Ketidakseimbangan



"IBU!!!" geram sang anak.
“Selamatkan dirimu, nak.” Kata sang induk  kepada anaknya-seekor semut muda-di tengah keadaan genting. Tubuh sang induk lemas tak tertahankan, ia tak bisa lagi bergerak.
“Tidak, Ibu yang harus selamat.” Balas semut muda itu tak jauh dari sang induk dengan suara kencang.
“Kau harus selamat, nak. Hidupmu masih panjang. Bantulah Ayahmu dan temanilah adik-adikmu.” Jelas sang induk kepadanya. Tak ingin induknya mati, ia pun berlari kencang dengan enam kakinya yang gemetar kencang.
“Tidak, Ibu!!!” Chrekk. Melangkahlah kaki kanan seorang makhluk yang terlihat seperti raksasa dari neraka baginya tepat di atas tubuh sang induk semut. Sang semut muda yang tadinya berlari pun berhenti tak jauh dari kaki raksasa tersebut tanpa kata. Ia terkejut melihat induknya yang benyek diinjak raksasa itu.
                                                                        ---
Kuceritakan pelajaran dalam hidupku untuk kalian yang peduli dengan kehidupan. Hidup hanyalah sekali, tak seperti hidup dalam dunia dongeng dengan ramuan keabadian. Abadi. Kita sebagai makhluk hidup dunia nyata, pastilah bertemu ‘kematian’. Kebalikan dari kehidupan. Burung gagak pun pasti tahu bahwa kematian menakutkan. Dan itu telah terjadi dihadapanku. Kematian sesungguhnya yang sangat mengerikan. Jika pada saat itu aku bisa melihat malaikat maut, pasti sudah kutimpuki butiran gula agar menjauh darinya. Agar kematian tersebut tak datang kepadanya. Sialan. Tapi apalahdaya, Tuhan telah memanggil, maka pulanglah ia. Tak seperti ketika bermain, dipanggil Ibu untuk pulang, kita masih bisa membantah sesekali. Tapi Ibu tidak mengendalikan kematian. Tapi ialah korban dari kematian tersebut. Kematian yang tak mulia di depan mata telanjangku. Aku sangat kesal dengan pembunuh itu. Bayangkan, dia menginjak ibuku di depan mataku. Pernahkah kau merasakannya? Aku tahu, kami hanyalah spesies kecil berkaki enam dan bersungut. Sehari-hari mencari makanan untuk Sang Ibu, lalu mempertahankan diri dengan menggigit dan menggerumuni lawan. Tapi apa yang dilakukannya tidak rasional. Dendam kepada Tuhan bukanlah jawabannya, tapi kepada yang membunuhnya bisa dibilang realistis. Oleh karena itu, aku punya rencana hebat untuk membalas kematian ibuku. Rencana yang telah terstruktur secara indah dan sempurna untuk makhluk yang mengaku paling pintar itu.
Aku telah mengumpulkan banyak informasi mengenai sang pembunuh. Ia tinggal tak jauh dari apartemenku, maksudnya lubang kecil untuk menembus tembok tempatku tinggal. Tepat tiga kamar di sampingnya. Ia bekerja di salah satu rumah sakit di kota ini. Umurnya masih tergolong muda, jadi ia belum mempunyai istri yang tinggal bersamanya. Tapi sesekali ia membawa seorang wanita yang menurutku tak beda jauh umurnya dibandingkan sang pembunuh ke apartemannya. Jadwal kerjanya sangat padat, bahkan akhir pekan pun ia masih berangkat kerja, dan ini menjadi satu kesulitan untuk rencanaku. Tapi aku bukan makhluk bodoh meski otakku hanya sebesar debu. Sudah kubuat beberapa rencana yang akurat dan sesuai dengan jadwalnya, jadi aku akan membunuhnya dengan cantik.
