Ketidakseimbangan
“Selamatkan
dirimu, nak.” Kata sang induk kepada anaknya-seekor
semut muda-di tengah keadaan genting. Tubuh sang induk lemas tak tertahankan, ia tak
bisa lagi bergerak.
“Tidak,
Ibu yang harus selamat.” Balas semut muda itu tak jauh dari sang induk dengan
suara kencang.
“Kau
harus selamat, nak. Hidupmu masih panjang. Bantulah Ayahmu dan temanilah
adik-adikmu.” Jelas sang induk kepadanya. Tak ingin induknya mati, ia pun
berlari kencang dengan enam kakinya yang gemetar kencang.
“Tidak,
Ibu!!!” Chrekk. Melangkahlah kaki kanan
seorang makhluk yang terlihat seperti raksasa dari neraka baginya tepat di atas
tubuh sang induk semut. Sang semut muda yang tadinya berlari pun berhenti tak
jauh dari kaki raksasa tersebut tanpa kata. Ia terkejut melihat induknya yang benyek diinjak raksasa itu.
---
Kuceritakan
pelajaran dalam hidupku untuk kalian yang peduli dengan kehidupan. Hidup
hanyalah sekali, tak seperti hidup dalam dunia dongeng dengan ramuan keabadian.
Abadi. Kita sebagai makhluk hidup dunia nyata, pastilah bertemu ‘kematian’.
Kebalikan dari kehidupan. Burung gagak pun pasti tahu bahwa kematian
menakutkan. Dan itu telah terjadi dihadapanku. Kematian sesungguhnya yang
sangat mengerikan. Jika pada saat itu aku bisa melihat malaikat maut, pasti
sudah kutimpuki butiran gula agar menjauh darinya. Agar kematian tersebut tak
datang kepadanya. Sialan. Tapi apalahdaya, Tuhan telah memanggil, maka
pulanglah ia. Tak seperti ketika bermain, dipanggil Ibu untuk pulang, kita
masih bisa membantah sesekali. Tapi Ibu tidak mengendalikan kematian. Tapi
ialah korban dari kematian tersebut. Kematian yang tak mulia di depan mata
telanjangku. Aku sangat kesal dengan pembunuh itu. Bayangkan, dia menginjak
ibuku di depan mataku. Pernahkah kau merasakannya? Aku tahu, kami hanyalah
spesies kecil berkaki enam dan bersungut. Sehari-hari mencari makanan untuk
Sang Ibu, lalu mempertahankan diri dengan menggigit dan menggerumuni lawan. Tapi
apa yang dilakukannya tidak rasional. Dendam kepada Tuhan bukanlah jawabannya,
tapi kepada yang membunuhnya bisa dibilang realistis. Oleh karena itu, aku
punya rencana hebat untuk membalas kematian ibuku. Rencana yang telah terstruktur
secara indah dan sempurna untuk makhluk yang mengaku paling pintar itu.
Aku
telah mengumpulkan banyak informasi mengenai sang pembunuh. Ia tinggal tak jauh
dari apartemenku, maksudnya lubang kecil untuk menembus tembok tempatku
tinggal. Tepat tiga kamar di sampingnya. Ia bekerja di salah satu rumah sakit
di kota ini. Umurnya masih tergolong muda, jadi ia belum mempunyai istri yang
tinggal bersamanya. Tapi sesekali ia membawa seorang wanita yang menurutku tak
beda jauh umurnya dibandingkan sang pembunuh ke apartemannya. Jadwal kerjanya
sangat padat, bahkan akhir pekan pun ia masih berangkat kerja, dan ini menjadi
satu kesulitan untuk rencanaku. Tapi aku bukan makhluk bodoh meski otakku hanya
sebesar debu. Sudah kubuat beberapa rencana yang akurat dan sesuai dengan
jadwalnya, jadi aku akan membunuhnya dengan cantik.
Dalam
pengamatanku di atas tembok apartemen beberapa bulan setelah kematian mendiang
ibuku, aku melihatnya pulang tengah malam pada hari Senin, Kamis, dan Minggu. Di hari Selasa dan Sabtu ia pulang pukul dua
belas siang. Dan ia pulang di sore hari pada hari Rabu dan Jumat. Akurat bukan?
