak karuan di telinganya. Ia semakin sering menggelengkan kepala dalam larutnya kenikmatan dunia. Apa yang dilakukan oleh manusia-manusia yang dilihatnya adalah ketidakwajaran kehidupan. Tapi 'sudah biasa' adalah satu frase yang sudah tersimpan di salah satu berangkas besi otaknya. Dia terus mengocok, mencampur dan meracik minuman untuk pelanggan-pelanggannya yang datang dan pergi. Mendengarkan setiap cerita yang dijelaskan dengan kepala yang panas juga salah satu bagian dari pekerjaannya, dan tentunya mereka akan meminta solusi kepadanya yang dia rasa akan menjadi jalan keluar terbaik bagi permasalahan para pelanggannya. Ia melihat jam tangan yang melilit di tangan kirinya: 02.00. Waktunya untuk kembali. Dia berjalan santai menuju ruang staff, lalu berganti pakaian untuk bersiap kembali ke tempat peristirahatan.
“Le, aku pulang dulu, ya!” Serunya kepada pemuda yang umurnya setara dengannya sambil menenteng jaket kulit di pundaknya.
“Oke, Ki. Hati-hati. Jalan lagi?” Tanya Ale kepadanya.
Always, Le. Duluan, ya!” jawabnya dengan senyuman sekilas. Ia pakai jaket kulit hitamnya. Lalu berjalan menuju pintu keluar yang tersedia di belakang bar.
“Hmm, memang gila dia.” Bisik Ale kepada dirinya sendiri. Membayangkan temannya yang selalu melakukan hal berbeda dari orang biasa.
Dia keluar dari tempat yang gelap dengan gemerlap cahaya di mana-mana. Suasana yang ia pikir lebih hidup dan nyaman dibanding di dalam. Lorong yang lebih hangat dan gelapnya membawa rindu. Rembulan terlihat layu tanpa hadirnya para bintang. Mereka diselimuti cahaya-cahaya fana dunia yang tiada habisnya. Sekitar lorong adalah tembok batu-bata oranye lembab berlumut yang sangat tinggi. Dibangun lebih dari dua dekade yang lalu. Gedung di sebelah kirinya adalah bank pusat di kota tersebut. Memandangi beberapa sudut, lalu ia terpaku pada salah satu sudut lorong yang gelap, ia  melihat seseorang yang terduduk lesu. Bersender ke dinding bank kota dengan jaket lesuh dan kotor. Tak terlihat jelas karena gelap yang menutupi. Ia mencoba mendekat, lalu mendengar orang itu berbisik.
“Anakku…” bisiknya dengan suara yang sangat lirih. Ketika sudah sangat dekat, terlihat di pelukannya seorang bayi mungil yang kurus rentan tertidur pulas. Cahaya dari lampu jalanan di depan lorong merefleksikan wajah bayi dan wanita malang itu. Ketika menatap dan meratap apa yang ada di depannya, ia merasa ada yang mengganjal jantung dan aliran darahnya. Teringat kembali apa yang ada di pusat memorinya. Ia tak dapat bergerak sesaat. Jantungnya seakan berhenti melihat sang wanita mendekap anaknya lebih erat ketika angin berhembus lebih kencang. Bayi di gendongannya tertidur pulas. Wanita itu membuka kelopak matanya yang kering, lalu menatap bartender berjaket kulit hitam yang menatapnya dengan saksama. Tatapannya tak biasa, paras keibuannya tertutupi oleh kekumuhan debu yang menyelimuti wajahnya. Tapi apa yang ia perhatikan bukan parasnya, melainkan apa yang ia lakukan dan perjuangkan untuk anaknya dan hidupnya. Ia pikir, jaket tebal pun tak akan kuat melindungi tubuh tirusnya karena kelaparan yang terlihat dari tulang yang mencuat di tangannya. Ini tak adil! Pikirnya. Keadaan yang sangat berbeda dari apa yang ia lihat di dalam bar menyadarkannya bahwa hidup seperti surga dan neraka. Keduanya sering terlihat abstrak, tak tahu mana yang harus dikatakan surga dan neraka. Mukanya memanas, ingatannya terbang ke gubuk bambunya. Tak ingin mengingat, ia pergi seketika, cairan hangat dari kedua indra penglihatannya menetes.  Air yang sudah sangat jarang keluar. Ia berjalan cepat menuju jalanan tepat di depan mulut lorong, berbelok ke arah kiri. Lampu yang terang seakan tak membantunya keluar dari gelapnya semesta hati.