Dalam pengamatanku di atas tembok apartemen beberapa bulan setelah kematian mendiang ibuku, aku melihatnya pulang tengah malam pada hari Senin, Kamis, dan Minggu. Di hari Selasa dan Sabtu ia pulang pukul dua belas siang. Dan ia pulang di sore hari pada hari Rabu dan Jumat. Akurat bukan? Sejujurnya itu belum ada apa-apanya, karena masih banyak informasi yang belum kujelaskan. Rencana pembunuhanku akan kulakukan pada tengah malam di hari Minggu. Aku memilih hari Minggu, karena secara pengamatan berkalaku di empat minggu terakhir ia terlihat paling lelah di hari itu selain malam-malam lainnya. Setelah membuka pintu apartemennya, ia akan mandi dan menggosok giginya, lalu terlelap di atas kasur empuknya, menghempas seluruh kelelahannya. Pasti kalian bertanya bagaimana aku bisa memperhatikannya kan? Karena suara air mandi dan dengkurannya sangat terdengar jelas di telingaku. Di saat itulah aku akan beraksi. Rencana yang telah kubuat ini akan berjalan lancar dan sempurna, aku percaya itu.
Di minggu kelima setelah kematian mendiang ibuku, tepat pukul dua belas malam di hari Minggu, aku sudah mempersiapkan segala kebutuhan dan tenaga untuk membunuhnya. Aku merayap tegap di lantai depan apartemen sebelah apartemennya, siap untuk masuk ke apartemennya ketika ia terlelap, lalu menerkamnya dengan ganas. Aku sudah tak sabar. Tangan, kaki, dan gigiku sudah gatal untuk mencabiknya. Dua belas lewat lima, ia keluar dari lift yang berada di ujung lorong koridor. Ia mendekat dengan gerak-gerik yang layu dan lunglai. Di depan apartemennya, ia mengambil kunci dari kantungnya, lalu membuka pintu. Cerdas sekali diriku! Aku tak terlihat. Sampai saat ini rencanaku berjalan dengan lancar. Setelah sang pembunuh masuk, aku berlari ke depan apartemennya, menunggu sampai terdengar dengkurannya. Beberapa menit setelah suara air yang mengguyur dan sikatan giginya, terdengar ia melemparkan tubuhnya ke kasur. Tak lama setelah itu, dengkuran yang sangat merdu dan menjijikkan di malam itu terdengar dari dalam kamar yang sudah gulita. Aku masuk ke apartemennya lewat sela-sela pintunya, menguntungkan memiliki tubuh kecil. Kuberjalan perlahan kearah ranjangnya, bahkan sangat pelan dan kupastikan kutu pun tak bisa mendengar langkahku. Butuh beberapa menit untuk sampai kesana, bahkan aku perlu merayap dengan sigap di dinding ranjangnya untuk memastikan agar tubuhku tak terlihat. Ketika melihat tubuhnya yang tepat kupijak, gatal di sekujur tubuhku sudah tak tertahankan. Dendam di dalam hati yang paling dalam mulai terbakar oleh ribuan mercon. Tanganku mengepal kencang. Gigiku menajam seperti serigala hutan yang ingin mencabik daging rusa besar nan segar. Tiba-tiba aku jadi haus darah. Darah yang harus diganti. Darah yang telah dibuang sia-sia. Kupusatkan tubuhku tepat di atas jantungnya. Jantungnya berdetak teratur, dan aku merasakannya. Tapi akan kukoyak keteraturan detaknya hingga berhenti bahkan hilang. Kucengkram kuat-kuat kulit dadanya dengan tanganku seperti elang. Kulihat langit-langit apartemennya dengan syahdu guna meresapi malam kesaksian ini. Dewa-dewi lihatlah diriku. Aku percaya bahwa aku bisa membalaskan dendam kematian mendiang ibuku malam ini. Ibu, jika kau disini, pasti kau bangga dengan anakmu yang cerdas dan kejam ini. Lihat diriku dari surga, Ibu. Lihatlah ini. Akan kubunuh sang pembunuh. Rencanaku akan berhasil.
Kufokuskan penglihatanku kearah dadanya lagi. Lalu kukeluarkan gigi-gigi pembunuhku. Tak menunggu lama, aku tancapkan gigi-gigiku ke dadanya yang lapang sekencang-kencangnya dan sekuat-kuatnya. Kukoyak kulitnya. Kukeluarkan seluruh tenagaku dan memfokuskannya ke gigi-gigiku. Kukeluarkan racun yang sudah lama kupersiapkan hanya untuknya. Aku merasakan kenikmatan dan kelegaan ketika gigi-gigiku sudah menancap sangat dalam di dadanya, lalu racun mengalir ke darah yang mengalir di tubuhnya. Ibu, aku berhasil.