Sejujurnya itu belum ada apa-apanya, karena masih banyak informasi yang belum
kujelaskan. Rencana pembunuhanku akan kulakukan pada tengah malam di hari
Minggu. Aku memilih hari Minggu, karena secara pengamatan berkalaku di empat minggu
terakhir ia terlihat paling lelah di hari itu selain malam-malam lainnya.
Setelah membuka pintu apartemennya, ia akan mandi dan menggosok giginya, lalu terlelap
di atas kasur empuknya, menghempas seluruh kelelahannya. Pasti kalian bertanya
bagaimana aku bisa memperhatikannya kan? Karena suara air mandi dan
dengkurannya sangat terdengar jelas di telingaku. Di saat itulah aku akan
beraksi. Rencana yang telah kubuat ini akan berjalan lancar dan sempurna, aku
percaya itu.
Di
minggu kelima setelah kematian mendiang ibuku, tepat pukul dua belas malam di
hari Minggu, aku sudah mempersiapkan segala kebutuhan dan tenaga untuk
membunuhnya. Aku merayap tegap di lantai depan apartemen sebelah apartemennya,
siap untuk masuk ke apartemennya ketika ia terlelap, lalu menerkamnya dengan
ganas. Aku sudah tak sabar. Tangan, kaki, dan gigiku sudah gatal untuk
mencabiknya. Dua belas lewat lima, ia keluar dari lift yang berada di ujung
lorong koridor. Ia mendekat dengan gerak-gerik yang layu dan lunglai. Di depan
apartemennya, ia mengambil kunci dari kantungnya, lalu membuka pintu. Cerdas
sekali diriku! Aku tak terlihat. Sampai saat ini rencanaku berjalan dengan
lancar. Setelah sang pembunuh masuk, aku berlari ke depan apartemennya,
menunggu sampai terdengar dengkurannya. Beberapa menit setelah suara air yang
mengguyur dan sikatan giginya, terdengar ia melemparkan tubuhnya ke kasur. Tak
lama setelah itu, dengkuran yang sangat merdu dan menjijikkan di malam itu
terdengar dari dalam kamar yang sudah gulita. Aku masuk ke apartemennya lewat
sela-sela pintunya, menguntungkan memiliki tubuh kecil. Kuberjalan perlahan
kearah ranjangnya, bahkan sangat pelan dan kupastikan kutu pun tak bisa
mendengar langkahku. Butuh beberapa menit untuk sampai kesana, bahkan aku perlu
merayap dengan sigap di dinding ranjangnya untuk memastikan agar tubuhku tak
terlihat. Ketika melihat tubuhnya yang tepat kupijak, gatal di sekujur tubuhku
sudah tak tertahankan. Dendam di dalam hati yang paling dalam mulai terbakar
oleh ribuan mercon. Tanganku mengepal kencang. Gigiku menajam seperti serigala
hutan yang ingin mencabik daging rusa besar nan segar. Tiba-tiba aku jadi haus
darah. Darah yang harus diganti. Darah yang telah dibuang sia-sia. Kupusatkan
tubuhku tepat di atas jantungnya. Jantungnya berdetak teratur, dan aku
merasakannya. Tapi akan kukoyak keteraturan detaknya hingga berhenti bahkan
hilang. Kucengkram kuat-kuat kulit dadanya dengan tanganku seperti elang.
Kulihat langit-langit apartemennya dengan syahdu guna meresapi malam kesaksian ini.
Dewa-dewi lihatlah diriku. Aku percaya bahwa aku bisa membalaskan dendam
kematian mendiang ibuku malam ini. Ibu, jika kau disini, pasti kau bangga
dengan anakmu yang cerdas dan kejam ini. Lihat diriku dari surga, Ibu. Lihatlah
ini. Akan kubunuh sang pembunuh. Rencanaku akan berhasil.
Kufokuskan
penglihatanku kearah dadanya lagi. Lalu kukeluarkan gigi-gigi pembunuhku. Tak
menunggu lama, aku tancapkan gigi-gigiku ke dadanya yang lapang
sekencang-kencangnya dan sekuat-kuatnya. Kukoyak kulitnya. Kukeluarkan seluruh
tenagaku dan memfokuskannya ke gigi-gigiku. Kukeluarkan racun yang sudah lama
kupersiapkan hanya untuknya. Aku merasakan kenikmatan dan kelegaan ketika
gigi-gigiku sudah menancap sangat dalam di dadanya, lalu racun mengalir ke
darah yang mengalir di tubuhnya. Ibu, aku berhasil.