Trotoar di samping jalanan terlihat lurus, tak seperti hidup. Apa yang ia lihat barusan bukanlah apa-apa. Hanya sekilat cahaya kecil dari lampu cabai yang menghiasi toko mainan yang dilewatinya. Sepi yang ia lihat tak separah sepi yang ia rasakan sekarang. Kepalanya kalut dalam memori busuk yang tak mau ia ingat.
Setelah berjalan tak lebih dari dua menit, tepat di depan toko roti, ia melihat seorang anak, dengan kaus putih bergambar Shaun The Sheep yang robek di bagian pundak dan celana pendek yang sangat kotor, sedang mengorek-ngorek sebuah tong sampah. Di depan anak itu terpampang gambar croissant, baguette, ciabatta, dan jenis roti lainnya yang disajikan hangat dengan sayuran di sekitarnya di atas piring yang mengilap. Ini sangat tak relefan. Pikirnya. Lalu di tengah pengamatannya, anak itu menengok. Melihat kepadanya dengan muka yang sangat tirus, kotor dan tak ada harapan untuk hidup kembali. Dia menggenggam bungkus roti yang di dalamnya ada seperempat bagel yang terlihat sudah berjamur. Lalu di mulutnya yang mengunyah terdapat seperempat lainnya. Lalat menggerumuni tangannya.
 "Apa yang kau makan?" Tanyanya kepada anak tersebut.
"Kakak mau?" Tawarnya sambil menyodorkan bagel busuk itu.
"Tidak, terima kasih. Tapi sebaiknya kau tinggalkan makanan yang tak sewajarnya kau makan, Nak." Begitu ucap sang bartender.
"Aku lapar. Tak ada yang bisa kumakan lagi. Ini sudah cukup." Katanya dengan mulut yang mengunyah. Hening sesaat, sang lelaki terpana dengan kata terakhir yang ia ucapkan. Tapi kata itu telah lama hilang walau sesaat. Ia sering mengucapnya, tapi jarang meresapi maknanya. Ia menggelengkan kepalanya yang ruwet.
Ia bergegas pergi tanpa mau melihat apa yang barusan ia lihat. Tetesan lainnya mulai berjatuhan. Ia teruskan perjalanannya yang mulai terlihat memilukan di setiap langkah. Dia sangat tak percaya dapat melihat hal-hal seperti ini di pagi buta, di trotoar yang biasa ia lewati.
Untuk sampai ke tempat tinggalnya, ia hanya butuh berjalan selama tak lebih dari dua puluh menit lagi. Ia sangat hafal jalan ini. Tapi sekarang matanya buta dengan apa yang ia lihat. Jalanan terlihat gelap tanpa cahaya bulan yang lembut. Tiga menit setelah melihat hal tak relevan di depan toko roti, tepat pukul 02.30, di lorong antara gedung apartemen dan pertokoan, terlihat samar seorang kakek tua yang menenteng plastik. Di hadapannya, seorang lelaki bertubuh besar dengan jaket hoodi dan celana hitam. Tak tampak mukanya yang ditutupi hoodi.
“Cepat orang tua! Aku tak punya banyak waktu!” kata lelaki hoodi dengan suara yang pelan tapi menekan. Dan ia dapat mendengarnya dari jalan di depan lorong.
“Aku tak bisa. Dan tak akan. Ini untuk cucuku di rumah.” Jawab kakek tua dengan nada memohon.
“Brengsek!” ia berteriak. Lalu memukul muka keriput kakek tua dengan sangat keras. Kakek tua terlempar ke aspal lorong.