Beberapa detik setelah kukoyak dadanya, kukeluarkan gigi-gigiku dari dadanya. Lega sekali. Tak lama, bentol merah mencuat dari kulit dadanya. Tapi aku bingung, mengapa jantungnya masih berdetak. Sial! Tenagaku pun telah terkuras habis setelah menebasnya tadi. Lalu tubuhnya berguncang. Aku tak bisa melihat dengan jelas, tapi kulihat tangannya mulai menggaruk badannya dan dengan sangat cepat kearah dadanya. Aku berlari sekencang-kencangnya di atas tubuhnya, dari dada lapang itu. Tapi sial, kaki kiriku tersenggol oleh jarinya. Kuanggap kaki kiriku patah, karena rasanya sangat sakit. Aku tak bisa mengeluh, aku harus tetap berlari bagaimanapun juga. Kupaksakan tubuhku dan kaki tanganku untuk bergerak. Rasanya sakit sekali. Aku berlari dengan pincang menuju bagian samping kiri tubuhnya. Tapi tenagaku sudah tak bisa diandalkan lagi. Aku tersandung berkali-kali. Saat hampir sampai di bagian samping tubuhnya, tangannya meraba bagian tubuh yang kujejali, lalu dengan sangat cepat dan keras tangannya menimpa tubuhku. Aku tak bisa bernafas untuk sesaat. Tubuhku hancur lebur. Seluruh organ dalamku pecah dan benyek. Dan kurasa jantungku masih berdetak, walaupun kulihat seluruh cairan di tubuhku keluar berantakan. Mata kananku pecah, tapi syukurlah mata kiriku masih bisa mellihat remang keadaan di sekitar. Kulihat tangannya mulai menggaruk lagi, dan detik selanjutnya tangannya menggaruk tubuhnya tepat dimana aku tergeletak. Dia memisah-misahkan tubuhku yang sudah hancur. Kaki, tangan, dan kepala terpisah dari badanku. Hancur berantakan seperti daging cincang yang benyek dan berlendir. Tapi mata kiriku masih bisa melihat di kepala yang sudah terpisah ini. Dan kurasa saat itu otakku sudah gepeng dilindas jari-jari dan telapaknya.  
Di nafas-nafas terakhirku, remang-remang kulihat wajah ibuku berterbangan di atas dada lapangnya, lalu mendekat.
“Sadarkah kau, wahai anakku, bahwa ada konsep ketidakseimbangan dalam hidup ini yang belum terpikir bahkan terlintas dalam pikiranmu? Kau belum berhasil.” Samar-samar bisiknya. Lalu sesaat kemudian bayang-bayang itu terhempas oleh angin dan pergi begitu saja. Ibu, aku tak mengerti. Tolong jelaskan apa yang kau katakan tadi.
Tak lama setelah itu datanglah sosok makhluk yang tak pernah kulihat sebelumnya dengan pakaian serba hitam. Aku tak mengenalinya, apakah ia teman si pembunuh? Atau... Aha! Aku melihatnya! Ini benar-benar menakjubkan ketika bisa melihatnya. Tapi sayang, aku tak membawa butiran gula untuk menimpukinya. Ia mendekat dengan wajah yang tak terlihat dan tanpa berkata-kata, lalu menarik sesuatu yang halus dan abu-abu dari mulutku dengan rasa yang amat perih. Perihnya melebihi rasa perih ketika tubuhku berhamburan kesana kemari. Mata kiriku terperangah ketika sadar bahwa itu adalah diriku dalam bentuk berbayang. Di akhir proses tersebut pula aku sadar bahwa itulah akhir dari hidupku. Dan…aku gagal dalam rencana pembunuhan ini, karena di nafasku yang terakhir aku masih bisa merasakan detak jantungnya yang teratur. Sialan. Maafkan aku, Ibu. Aku gagal. Tapi aku berjanji, bahwa aku harus tetap membunuhnya dengan cara apapun. Dan terlintas dalam pikiran berbayangku tentang apa yang dikatakan ibuku. Aku memahaminya. Aku harus menjadi sesosok berpakaian gelap itu, lalu kucabut nyawa sang pembunuh agar bisa melihatnya tersiksa di jahanam.


Comments

Post a Comment

Popular Posts