Beberapa
detik setelah kukoyak dadanya, kukeluarkan gigi-gigiku dari dadanya. Lega
sekali. Tak lama, bentol merah mencuat dari kulit dadanya. Tapi aku bingung,
mengapa jantungnya masih berdetak. Sial! Tenagaku pun telah terkuras habis
setelah menebasnya tadi. Lalu tubuhnya berguncang. Aku tak bisa melihat dengan
jelas, tapi kulihat tangannya mulai menggaruk badannya dan dengan sangat cepat
kearah dadanya. Aku berlari sekencang-kencangnya di atas tubuhnya, dari dada
lapang itu. Tapi sial, kaki kiriku tersenggol oleh jarinya. Kuanggap kaki
kiriku patah, karena rasanya sangat sakit. Aku tak bisa mengeluh, aku harus
tetap berlari bagaimanapun juga. Kupaksakan tubuhku dan kaki tanganku untuk bergerak.
Rasanya sakit sekali. Aku berlari dengan pincang menuju bagian samping kiri
tubuhnya. Tapi tenagaku sudah tak bisa diandalkan lagi. Aku tersandung
berkali-kali. Saat hampir sampai di bagian samping tubuhnya, tangannya meraba
bagian tubuh yang kujejali, lalu dengan sangat cepat dan keras tangannya
menimpa tubuhku. Aku tak bisa bernafas untuk sesaat. Tubuhku hancur lebur.
Seluruh organ dalamku pecah dan benyek. Dan kurasa jantungku masih berdetak,
walaupun kulihat seluruh cairan di tubuhku keluar berantakan. Mata kananku
pecah, tapi syukurlah mata kiriku masih bisa mellihat remang keadaan di
sekitar. Kulihat tangannya mulai menggaruk lagi, dan detik selanjutnya
tangannya menggaruk tubuhnya tepat dimana aku tergeletak. Dia memisah-misahkan
tubuhku yang sudah hancur. Kaki, tangan, dan kepala terpisah dari badanku.
Hancur berantakan seperti daging cincang yang benyek dan berlendir. Tapi mata
kiriku masih bisa melihat di kepala yang sudah terpisah ini. Dan kurasa saat
itu otakku sudah gepeng dilindas jari-jari dan telapaknya.
Di
nafas-nafas terakhirku, remang-remang kulihat wajah ibuku berterbangan di atas
dada lapangnya, lalu mendekat.
“Sadarkah
kau, wahai anakku, bahwa ada konsep ketidakseimbangan dalam hidup ini yang
belum terpikir bahkan terlintas dalam pikiranmu? Kau belum berhasil.”
Samar-samar bisiknya. Lalu sesaat kemudian bayang-bayang itu terhempas oleh
angin dan pergi begitu saja. Ibu, aku tak
mengerti. Tolong jelaskan apa yang kau katakan tadi.
Tak
lama setelah itu datanglah sosok makhluk yang tak pernah kulihat sebelumnya dengan
pakaian serba hitam. Aku tak mengenalinya, apakah ia teman si pembunuh? Atau...
Aha! Aku melihatnya! Ini benar-benar menakjubkan ketika bisa melihatnya. Tapi
sayang, aku tak membawa butiran gula untuk menimpukinya. Ia mendekat dengan
wajah yang tak terlihat dan tanpa berkata-kata, lalu menarik sesuatu yang halus
dan abu-abu dari mulutku dengan rasa yang amat perih. Perihnya melebihi rasa
perih ketika tubuhku berhamburan kesana kemari. Mata kiriku terperangah ketika
sadar bahwa itu adalah diriku dalam bentuk berbayang. Di akhir proses tersebut
pula aku sadar bahwa itulah akhir dari hidupku. Dan…aku gagal dalam rencana
pembunuhan ini, karena di nafasku yang terakhir aku masih bisa merasakan detak
jantungnya yang teratur. Sialan. Maafkan aku, Ibu. Aku gagal. Tapi aku
berjanji, bahwa aku harus tetap membunuhnya dengan cara apapun. Dan terlintas
dalam pikiran berbayangku tentang apa yang dikatakan ibuku. Aku memahaminya.
Aku harus menjadi sesosok berpakaian gelap itu, lalu kucabut nyawa sang pembunuh
agar bisa melihatnya tersiksa di jahanam.
Ceritanya lucu hahah
ReplyDeleteTerimakasih.
Delete