“Aku mohon, aku sudah tua, dan ini bukan untukku, tapi untuk cucuku.” Ia memohon kembali kepadanya sambil memegangi pipi kirinya.
“Berikan itu! Sialan kau! Cepat!” paksanya. Tak lama lelaki besar itu mengeluarkan sebuah pisau dari kantung celananya, menyodorkannya kepada kakek tua yang sudah meringkuk lirih di aspal lorong dengan darah yang mulai mengucur dari hidungnya. Sang kakek mencoba untuk berdiri, dan mulai berjalan dengan tertatih ke mulut lorong untuk kabur. Tangan kanannya mencengkram erat katung plastik dan tangan kirinya mengelus lembut lebam di pipi kirinya. Betender dalam jaket kulit hitam melihat kejadian itu. Jelas. Sangat jelas. Dan ia tak tahu harus berbuat apa. Badannya kaku, matanya tak berkedip atas kekejian tersebut.
“Tolong aku…” sang kakek lirih berkata dari lorong kepadanya yang tak sadar. Ia terkejut. Badannya bergetar. Tak lama setelah itu, lelaki hoodi berjalan cepat ke arah sang kakek yang sudah hampir sampai di mulut lorong. Pisau yang ada di genggamannya seperti kanibal kelaparan yang mencari darah. “Tolong…” lirih sang kakek kepadanya sekali lagi, tapi ia tak dapat bergerak. Sang hoodie mendekat, lalu dengan sangat cepat dan ganas menghunuskan pisaunya dari belakang. Wajah sang kakek terbelalak, matanya melotot ke arahnya, mulutnya terbuka lebar seperti ingin menyampaikan sebuah pesan, tapi tak tersampaikan. Ia bergetar lebih kencang. Sang kakek terjatuh ke lantai dengan darah yang menetes perlahan, menggenang. Sang hoodi mengambil kantung plastik yang ada di genggamannya. Mengambil dompetnya dari kantung celana kakek yang sebentar lagi akan menjasad. Lalu melihat lelaki yang terdiam kaku beberapa langkah di depannya sekilas, dan lari ke dalam lorong. Tubuhnya tak terlihat lagi dimakan kegelapan. Ia menggelengkan kepalanya. Ini salah. Ia tak sanggup melihat jasad rentan di depannya. Ia lari dari lorong kematian itu dengan air yang menetes lebih deras. Pikirannya berputar-putar. Ada apa ini? Ia berlari lebih kencang seperti ada yang mengejarnya.
Lalu sepuluh menit kemudian ia telah sampai di depan apartemennya
Ia masuk ke dalam gedung tua itu. Lalu menaiki tangga ke apartemennya di lantai tiga. Pikirannya tidak lebih tenang dari sebelumnya, dan memorinya masih kuat mengingat apa yang telah terjadi di pagi yang gelap itu. Di depan pintu apartemennya, ia merogoh kantung untuk mengambil kunci. Memasukannya, lalu memutarnya. Klik. Ia menggenggam gagang pintu yang berdecit, lalu masuk ke ruangan 4X5 yang gelap. Ia tekan sakelar lampu, ruangan yang berukuran sedang dengan tembok agak lapuk jelas terlihat. Furnitur-furnitur tua terpampang di setiap sudut ruangan. Ia melepaskan jaket kulit hitamnya, lalu ia pergi ke dapur . Ia mengambil gelas yang ia isi dengan air mineral. Ia duduk di atas kursi kayu sambil menyodorkan gelas ke mulutnya. Tegukannya membuat tenggorokannya lebih basah, tapi tak sedikitpun mambasahi api di aliran darahnya. Menatap kearah jendela apartemennya sambil merogoh kantung jaketnya, lalu menarik sebuah ponsel. Mencari kontak yang sudah lama ia tak cari, lalu menekan tombol hijau di sebelah kiri ponsel. Tuut…tuut…tuut.
“Halo…” sapa suara dari ponsel.
“Halo, Nei. Maaf membangunkan pagi buta begini. Bilang ke Ibu…aku akan pulang.”
Selesai

Comments

Popular Posts